Thursday, July 14, 2016

BAMBAPUANG: STAIRWAY TO HEAVEN



BAMBAPUANG: STAIRWAY TO HEAVEN


Dalam bahasa lokal (Toraja maupun Duri) Bambapuang sejatinya terdiri dari dua kata yaitu bamba yang  berarti wilayah (berpadanan dengan tondok atau pangleon), daerah perbatasan, pintu perbatasan, atau pukul (kata kerja: memukul) dan puang yang berarti raja, penguasa atau Tuhan. Jadi Bambapuang bisa berarti daerah atau wilayah para raja; daerah dari mana para raja berasal atau pintu menuju Tuhan. Suku Toraja di utara Gunung Bambapuang meyakini nenek moyang mereka berasal dari Bambapuang.

Gunung Bambapuang (2010 mdpl) secara administratif terletak di Desa Bambapuang, Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang dengan letak geografis 3°2819LS - 119°4701BT. Bambapuang adalah gunung  karst/batu gamping yang merupakan bagian dari formasi karst Makale - Toraja. Tebing limestone di sisi Selatan merupakan tebing tertinggi di Sulawesi Selatan (mencapai 350m) sehingga Tebing Bambapuang sangat terkenal sebagai destinasi panjat tebing di kalangan penggiat alam. 

CARA MENCAPAI LOKASI

Puncak Bambapuang dapat dicapai melalui Dusun Kotu, Enerkang. Dari arah Makassar, Kotu terletak di KM 251 atau 14 km setelah Kota Enrekang dan 63 km dari Makale, Tana Toraja. Dari Kotu (poros Makassar – Toraja), belok kiri ke arah barat dan lurus  5 km sampai Dusun Kanda’, Desa Tindalun. Sampai di Dusun Kanda’, belok kanan (utara) di depan Masjid Al Muttaqin dan Puskesmas Tindalun ke arah TK Pertiwi III lurus  500 m hingga Cindoke’.

Jika menggunakan kendaraan umum dari Makassar, Anda dapat langsung mencari mini bus di Terminal Dayak dengan tujuan Sudu atau Cakke’ Enrekang minta turun di Kotu. Perjalanan ini memakan waktu 6 jam. Sekitar 5 km dari Kotu terdapat pasar tradisional Cakke’ dimana Anda dapat menambah keperluan logistik terutama sayuran jika ingin camp di puncak. Cakke’ juga merupakan jalur ke Baraka dan Karangan, entry point  Rante Mario, puncak tertinggi pegunungan Latimojong sekaligus titik tertinggi Pulau Sulawesi. Dari Kotu, perjalanan dilanjutkan ke Dusun Kanda’, Desa Tindalun dengan menggunakan ojek atau angkutan umum. Angkutan ini hanya masuk setiap hari pasar Cakke’, yaitu hari Rabu dan Minggu. Kondisi jalan menuju Tindalun sebagian beraspal dan dibeton/cor namun sudah mulai terkelupas (kodisi jalan Agustus 2014).   

Informasi Trayek Perjalanan Makassar - Dusun Kanda’ (2016)
Trayek
Keterangan
Waktu
Biaya (Rp)
Makassar – Kotu
Minibus
 5 jam
100.000
Kotu – Kanda’
Sepeda Motor/Minibus
 1 jam


JALUR PENDAKIAN
Titik awal pendakian di daerah Cindoke’ merupakan lahan pertanian penduduk yang biasanya ditanami tanaman hortikultura seperti jagung, kacang-kacangan, kentang, lombok/cabe, kol, bawang prey, sawi, dan bawang merah. Tidak ada pos di sepanjang jalur. Jalur ke puncak Bambapuang terbilang sulit dan menanjak > 80 derajat dan butuh scrambling  hampir di sepanjang jalur. Puncak dapat dicapai kurang dari satu jam. Tidak ada sumber air di sepanjang jalur hingga puncak. Selain areal datar di antara celah punggungan gunung terdapat beberapa gua yang bisa jadi tempat camp disini.

Dari puncak Bambapuang (2010 MDPL) kita dapat melihat keindahan Buntu Kabobong (Gunung Nona) dan Pegunungan Latimojong di timur, Tebing Tontonan dan Buntu Lakawan di arah utara, dan di arah Barat aliran Sungai Sa’dan serta keindahan Tana Toraja bagian barat hingga lautan di daerah Pinrang jika cuaca cerah.

AREA ROCK CLIMBING
Daya tarik Tebing Bambapuang telah menarik kalangan penggiat alam bebas untuk memanjatnya. Lebih dari 30 tim sudah memanjat tebing ini diantaranya MPA Arayancala Tri Sakti Jakarta, HIMPALA Unas Jakarta, Bramatala Bandung, Korpala Unhas, KPA Merapi Adventure Indonesia dll. Karena sulitnya lokasi pemanjatan, beberapa kali kecelakaan terjadi diantaranya;
  1. Tahun 1989 Tercatat seorang anggota dari Mahasiswa Pencinta Alam dari “MPA Arayancala Tri Sakti Jakarta” atas nama Ali Irfan B. meninggal di tebing ini setelah tergelincir sewaktu mengambil gambar tim pemanjat yang sedang turun.
  2. September 2002 , tiga orang dari HIMPALA Unas Jakarta yang melakukan ekspedisi nyaris tewas terbakar ketika melakukan pemanjatan di ketinggian 215m.
  3. Tahun 2004 kecelakan dialami oleh tim Panjat Tebing asal Universitas Veteran Jakarta, Girgahana, salah seorang pemanjatnya saat itu terjatuh dan beruntung, si pemanjat hanya mengalami cidera ringan terkilir di kaki kanannya.
Tiga hal larangan untuk pemanjatan di tebing Bambapuang,
  1. Ketika sedang manjat melihat asap segera turun. Tebing Bambapuang dipenuhi dengan tumbuhan lalang dan pohon yang tidak terlalu besar, sehingga membuat tebing Bambapuang mudah untuk terbakar.
  2. Dilarang untuk melakukan pemanjatan pada hari Jumat. Hampi seluruh maysarakat sekitar tebing beragama Islam.
  3. Carilah tempat yang aman atau segera turun ketika hujan. Banyak batuan yang jatuh ketika hujan. Bambapuang termasuk tebing yang rawan akan bebatuan yang jatuh. Dalam sehari batu rapuh yang jatuh tanpa dipanjat bisa mencapai lebih dari 8 batu. Kaki Gunung Bambapuang juga dipenuhi dengan bebatuan yang runtuh dan menumpuk, sehingga sulit untuk menuju titik start pemanjatan.

CERITA DAN LEGENDA MASYARAKAT: ERAN DI LANGI’
1.      Versi Enrekang I
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Enrekang, di puncak Gunung Bambapuang Dewata menurunkan tiga orang Tumanurung yang diutus ke bumi dan berkembang menjadi keluarga besar.  Ketiga Tumanurung tersebut masing-masing, Tamanurung Wellangdilangi, Tumanurung Tamborolangi, dan Tumanurung Embongbulan (wanita).

Suatu hari, ketiganya meminta kepada Dewata agar mereka dapat meninggalkan puncak gunung Bambapuang sekaligus agar diberi bekal kehidupan di dunia. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Puang Matua
  1. Tumanurung Wellangdilangi tetap tinggal di puncak gunung Bambapuang dan kepadanya diberikan bekal untuk hidup di dunia berupa makanan yang cepat basi (padi). Tumanurung Wellangdilangi kawin dengan Maccirangka dan keluarga inilah yang turun temurun dan merupakan turunan keluarga raja-raja dari Bugis Makassar dan Mandar.
  2. Tumanurrung Tamborolangi diberi kesempatan meninggalkan puncak Gunung Bambapuang dan memilih menuju negeri Matari' Allo, Toraja. Disana kawin dengan Sandabilik yang telah menjadi turunan raja-raja di Matari’ Allo.
  3. Tumanurung Embongbulan (wanita) diberi kesempatan meninggalkan puncak Gunung Bambapuang dan memilih menyeberangi lautan menuju ke daerah Kaluppini. Di sana ia kawin dengan Palipada dan inilah yang menjadi turunan Sawerigading dan Raja-raja di Luwu.   Pada masa itu, di kaki Gunung Bambapuang (Kampung Mendatte), masih merupakan pantai yang bersebrangan dengan Kaluppini. Mengingat Tumanurung Embongbulan seorang putri, maka oleh dewata diberikan bekal makanan yang tidak dapat basi tabaro ( sagu) dan diberikan pula bekal untuk pemebelaan diri sebagai ahli ilmu sihir.
Tumanurung Wellangdilangi yang menetap di Puncak Gunung Bambapuang kawin dengan Maccirangka. Anak-anak mereka dapat kawin bersaudara dan ini berlangsung sampai generasi ketujuh. Setelah generasi ketujuh inilah mereka berkembang menjadi keluarga besar, maka oleh Dewata diberikan ketentuan sebagai berikut.
  1. Tidak diperkenankan lagi kawin bersaudara tetapi boleh kawin dengan sepupu sekali.
  2. Apabila terjadi pelanggaran tersebut maka akan terjadi musibah dan Gunung Bambapuang akan tumbang.
  3. Kelak dimana puncak Gunung Bambapuang tumbang, maka rakyat disana akan tetap memengang Aluk Todolo serta mereka menjadikan negeri kaya.
Peristiwa turunnya perintah dewata ini dikenal dengan sumpah "Endekan Tanah Digalla Tanah Dikabusunggi" dalam bahasa bugis “Tana Rigalla Tana Riabbusungi”  atrinya negeri suci yang dihormati. Dengan demikian, siapa saja yang memerintah di Enrekang harus bertindak arif dan bijaksana, hidup bersama rakyat dan apabila melanggar sumpah tersebut, maka ia akan takut, bingung, dan gelisah dalam menghadapi masa depannya.

Alkisah, pada generasi ketujuh, terjadi percintaan antara anak raja di Leluwa dan anak raja di Mendatte daerah pinggiran pantai. Percintaan mereka sangat erat sekali sehingga kasih sayang mereka ini dijabarkan dalam syair rakyat sebagai berikut:

Tangkendaun mi to lamba, tangkencolli cendana
Naola dundu, naletei ceppaga
Ceppagana ri Leluwa, sappangna ri Mendatte
Sidendang-dendang tama bamba suruga

Suruganna Bambapuang,  anginna buntu Gajang
Simbongi mai, angku alako pammai
Pa’mai dilamun batu, dilamun lan tangnga tondok
Buruk i batu, tangburuk to penawa

Artinya dalam bahasa Indonesia :
Habislah daun pohon lamba, tak berpucuklah pohon cendana
Dilalui ayam betina dan ayam jantan
Ayam betina dari Leluwa ayam jantan dari Mendatte
Berkasih-kasihan menuju pintu surga surga

Surga di Gunung Bambapuang angin sepoi-sepoi dari Gunung Gajang
Bertiuplah engkau untuk ku jadikan pelipur lara
Budi baik dikubur bersama batu, dikubur ditengah negeri
Hancurlah batu tidak akan hancur budi baik

Karena percintaan mereka sudah sangat intim sekali, keluarga kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perkawinan. Perkawinan berlangsung di Lurah, dibawah gunung Bambapuang selama tujuh hari tujuh malam dengan pesta yang sangat meriah, sehingga kedua belah pihak keluarga semua turut bersuka cita.

Pada hari ketujuh, saat pesta perkawinan sudah akan berakhir, kedua belah pihak keluarga baru mengingat akan pesan Dewata di puncak gunung Bambapuang bahwa perkawinan bersaudara dilarang. Dari penelusuran silsilah keluarga pengantin tersebut, diketahui dengan jelas bahwa kedua sejoli tersebut ternyata bersaudara satu bapak.   Perkawinan mereka merupakan suatu pelanggaran dari perintah Dewata di puncak Gunung Bambapuang.

Tiba-tiba terjadi gempa, turun hujan deras, ombak besar dilaut disertai gemuruh kilat yang berlangsung selama kurang lebih 40 hari 40 malam.   Pada malam ke 40, Gunung Bambapuang yang menjulang tinggi ke langit tumbang. Puncaknya persis jatuh di negeri Matari' Allo (Toraja). Kerajaan yang ada di Bambapuang tenggelam. Dalam bahasa Endekan, peristiwa tersebut dikenal dengan istilah “Lettomi Eran Di Langi Talllangmi Landongna Lura". Sampai sekarang masih terdapat kampung Lura dan Danau Lura di Bambapuang.

Ketika Gunung Bambapuang tumbang semua penduduk lari ke negeri Matari'Alllo (Tana Toraja). Dalam Perjalanan ketika berlari, penduduk atau binatang yang menoleh ke belakang melihat ke Gunung Bambapuang seketika itu pula berubah menjadi Batu. Peninggalan tersebut sampai sekarang masih ada di kampung Kotu, berdekatan dengan kampung Cakke dan Sossok. Penduduk yang lari dan sempat sampai di negeri Matari' Allo (Toraja) tetap memegang  Aluk Todolo, adat leluhur yang berasal dari Puncak Gunung Bambapuang.

2.    Versi  Enrekang II
Bambapuang awalnya merupakan sebuah pohon yang tinggi menjulang hingga sejengkal lagi sampai ke langit. Pohon tersebut digunakan sebagai media untuk menyampaikan wahyu dari Tuhan untuk penduduk di bumi. Pada suatu hari sang pengantar wahyu membuat kesalahan dengan menyelewengkan isi wahyu tersebut. Penyelewengan isi wahyu membuat orang yang di bawah murka sehingga ditebanglah pohon itu hingga jatuhlah pohon itu kearah timur.  Karena itu sampai sekarang dari Bambapuang hingga Toraja tanahnya bebatuan.

Selain untuk media pengantar wahyu di sana juga tinggal seekor burung yang sedang mengeram. Ketika pohon itu di tebang maka telur telur burung itu masuk ke Sungai Saddang sehingga warna air Sungai Saddang berubah menjadi kuning sampai sekarang.

Versi lain menyebut pohon yang menghubungkan langit dan bumi pada waktu itu di potong oleh Sawerigading, dimana daunnya itulah yang kini menjadi Sungai Saddang dan beberapa lainnya menjadi tonjolan batu/bukit yang ada di Toraja.

3.    Versi Lisan Toraja

Masyarakat Toraja meyakini bahwa nenek moyang mereka Datu Laukku’  diciptakan Tuhan (Puang Matua atau To Kaubanan) di surga yang disebut Puya. Generasi ke tujuh dari Datu Laukku’ inilah yang kemudian diturunkan Puang Matua ke bumi melalui Eran di Langi’ (tangga dari langit) sehingga disebut Tomanurun/To Mellao Langi’ (orang yang turun dari langit) atau Pong Mula Tau (manusia mula-mula/manusia pertama).

Tomanurun  pertama yang turun ke Pongko’, Padang di Rura melalui Eran di Langi’ bernama Puang Bura Langi'. Ia diturunkan bersama dengan serangkaiaan peraturan yang disebut Aluk Sikambi' Pemali atau Aluk Tallu Lolona ( Aluk Tau, Aluk Patuoan, Aluk Tananan ) Ada' A'pa' Toninna/Oto’na ( Aluk Banua ). Keberadaan Eran di Langi’ terus dipertahankan untuk menjalin komunikasi antara manusia dengan Tuhan.  Puang Bura Langi’ kemudian menikah dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura.

Padang di Rura menjadi sebuah negeri yang subur, kaya, dan damai. Penduduknya tidak pernah kekurangan makanan dan hidup aman dan tenteram hingga mulai melupakan aturan dari sang pencipta dan bertindak menurut hawa nafsu mereka sendiri, mulai sering saling mengutuk (nenne’mi ade’ sitampakan ropu sisapuan pala’) saling mengintimidasi dan merampas dengan kekuatan fisik (siseru bi’ti’ sirumbe takia’) hingga pelanggaran terbesar yang kemudian dilakukan Londong di Rura dengan melanggar adat atau aturan perkawinan (untengkai kalo’ alukna rampanan kapa’, untodo tinting pemalinna passulean allo).
Londong di Rura  dan isterinya Kombong di Rura (versi lain bernama Sa’pang di Galeto) adalah penguasa kaya namun serakah. Karena keserakahannya ia berniat mengawinkan sepasang anaknya (perkawinan incest) agar harta kekayaanya tidak beralih ke orang lain (versi lisan lain Londong di Rura menikahkan 4 pasang anaknya).

Londong di Rura kemudian mengirim utusan untuk mendatangi para pemangku adat dan agama untuk menyampaikan niatnya sekaligus mengundang mereka menghadiri upacara tersebut. Namun utusan tersebut kembali dengan menyampaikan bahwa ada larangan untuk mengawinkan orang yang bersaudara kandung (umpasirampanan kapa’ to sangpatonian, umpasikulleasan passulean allo tosangtaran lolo) hingga sepupu 3 kali (versi lain 5 kali). Perkawinan incest (rampanan kapa’ sule langgan banua) ini bertentangan dengan Aluk Tau dalam Aluk Sikambi' Pemali.

Pendapat para tetua adat tak menyurutkan  niat Londong di Rura, ia memutuskan mengirim utusannya langsung kepada Tuhan. Itusan itu pun naik ke langit menghadap Puang Matua melalui Eran di Langi’. Puang Matua memberikan empat buah buah pinang (kalosi) kepada utusan tersebut; satu buah yang masih bulat utuh (kalosi kalebu), satu buah yang dudah dibelah dua (kalosi disese), satu buah yang dibelah empat (kalosi ditepo) dan satu buah yang dibelah delapan (kalosi disigi’-sigi’) dengan pesan agar sekembalinya ke bumi buah tersebut diberikan kepada Londong di Rura untuk ditanam.  Apabilah buah pinang yang utuh itu bertumbuh , itu berarti bahwa orang yang bersaudara kandung itu dapat dikawinkan seorang dengan yang lain, apabiala pinang yang dibelah dua yang tumbuh, maka itu berarti orang bersepupu satu kali dapat dikawinkan. Apa bila yang di belah empat yang tumbuh, maka orang yang bersaudara sepupu empat kali dapat dikawinkan. Demikian pula jika yang tumbuh adalah buah yang dibelah delapan.

Pesan Puang Matua langsung dilaksanakan Londong di Rura dengan keyakinan bahwa buah pinang utuhlah yang akan tumbuh. Namun dengan kekuasaan Puang Matua, maka hanyalah buah pinang yang dibelah empat dan buah pinang yang dibelah delapanlah yang tumbuh, sedangkan buah pinang yang utuh dan dibelah dua membusuk di dalam tanah. Hasil yang mengecewakan dan tak sesuai harapan tersebut tak membuat Londong di Rura menghentikan niatnya. Ia  tetap bersikeras menikahkan kedua anaknya, menentang aturan dan kehendak Sang Pencipta(untodo basse kasalle).

Tidak setuju dengan keputusan Londong di Rura, maka  Puang Tandilino’, Puang Suloara' dan Puang ri Kesu’ melakukan ekosodus ke arah Utara (Tana Toraja dan Toraja Utara kini). Puang Tandilino kemudian menetap di Marinding, kaki Gunung Kandora dan membentuk Tallu Penanian ( Ba'ba', Marinding, dan Palipu' ), Puang Suloara' menetap di kaki Gunung Sesean dan Puang ri Kesu' pergi ke Kesu'. Sebelum pesta perkawinan dilangsungkan Tangdilino ke Sesean memohon bantuan Pong Suloara' dalam usaha menghentikan niat Londong di Rura. Setelah itu  Pong Suloara' berangkat ke Rura dengan Pong Bua' Uran dan Indo’ Bekak Allo dan To Burake dengan tujuan kembali menasihati (patutungan bia’) Londong di Rura. Maka diadakanlah musyawarah atau rapat besar (Kombongan Kalua Tumimbu Malambe') di Rura untuk menasihati Londong di Rura agar menghentikan niatnya mengawinkan sesama anak-anaknya sendiri, namun nasihat tersebut tidak diindahkan. Londong di Rura tetap menikahkan anaknya dengan menggelar upacara ma’bua’ kasalle/la’pa’ kasalle (upacara syukuran tradisional yang tertinggi dalam tradisi suku Toraja).

Saat pesta pernikahan dilangsungkan, daerah Rura tempat dilaksanakannya pesta pernikahan tenggelam Eran di Langi’ runtuh ke arah Utara (formasi karst Makale dan Toraja). Sebagian penduduk tenggelam, sebagian lari menuju arah utara (Toraja sekarang), sebagian penduduk dan hewan menjadi batu karena menoleh ke belakang saat berlari. Peristiwa ini dikenal dengan ungkapan “Le’tomi Eran di Langi’, tallanmi Londong na Rura” (Toraja) atau “lettomi Erang di Langi tallangmi londongna Lura” (Enrekang). Ada versi yang menyebut Londong di Rura lari ke Poso, Sulawesi Tengah.

Setelah runtuhnya Eran di Langi’, Pong Suloara', Puang Tandilino dan Puang Bua Uran kembali ke Rura untuk melaksanakan upacara dan permohonan ampun (ma’bua’) kepada Puang Matua dan memohon petunjuk untuk meluruskan kembali aturan dari Puang Matua dan lahirlah Aluk Sanda Pitunna sehingga dikenal dengan “ada’ na taa tuak Pong Suloara’ loq ingko’na padang, sangka’ nasiok panaran Pong Bua Uran lo’ saroena lipu sanda kasalle”. Dari sinilah tradisi pengorbanan kerbau dan babi dalam ritual kematian/kedukaan (Rampean Rambu Solo’) dan kesukaan (Rampean Rambu Tuka’) suku Toraja dimulai. Pengorbanan tersebut dimaksudkan sebagai sarana penyucian dari dosa (massuru’). Dalam Rambu Solo’ dimaksudkan agar mendiang bisa kembali ke Puya (mendeata/membali puang).

LOKASI WISATA SEKITAR
1. Buntu Kabobong
2. Tebing Tontonan
3. Pegunungan Latimojong
4. Gua Lo'ko' Malillin
5. Air Terjun Lewaja
5. Gua Bubau
6. Gua Pusallo
7. Gua Tappa 

RUJUKAN
http://indryqhy.blogspot.co.id/2013/10/tamanurung-dari-bambapuang.html

2 comments:

Christine Adytia said...

Posting terus.. Tdak na ajak2ki..

Hans CRF said...

Tulisan lama ini, cuma baru sempat di posting :D