Monday, June 14, 2010

Renungan 1

TUHAN, BEBANKU BERAT

"Mengapa bebanku berat sekali?"
aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender.

"Tidak adakah istirahat dari hidup ini? "
Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal.

"Ya Tuhan, " aku menangis,
"Biarkan aku tidur...Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali!"

Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan. Tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku, Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar.

Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu.
Sesosok pria berdiri di depan salib.

"Anakku, " orang itu bertanya,
" Mengapa engkau datang kepada-Ku sebelum Aku siap memanggilmu?

" Tuhan, aku mohon ampun.Ini karena... aku tidak bisa melanjutkannya.
Kau lihat! betapa berat hidupku. Lihat beban berat di punggungku.Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi. "

" Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat,karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.
Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan. "

" Aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

" Anak-Ku, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

" Aku bisa melakukan hal itu?"
Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kaki-Nya.
Kau bisa mencoba semua ini. Semua salib itu berukuran sama.
Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

" Itu punya Joan, " kataku.

Joan menikah dengan seorang kaya raya.
Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan
yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus.
Kadangkala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya
kalau mobilnya rusak.

"Umm, aku coba punya Joan.
Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja.
Seberat apa beban yang Joan panggul? " pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di pundakku.
Aku langsung terjatuh seketika.

"Lepaskan beban ini! " teriakku.
" Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?"
" Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan, dan ketika aku mengangkatnya,ibu mertua Joan mulai berbicara, "Joan, kau tidak pantas untuk anakku,tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu.Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku. .."
Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain.

Itu adalah Donna, adik terkecil Joan.
Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu.

Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan.
Ia kecanduan narkoba,telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

" Aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan.
Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain.

Aku tidak menyadarinya. .. "
" Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa.
Beban Paula terasa sangat berat juga:
Ia melihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami.

Debra punya juga demikian:
masa kecilnya yang dinodai oleh penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan.

Ketika aku melihat beban Ruth,aku tidak ingin mencobanya.
Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut,
dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

" Beban mereka semua sangat berat, Tuhan " kataku.

" Kembalikan bebanku"
Ketika aku mulai memasang bebanku kembali,
aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.

"Mari kita lihat ke dalamnya, " Tuhan berkata.
Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat.
" Itu bukan ide yang baik, " jawabku,

" Mengapa?"

" Karena banyak sampah di dalamnya."

" Biar Aku lihat"
Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh.

Aku membuka bebanku.
Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku.

" Katakan kepada-Ku mengenai hal ini."

" Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang.

Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa negara atau seperti tuna wisma di sini.
Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter.
Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi.
Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas. "

"Anak-Ku, Aku selalu memberikan kebutuhanmu. ... dan semua anak-anakmu.
Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat.
Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu. "

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki.!
" Dan yang ini? " tanya Tuhan.

" Andrew..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.
"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan.

Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu.Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya. .. "

" Anak-Ku," Tuhan berkata.
" Jika kau percayakan kepada-Ku, Aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan Roh Kudus,
Aku akan memberikan engkau kesabaran."

Kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.

" Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang.
" Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku.
Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus.
Aku tidak mampu untuk pergi ke salon.
Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet.
Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku! "

" Anak-Ku, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu.

Dengan Roh Kudus, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu.
Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar.

Bahkan, seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu.

Itulah yang berharga di mata-Ku. "

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya.

" Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang, " kataku,
" Yang terakhir, berikan kepada-Ku batu bata yang terakhir." kata Tuhan.

" Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya. "

" Anak-Ku, berikan kepadaKu."
Kembali suara-Nya membuatku luluh.

Ia mengulurkan tangan-Nya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat luka-Nya.
"Tuhan....Bagaimana dengan tangan-Mu? Tangan-Mu penuh dengan luka!! "

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku,
aku melihat wajah-Nya untuk pertama kalinya..
Dan pada dahi-Nya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan, " aku berbisik.

" Apa yang terjadi dengan Engkau?"

Mata-Nya yang penuh kasih menyentuh kalbuku.
" AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu.
Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya. "

" Bagaimana?"

" Dengan darah-Ku"

" Tetapi kenapa Tuhan?"

" Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi,yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tangan-Nya yang terluka.
Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku:
kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku.

Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus.

Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

" Sekarang anak-Ku, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu.
Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang. "

" Ya, Tuhan, aku akan memanggil-Mu. "

Aku mengambil kembali bebanku.
" Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau.

Kau lihat beban-beban itu?
Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu,
yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth...

Ketika kau meninggalkan bebanMu di sini,aku akan menggendongnya bersamamu.

Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan. "
Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang.

Namun, masih kudengar suaraNya berbisik,

" Aku tidak akan meninggalkanmu, atau melepaskanmu. "

Oleh: Ks. Min Sergai


TALK TO GOD MORE OFTEN....

Mereka bilang ini adalah kisah nyata ….

Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan.

Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan.

Tindakannya selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.

“Bagaimana kabarmu Andy? Apakah kamu akan ke sekolah ?”

“Ya, Bapa Pendeta!” balas Andy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.

Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut,”Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan menemani kamu ke seberang jalan . jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat.”

“Terima kasih, Bapa Pendeta.”

“Kenapa kamu tidak pulang sekarang ?? Apakah kamu tinggal di Gereja

Setelah pulang sekolah?”

“Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan .. sahabatku.”

Dan Pendeta itu segera meninggalkan Andy untuk melewatkan waktunya Didepan altar berbicara sendiri, tapi kemudian Pendeta tersebut bersembunyi Dibalik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di Surga.

“Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya . aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terima kasih buat kue ini Tuhan! . aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya . lucunya, aku nggak begitu lapar. Lihat, ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus

berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu ini sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa .. paling tidak aku tetap dapat pergi ke sekolah.

Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah . Tolong Bantu mereka supaya bisa sekolah lagi . tolong Tuhan ?? Oh ya, Engkau tahu Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu.

Tuhan . Engkau mau lihat lukaku ??? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkannya, disini .. disini .. aku rasa Engkau tahu yang ini khan …..??

Tolong jangan marahi Ibuku ya ..??? dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku .. Itulah mengapa dia memukul kami.

Oh Tuhan. aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang cantik dikelasku, namanya Anita … menurut Engkau apakah dia akan menyukaiku ???

Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.

Hei .. ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira??

Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu .tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau akan menyukainya.Ooops aku harus pergi sekarang.”

Kemudian Andy segera berdiri dan memanggil Pendeta itu, “Bapa Pendeta….Bapa Pendeta..aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bias menemaniku menyeberang jalan sekarang!”

Kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andy tidak pernah absen sekalipun.

Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah .. suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.

Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bias memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja diserahkan pengelolaannya kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka.

Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andy tiba dari pesta natal di sekolahnya, dan menyapa “Halo Tuhan..Aku …’

“Kurang ajar kamu bocah !!! tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa ??!!!

Keluar.!!!”

Andy begitu terkejut, ” Dimana Bapa Pendeta Agaton .??? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya . dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang Gereja . tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus ini hari ulang tahunNya, aku punya hadiah untukNya ….”

Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja.

Sambil membuat tanda salib ia berkata “Keluarlah bocah ..kamu akan mendapatkannya !!!”

Oleh karena itu Andy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut didepan Gereja. Dia mulai menyeberang .ketika tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut.

Waktunya hanya sedikit untuk menghindar .. dan Andy tewas seketika.

Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tak bernyawa.

Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis.

Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya, ” Maaf Tuan. Apakah anda keluarga bocah malang ini ? Apakah anda mengenalnya ?”

Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata,” Dia adalah sahabatku.” Hanya itulah yang dia katakan.

Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam baju bocah malang tersebut dan menaruhnya didadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang tersebut semakin penasaran…

Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan.

Dia berkunjung ke rumah Andy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andy.

“Bagaimana anda mengetahui putera anda meninggal ?”

“Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari.” ucap ibu Andy terisak.

“Apa katanya ?”

Ayah Andy berkata ,”Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai Dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian Dia membisikkan sesuatu …

“Apa yang dia katakan?”

“Dia berkata kepada puteraku ..” Ujar sang Ayah “Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku.” Dan sang Ayah melanjutkan, “Anda tahu kemudian. semuanya itu terasa begitu indah .. aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia .. aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika Dia meninggalkan kami ada suatu Kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita didalam hatiku. Aku tahu puteraku sudah berada di Surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku, Bapa Pendeta..siapakah Pria ini yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di Gerejamu ? anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada disana setiap hari, kecuali pada waktu puteraku meninggal .”

Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik,” Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa. kecuali dengan Tuhan.”





END OF THE SPEAR
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (Matius 28:19)

Ada film yang DVD nya dirilis di tahun 2006, judulnya "END OF THE SPEAR", sebuah kisah nyata, dan sebuah film tentang misi Kekristenan yang paling cantik yang pernah dibuat, jarang sekali ada film tentang misi Amanat Agung, apalagi yang dikemas secara professional dan serius sebagaimana film sekuler dan/ atau film-film kolosal dengan latar belakang sejarah misalnya, Kingdom of Heaven, Passion of the Christ, Conquest of Paradise, dll. Gambar dan musiknya sangat cantik, menikmati sinematografinya seolah-olah kita sedang menonton documentary dari The National Geography, sangat indah!.

Film yang disutradarai oleh John Hanon dan Score dari Ronald Owen ini menceritakan tentang kehidupan beberapa misionaris yang sungguh mencintai Tuhan melebihi hidup. Tahun 1950-an Seorang lelaki muda yang bersemangat, Nate Saint membawa istri, anak-anak, dan adik perempuannya Rachel pindah dari kehidupan nyaman menuju ke Shell Mera, Ecuador, dengan satu tujuan "mengabarkan kabar baik tentang Yesus" kepada orang-orang yang sama sekali belum mengenal Injil. Disitu Pelayanan Nate Saint dibantu oleh beberapa rekan dalam misi ini. Awal pelayanan mereka adalah menjangkau suku yang bernama "Quechua". Namun Nate tidak puas sampai di lingkup suku ini saja, ia bertekat menjangkau pula suku lain yang lebih terbelakang.

Nate mempunyai seorang anak lelaki yang kira-kira masih berumur 7tahun kala itu, ia bernama Steve Saint. Steve kecil suka sekali membuat pekerjaan tangan, ia bersama ayahnya membuat replika pesawat yang dikendarai Nate dari kayu. Pada film ini Steve Saint sendiri yang menjadi stunt terbang dengan pesawat Cessna 172 untuk peran ayahnya, Nate. Dari kisah yang ditulis Steve Saint "Beyond the Gates" inilah film "End of the Spear" ini dibuat.

Di hutan Amazon, di Ecuador terdapat suku primitive yang bernama "WAODANI". Waodani dalam bahasa Quechua artinya adalah "savage" (biadab/ kejam). Suku Waodani dikenal sangat ganas, bukan saja mereka suka membunuh orang lain, tetapi antar sesama suku mereka sendiri juga sangat sering sekali terjadi perang antar kelompok, saling bunuh-membunuh, unsur saling balas-dendam sulit dipisahkan dari masing-masing kelompok di suku Waodani. Dalam film ini kehidupan suku Waodani digambarkan dengan cermat dan masuk budaya dan kebiasaannya, mulai mereka makan, tidur, berperang, menangkap ikan, memburu, menaklukkan jaguar, anaconda, dll. Kita benar-benar dibawa masuk untuk mengerti kehidupan mereka yang primitive.

Hal tersebut tidak membuat Nate Saint dkk, menyerah, ia dengan sabar menyusuri hutan itu dengan pesawat terbang kecil, untuk mencari letak dimana kira-kira suku Waodani tinggal. Dari sekian lama pencarian itu akhirnya pada January 1956, ia menemukan lokasi tinggal dari 'suku Waodani', dengan suka-cita ia menceritakan kepada rekannya bahwa ia akan masuk untuk melakukan misi kepada suku ini. Keganasan suku Waodani tidak membuat Nate dan rekan-rekannya takut, mereka mengatakan keganasan mereka adalah 'penjara' yang dibuatnya sendiri, kita harus datang untuk menembus pintu-pintu penjara itu, dan membebaskan orang-orang yang didalamnya.

Sebelum masuk dan berencana mendarat di daerah Waodani, Nate dan seorang rekannya Jim, melakukan 'contact' dengan mengirimkan beberapa souvenir yang diturunkan dengan tali dari pesawat kepada suku Waodani, rupanya komunikasi dengan 'souvenir' ini mendapat tanggapan, salah seorang kepala dari suku Waodani yang bernama Mincayani, memberikan balasan, ia memberikan souvernir 'seekor burung nuri' dimasukkan kedalam keranjang yang diturunkan dari pesawat Nate. Tak lama itu pula, Nate menemukan 'lapangan' di sisi sungai ditengah-tengah hutan itu, yang kira-kira bisa dijadikan run-way pesawat. Dengan isyarat ini Nate membulatkan tekat bersama rekan-rekannya berencana mendarat di perkampungan Waodani dengan pesawat kecil jenis Cessna itu.

Kepergian Nate menuju ke lokasi tinggal dari suku Waodani membuat Steve kecil sangat kawatir, ia bertanya kepada ayahnya apa yang akan kau perbuat jika Waodani hendak membunuhmu? Apakau kamu akan menembak mereka? Nate, ayahnya menjawab pertanyaan anaknya dengan sangat mengharukan sekali "Son, we can't shoot the Waodani, they're not ready for Heaven, but we are!". Segera Steve kecil memahami maksud ayahnya, bahwa kemungkinan ia tidak bertemu ayahnya lagi.

Nate, bersama ke-4 rekan lainnya benar-benar mendarat di perkampungan suku Waodani di tengah-tengah hutan untuk melakukan 'contact' langsung dengan suku tertinggal ini. Betapa sukacitanya ke-5 misionaris ini diterima dengan baik oleh suku Waodani, tapi sayang, kejadian ini tidak berlangsung lama, karena kemudian terjadi 'misunderstanding' akibat hasutan dari salah seorang suku Waodani yang mengatakan bahwa 'para bule' ini sebenarnya datang untuk membunuh orang-orang Waodani. Memang sulit untuk dipahami maksud kedatangan 5 misionaris ini oleh masyarakat tertinggal ini, Waodani tidak bisa membedakan, yang mana misionaris yang punya misi damai, dan yang mana pula para pemburu bersenjata. Bagi Waodani, orang-orang pendatang itu sama-sama bule, dimata mereka semuanya sama. Dimasa lalu, hal yang sama juga pernah terjadi di negeri kita bukan?, disatu sisi, ada bule penjajah, di sisi lain ada bule misionaris.

Hasutan dari salah seorang Waodani, berakibat fatal, dan menyulut kemarahan Mincayani, ia dengan segera bersama-sama kelompoknya membunuhi ke-5 misionaris yang tidak mengerti mengapa mereka tiba-tiba diserang secara brutal. Nate, pada detik akhir kematiannya sempat mengucapkan kalimat dalam bahasa Waodani : "I'm your sincere friend", mendengar ucapan ini Mincayani menjadi gundah, bagaimana bisa seorang yang sudah ia tusuk dengan tombak, yang semestinya marah padanya, justru mengatakan kalimat seperti itu diakhir ajalnya?. Namun kegundahan ini ia simpan sendiri. Ia kemudian menemukan foto keluarga Nate dan foto Steve kecil, dan beberapa souvenir lain diantaranya 'replika pesawat itu yang terbuat dari kayu' dan ia menyimpannya.

Setelah sekian hari tidak ada 'contact' maka datanglah regu pencari, dan ternyata benar mereka menemukan bangkai pesawat yang sudah tercabik-cabik akibat dirusak oleh Waodani, dan…. tentu jasad ke-5 misionaris itu. Ditemukan pula dokumentasi, foto-foto dan film yang dibuat oleh para martir itu. Kabar kematian ini jelas membuat shock dan kesedihan yang mendalam dari keluarga dan rekan-rekan. Kedua orang janda para martir itu dan anak-anaknya tentu saja sedih. Tetapi para janda misionaris dan Rachel, adik Nate, itu justru bertekat menjadi penerus jalan misi yang sudah dibuka oleh ke 5 martir itu.

Dengan dibantu oleh perempuan muda asal suku Waodani yang bernama Dayumae, yang sejak kecil tinggal bersama misionaris, Dua orang Janda dan Rachel, bersama anak-anak mereka yang masih kecil-kecil termasuk Steve, masuk ke hutan ke tempat suku Waodani tinggal. Keadaan mereka yang bergender 'perempuan' dan beberapa anak kecil, lebih dianggap 'aman' dan akhirnya diterima oleh kalangan suku Waodani. Meski demikian untuk masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Waodani, bukanlah hal yang mudah, ada banyak syak wasangka/ prejudice dari suku Waodani. Namun ada seorang yang bisa melihat dan memahami kerelaan para perempuan ini, seorang Waodani yang bernama Kimo, ia membantu perempuan-perempuan itu, bahkan membuatkan sebuah gubuk bagi mereka. Dengan hati berani, rela dan kasih, para perempuan itu tinggal bersama diantara para pembunuh suami mereka, demi Injil.

Namun, Mincayani tetap mengeraskan hatinya, ia tetap menjaga jarak terhadap para misionaris itu, karena perasaan 'guilty' dan lain-lain yang berkecamuk di benaknya. Awal pertemuannya dengan Steve kecil, Mincayani sangat tersentak, mungkin ia teringat dengan foto steve yang tertempel di pesawat Nate. Menurut tradisi Waodani, anak lelaki dari seorang yang terbunuh, akan membalas kematian ayahnya. Mincayani semakin menjauhi Steve, atas kepercayaan itu, di lain pihak ia juga tidak mempunyai hati untuk membunuh anak itu sebagai tindakan menjaga diri kalau-kalau anak ini menjadi besar akan membalas dendam.

Para misionaris perempuan itu dengan segera melakukan pelayanan kesehatan, dan pemberian pendidikan sederhana kepada suku Waodani. Tak ada dendam, karena para perempuan yang cinta Tuhan itu telah memahami dan sadar betul, bahwa nyawa menjadi taruhan demi kelebaran Kerajaan Allah. Keberadaan kelompok misionaris perempuan itu, dirasakan manfaatnya oleh suku Waodani, terutama saat terjadi wabah 'pneumonia'. Mereka dengan tak kenal lelah melayani orang-orang yang sakit, mendatangkan obat-obatan, memberikan pengobatan dan merawat. Begitulah seterusnya. Pelayanan misi tidak selalu harus diawali dengan rentetan ayat-ayat Alkitab dan khotbah-khotbah yang diucapkan, namun atas perbuatan kasih yang tampak dan terasa itulah, suku Waodani dapat melihat Tuhan yang sunguh-sungguh ada dalam kehidupan para saksi-saksi Kristus itu. Dan suatu hasil besar dituai, bahwa pelayanan kasih, dan teladan kasih yang ditampakkan menularkan benih-benih kasih diantara Waodani, dan kasih itu telah mengakhiri cycle balas-dendam antar kelompok didalam suku Waodani, yang saling bunuh-membunuh di sepanjang sejarah Waodani.

Tiba saatnya bagi Steve untuk kembali ke Amerika, untuk melanjutkan study-nya sesekali ia mengunjungi Rachel di Ecuador di hutan tempat suku Waodani tinggal. Setelah dewasa dan menikah, tahun 1994 ia kembali lagi ke Ecuador, menguburkan jasad Rachel, bibinya, yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Waodani yang sekarang lebih maju dan berpendidikan. Rachel mewasiatkan agar Steve meneruskan pelayanannya di antara suku Waodani, namun Steve yang dewasa, yang sudah tidak terbiasa dengan kehidupan 'dalam keterbelakangan' agaknya ragu menerima tugas itu. Lalu, Kimo, dan Mincayani yang sudah menjadi 'anak Tuhan' memberikan dia dorongan untuk menerima wasiat Rachel. Di saat itu pula, untuk pertama kalinya Mincayani memberikan pengakuan bahwa dialah yang membunuh ayahnya, Nate. Ia juga masih menyimpan foto dan souvenir pesawat dari kayu buatan Nate dan Steve kecil dahulu. Mincayani menunjukkannya kepada Steve dengan menangis menyesali perbuatannya dulu. Dan ternyata, kasih telah menutup segalanya, tak ada lagi marah, dendam-pun sirna. Steve memandang karya Allah dalam kehidupan Mincayani, dalam penyesalannya akan kejahatannya masa lalu, telah membawa manusia jahat ini menjadi orang yang paling setia kepada Tuhan. Ia bukan hanya menjadi kepala suku Waodani, ia juga menjadi saudara, bapak, dan kakek yang penuh kasih bagi masyarakat Waodani.

Ketika kasih itu berbicara, ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Selanjutnya, di tahun 1995 Steve menjalani kehidupan bersama dengan pembunuh ayahnya itu, mereka ada bersama-sama dalam satu pelayanan, hingga kini mereka terus melakukan kesaksian dengan perbuatan kasih kepada orang-orang, masyarakat suku pedalaman Waodani dan sekitarnya.

Hampir tak ada atribut/ simbol-simbol Kekristenan di film ini, tidak ada tanda salib, gedung gereja ataupun penunjukkan Alkitab dan pengucapkan ayat-ayat Alkitab. Namun dari tema KASIH dalam film ini telah memberikan pengajaran tanpa kesan menggurui. Kasih yang jelas tampak terwujud membuat kita mengerti, bahwa itulah Kekristenan yang sebenarnya.


Haleluyah!

Source: www.akupercaya.com

No comments: