HUKUM KONSTITUSI
KC Wheare. mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara.
Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (non legal); Berdasarkan konsep konstitusi C.F. Strong konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara;
James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain, hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan; Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang diberikan oleh CF Strong lebih luas dari pendapat James Bryce. Walaupun dalam pengertian Yang dikemukakan James Bryce itu merupakan konstitusi dalam kerangka masyarakat politik (Negara) yang diatur oleh hukum. Akan tetapi dalam konstitusi itu hanya terdapat pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan Negara yang dilengkapi dengan fungsi dan hak-haknya. Dalam batasan Storng, apa yang dikemukakan james Bryce itu termasuk dalam kekuasaan pemerintahan semata, sedangkan menurut pendapatnya, konstitusi tidak hanya mengatur tentang hak yang diperintah.
1. Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
2. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara.
3. EC Wade Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut.
4. Herman Heller menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.
5. Lasalle pengertian konstitusi adalah Kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil : presiden, TNI, Partai; buruh, tani dsb).
6. Carl Schmitt dari mazhab politik. adalah :
Kosntitusi dalam arti absolut, seluruh keadaan atau struktur dalam negara, konstitusi harus menentukan segala apa dalam negara.
Konstitusi dalam arti relatif, maksudnya dapat menjamin kepastian hukum.
Konstitusi dalam arti positif, merupakan suatu putusan tertinggi dari pada rakyat atau orang yang tergabung dalam suatu organisasi yang disebut negara.
Konstitusi dalam arti ideal, segala wadah yang mampu menampung segala ide yang dicantumkan satu persatu sebagai konstitusi sebagai mana disebut dalam konstitusi dalam arti rel.
Pengertian konstitusi dapat dipahami dalam dua arti: konstitusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti sempit.
1. Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan tatanan aturan dalam rangka penyelenggaraan negara baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam pengertian arti luas ini, setiap negara pasti mempunyai konstitusi untuk mengatur jalannya kehidupan negara.
2. Konstitusi dalam arti sempit adalah aturan dasar yang tertuang secara tertulis dalam suatu naskah dokumen tertentu dan diberikan sifat agung serta luhur sebagai landasan konstitusional tertinggi dalam mengatur negara. Konstitusi dalam pengertian arti sempit ini biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
Tidak setiap negara mempunyai UUD, tetapi setiap negara pasti punya konstitusi. Indonesia sebagai negara yang lahir pada era abad 20, tepatnya 17 Agustus 1945, termasuk negara modern yang mempunyai konstitusi tertulis (UUD). Sejak kelahirannya hingga sekarang telah mengalami perubahan atau bahkan penggantian UUD. Pada awal kelahirannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Memasuki akhir tahun 1949 terjadi perubahan susunan negara dari Negara Kesatuan ke Negara Serikat sehingga diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949. Akan tetapi dalam waktu yang sangat singkat, pada tahun 1950, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan lagi dengan UUD Sementara 1950 sebagai landasan konstitusionalnya.
Selanjutnya pada tanggal 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui kekuatan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno. Perjalanan UUD 1945 pasca Dekrit 5 Juli 1959 berlangsung hingga adanya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut dilakukannya perubahan secara total dalam proses kehidupan bernegara, termasuk juga tuntutan Perubahan UUD 1945. Sebagai reaksi terhadap tuntutan reformasi tahun 1998, maka dilakukanlah Perubahan UUD 1945 dalam empat tahapan perubahan yakni Perubahan Pertama terjadi pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Adanya empat tahapan Perubahan UUD 1945 tersebut, bangsa Indonesia pada dasarnya telah mempunyai UUD yang baru. Karena empat kali rangkaian Perubahan UUD 1945 tersebut telah merubah secara fundamental berkaitan dengan substansi tatanan kehidupan bernegara di Indonesia yang dari semula hanya 49 ayat dalam UUD 1945 telah diubah menjadi 170 ayat materi yang diatur dalam UUD 1945 hasil perubahan (amandemen). Bahkan jika dilihat secara kuantitas, maka Perubahan UUD 1945 telah mencapai angka sekitar 300%, suatu perubahan UUD yang luar biasa dalam rangka membangun kelembagaan struktur Indonesia baru pasca reformasi 1998.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga pendatang baru yang dilahirkan melalui Perubahan UUD 1945 yang disetujui dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berlangsung pada tahun 2001. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan ini, dikarenakan adanya tuntutan kebutuhan dalam rangka penerapan prinsip check and balances (saling kontrol dan seimbang) dan semangat untuk menegakkan supremasi hukum dengan UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi dalam proses penyelenggaraan kehidupan negara. Jadi, pada hakekatnya adanya Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengawal, menjaga dan menegakkan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
HUKUM INTERNASIONAL KONSTITUSI
BAB I
KONSTITUSI
1. Pengertian Konstitusi
Menurut Leslie Wolf – Philips pengertian konstitusi dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu :
1. Kelembagaan (institusi) ; struktur (Oppenheim), Negara dalam pengertian ini dianggap “diam” (staats in rust).
2. Mekanisme organ daripada negara sebagai pemegang kekuasaan dalam sistem politik.
Dari dua segi yang berbeda ini banyak ahli yang melihat hanya pada masing-masing sisi, baik hanya melihat dari sisi “institusional” ataupun dari sisi “mekanisme penguasa”.
Para ahli pertama ini, seperti James Bryce (1884), Sir Kenneth C. Wheare atau S.E. Finer dalam bukunya Comparative Government yang menyatakan “konstitusi merupakan (adalah) kitab dari peraturan-peraturan yang menetapkan alokasi daripada fungsi kekuasaan, kewajiban di antara berbagai alat pemerintahan dan organ-organnya serta menetapkan hubungan di antara mereka dengan masyarakat serta antara alat dan organ pemerintah yang kemudian diformulasikan ke dalam satu dokumen”.
Para ahli kedua ini, seperti Karl Loewenstein dalam bukunya Political Power and the Governmental Process yang menyatakan “konstitusi sebagai alat pokok untuk mengontrol proses kekuasaan yang tujuannya adalah sebagai usaha untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan politik dalam rangka mengawasi kewenangan mereka dalam menjalankan proses kekuasaan”, Carl Joachim Friedrich, Herman Finer, dan Henc van Maarseveen (written constitution) yang menyatakan “konstitusi haruslah dilihat sebagai dokumen hukum politik (a politico legal document), dokumen tersebut memberikan kepada negara suatu nama khusus atau kualitas khusus dalam suatu bentuk tertentu yang ditentukan atau ditetapkan sebagai bentuk dari keseluruhan dokumen-dokumen negara dan peraturan-peraturan atau hukum-hukum politik”.
Dari beberapa pengamatan terhadap pengertian konstitusi tersebut di atas, maka jelas tampak konstitusi merupakan alat penting dalam menata kehidupan bernegara. Hal itu tampak dalam cara menentukan bagaimana negara dapat diselenggarakan dengan menetapkan organ-organ yang memiliki kedudukan atau status, tugas dan wewenangnya, serta bagaimana organ-organ negara dan rakyat saling berhubungan. Oleh karenanya secara normatif konstitusi merupakan alat atau instrumen pokok negara. Artinya konstitusi tidak hanya merupakan alat dari kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk norma, tetapi juga merupakan alat untuk mengatasi masalah-masalah kenegaraan agar dapat disalurkan.
Oleh sebab itu konstitusi dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda pula, yaitu :
1. Tatanan yuridik (legal system) dari suatu negara;
2. Sistem politik (political system) dari suatu masyarakat yang bersepakat untuk menyelenggarakan kehidupan bersama dalam suatu negara.
Sebagai tatanan konstitusi tidak saja merupakan norma-norma yang tertuang dalam suatu naskah atau dokumen, tetapi juga merupakan norma dasar bagaimana negara mengalami proses. Sebaliknya sebagai system politik, konstitusi merupakan suatu konsep bagaimana elemen-elemen negara dapat menyelenggarakan suatu fungsi sehingga tiap-tiap subsistem dari negara dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan negara.
Dari dua sudut pandang ini ditemukan alasan-alasan kenapa konstitusi itu timbul, antara lain :
1. Adanya keinginan warganegara untuk melindungi hak-haknya dan menentukan pembahasan bagaimana pemerintah bertindak.
2. Adanya keinginan para pembentuk negara untuk menciptakan sistem ketatanegaraan yang tertentu dengan maksud agar dibelakang hari tidak dimungkinkan adanya tindakan sewenang-wenang daripada penguasa.
3. Adanya keinginan para pembentuk negara untuk menjamin adanya cara-cara penyelenggaraan negara secara permanen dan dapat diterima masyarakat.
4. Adanya keinginan untuk menjamin kerjasama yang efektif dari negara-negara yang dahulunya terpisah.
Pada umumnya konstitusi diartikan tertulis (written) dan tidak tertulis (unwritten). Pengertian tertulis dianggap pengertian sempit (narrow meaning), sedangkan tidak tertulis dianggap pengertian luas. Pengertian-pengertian tersebut timbul karena proses dari sejarah politik (political history) yang terus berkembang dan mendasar dari sejarah pemikiran politik (history of political theory). Permasalahan pokoknya bertolak dari banyaknya kemungkinan untuk menginterpretasikan konstitusi. Perubahan yang paling menonjol adalah berkenaan dengan interpretasi tentang pengertian konstitusi dalam arti sempit.
Menurut C.F. Strong pembedaan tersebut sebenarnya kurang tepat, oleh karena tidak ada konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis; demikian pula tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis. Suatu konstitusi umumnya disebut tertulis, bila merupakan satu naskah, sedangkan konstitusi tidak tertulis tidak merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Oleh karena itu istilah lain untuk konstitusi tertulis adalah konstitusi bernaskah (documentary constitution), sedangkan untuk konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi tidak bernaskah (non-documentary constitution). Baik istilah document atau written sering dipakai dalam arti yang sama atau saling menggantikan (interchangeably).
Sementara itu Henc van Maarseveen mendefinisikan kedua pengertian itu sebagai berikut :
“…………if a documentary constitution is to be defined as a constitution consisting of a specific document which is itself called “the Constitution”, then a written constitution can be defined as the sum total of all statutes, regulations and recorded customs which establish the organization, working and power of a state (1978 : 231)”.
Dari uraian-uraian dan definisi-definisi para ahli tersebut di atas tentang konstitusi, maka terlihat adanya substansi daripada definisi-definisi tersebut. Substansi-substansi tersebut antara lain :
1. Konstitusi adalah hukum dasar daripada negara (a constitution is the basic law of a state)
2. Konstitusi adalah koleksi-koleksi dasar (kumpulan-kumpulan dasar daripada aturan-aturan yang menetapkan prinsip-prinsip institusi atau prinsip-prinsip kelembagaan dari pada negara (a constitution is the basic collection of rules establishing the principal institutions of a state).
3. Konstitusi mengatur dari keseluruhan yang penting dari lembaga-lembaga negara, kekuasaannya dan bagaimana lembaga-lembaga itu dapat berkorelasi (a constitution regulates the most important of the states’s institutions, their powers and their mutual relations).
4. Konstitusi mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasar dari warga dan pemerintah yang satu sama lain terpisah (regulates the fundamental rights and duties of the citizens and the government, both separately and as regard one another).
5. Konstitusi mengatur dan membatasi kekuasaan dari negara dan lembaga-lembaganya (regulates and limits the power of the state and its institutions).
6. Konstitusi menentukan ideologi dari hakekat kekuasaan elite (tertinggi) dalam bentuk yang bulat di dalam aturan-aturannya (establishes the ideology of the existing power elite in rules).
2. Isi Konstitusi
Sejarah kehidupan bernegara (sejarah politik) sepanjang zaman telah melahirkan konsepsi-konsepsi isi konstitusi. Sejarah politik ini ditandai dengan pergolakan rakyat atau bangsa dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang sekaligus juga merupakan sejarah proses munculnya kekuasaan di tengah-tengah sekelompok masyarakat.
Dalam proses (politik) yang demikian muncul pula kekuatan-kekuatan perlawanan (oposisi), baik dari pihak yang hendak dikuasai maupun dari pihak lain yang hendak menguasai. Perlawanan (konflik) ini bias disebabkan adanya persaingan atau juga karena suatu sebab yang objektif, seperti ketertekanan, ketidakbebasan atau ketidakpuasan. Kondisi seperti ini lazim disebut “political history”.
Dalam prose situ pula ditengah-tengah masyarakat yang bergejolak lahir buah pikiran untuk merancang kehidupan bernegara (political thought). Buah pikiran itu pada dasarnya merupakan penghalusan dari fakta-fakta sejarah. Akan tetapi eksistensinya mungkin berbentuk penjernihan masalah politik atau merupakan legitimasi dari suatu kondisi kehidupan bernegara (political idea).
Proses politik seperti terungkapkan di muka melahirkan dua aspek, yaitu normatif dan ideologi. Kedua-duanya saling mempengaruhi. Sebagaimana halnya, munculnya kekuasaan dapat disebabkan adanya arus perlawanan, tetapi juga mungkin disebabkan oleh munculnya “ide-ide politik” yang diterima sekelompok elite dan didukung oleh rakyat. Sebaliknya, malahan penyebab-penyebab tersebut dapat lebih memperkokoh kekuasaan.
Dalam sejarah kehidupan bernegara, berawal dari zaman Yunani dan Romawi Kuno, kehidupan bernegara sudah didasari oleh “Leges Fundamenatalis”. Dikenal pula istilah Nomoi (UU) dan Politea (UUD). Eclasia (volkssouvereiniteit) dengan sistem pemilihan langsung (direct democray) di Romawi terdapat paham Caesarismus, yaitu suatu paham kenegaraan yang melimpahkan kekuasaan kepada Kaisar berupa pelimpahan hak-hak individual melalui perjanjian dengan Kaisar secara mutlak (monarki absolute Thomas Hobbes). Masa kedua imperium ini adalah sejarah kehidupan bernegara dengan dasar konstitusi. Sejarah ini terus berlanjut sesuai dengan zamannya, sampai lahirnya Magna Charta (1215) sebagai tahap dimulainya gagasan-gagasan baru dalam mengatur kehidupan bernegara dan sekaligus sebagai tonggak pertama pengakuan terhadap hak-hak warga negara.
Dari uraian tersebut di muka, tampak bahwa isi konstitusi di dalam perkembangan dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu :
1. Sejarah praktek (politik) atau political history; dan
2. Sejarah pemikiran (history of political theory)
Baik sejarah teori politik maupun sejarah politik pada dasar.
3. Fungsi Konstitusi
“Constitutions are seen as a variable function of cult of national character” (Henc van Maarseveen)”.
Secara faktual setiap konstitusi mempunyai fungsi. Fungsi konstitusi tersebut tidak saja dipandang dalam pengertian nasional (menurut kondisi tempat berlakunya konstitusi), tetapi juga menurut pengertian fungsi pada umumnya.
Dari sudut pandang nasional, konstitusi suatu negara memiliki fungsi yang sesuai dengan situasi keberlakuan dari konstitusi seirama dengan karakter bangsa yang bersangkutan serta dengan tujuan yang hendak dicapai negara tersebut. Hal selaras dengan pengertian yang diberikan Maarseveen diatas.
1. Fungsi Ideologi
Konstitusi mengandung indoktrinasi (komitmen) ideologi sehingga konstitusi dipandang sebagai instrumen ideologi. Dengan kata lain konstitusi merupakan perumusan dari cita-cita awal didirikannya negara. Hal itu dirumuskan secara keseluruhan atau sebagian, baik didalam of government maupun di dalam bill of rights.
2. Fungsi Nasionalistik
Konstitusi merupakan kontribusi dari perasaan semangat kebangsaan. Dalam kondisi seperti ini konstitusi dipandang memiliki fungsi integrasi. Artinya, baik konstitusi secara keseluruhan atau bagian perbagian memiliki kemampuan untuk mempersatukan pribadi dalam satu kesatuan negara, wilayah dan pemerintahan. Oleh karena itu konstitusi memiliki wibawa untuk menyatukan pikiran dari setiap warga negara.
3. Fungsi Regulasi
Konstitusi memiliki fungsi menstabilisasikan dan mengatur kehidupan bernegara. Negara awalnya merupakan keinginan-keinginan politik yang belum stabil. Muncul dari kekuatan-kekuatan sosial maupun kekuatan-kekuatan politik dari luar. Selanjutnya konstitusi berfungsi menstabilisasikan keinginan-keinginan dan kekuatan-kekuatan politik tadi. Dengan kata lain konstitusi memberikan jaminan stabilitas dalam masyarakat dengan menentukan pola-pola sikap dan tindak-tanduk dari setiap elemen negara (individu, organ negara dan aparat).
4. Fungsi Rasionalisasi
Konstitusi dalam kenyataannya merupakan pengungkapan dari keinginan-keinginan politik, tujuan-tujuan politik dan cita-cita negara yang formulasikan dalam terminologi yuridis. Oleh karena itu konstitusi merupakan alat menetralisir keinginan cita-cita dan tujuan-tujuan politik ke dalam terminologi normatif. Konstitusi bukan lagi perwujudan keinginan cita-cita dan tujuan politik atau pernyataan ungkapan politik semata, tetapi sudah menjelma menjadi ungkapan yuridis (legal statement).
5. Fungsi Hubungan Masyarakat
Konstitusi memiliki fungsi yang menimbulkan respek (mematuhi/rasa hormat) baik ke dalam maupun keluar. Maksudnya konstitusi berfungsi memasyarakatkan negara secara intern maupun ekstern.
6. Fungsi Registrasi
Konstitusi merupakan catatan dari hasil-hasil konflik politik yang diformulasikan menjadi norma-norma politik. Akan tetapi hasil dari konflik ini pada dasarnya melalui proses seleksi yang ketat melalui prosedur-prosedur konstitusional. Sebagaimana mestinya suatu norma dasar lahir dari pertentangan politik baik positif maupun negatif yang diseleksi sedemikian rupa sehingga menjadi norma yang diakui secara umum. Konflik politik pada dasarnya adalah pertentangan dari kepentingan dan keinginan politik di antara berbagai kelompok. Pertentangan itu tidak lain merupakan harmonisasi dari berbagai kepentingan atau usaha penyesuaian berbagai keinginan untuk merumuskan tujuan. Konstitusi dalam hubungan ini berfungsi mengkoleksi hasil-hasil dari pertentangan tadi.
7. Fungsi Simbol
Konstitusi merupakan formulasi dari norma-norma dan nilai-nilai dasar kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berproses membentuk nilai dan norma dasar. Nilai dan norma dasar itu tidak lain kristalisasi dari rasa keterikatan untuk mencapai tujuan sehingga nilai dan norma dasar itu merupakan hakekat dari kesepakatan. Kesepakatan itu terwujud dalam bentuk diterimanya asas demokrasi, asas keadilan, asas negara hukum yang kemudian diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga. Semua asas-asas tersebut (dalam bahasa konstitusi disebut norma-norma konstitusional) memiliki nilai-nilai tersendiri, yang secara sadar merupakan instrumen untuk mempersatukan jiwa setiap keluarga. Oleh karena itu konstitusi memiliki fungsi symbol.
8. Fungsi Pembatasan
Konstitusi memiliki pula fungsi untuk membatasi semua atau sebagian dari aktivitas (proses) politik sebagai akibat kehidupan bernegara yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan karena perkembangan diberbagai bidang.
TEORI DAN KONSEP KONSTITUSI
Pengertian Konstitusi
Perkataan konstitusi berarti membentuk "Pembentukan" berasal dari kata kerja constituer (bahasa Prancis), sedang dalam bahasa Belanda adalah Grondwet yang berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (Ground) dari segala hukum. Sedangkan di Indonesia menggunakan undang-undang dasar seperti Grondwet yang telah digunakan dalam bahasa Belanda. Suatu Konstitusi memuat suatu peraturan pokok mengenai soko-soko guru atau sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.
Konstitusi berarti hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tak tertulis. Hukum dasar tertulis biasanya disebut sebagai Undang Undang Dasar, sedangkan hukum dasar yang tak tertulis disebut Konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga tingkatan yaitu: (1) konstitusi sebagai pengertian sosial politik; (2) konstitusi sebagai pengertian hukum; (3) konstitusi sebagai peraturan hukum. Sementara itu seorang tokoh sosialisme membagi konstitusi dalam dua pengertian yaitu; (1) (konstitusi adalah kekuasaan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat, (2) konstitusi adalah apa yang ditulis di atas kertas mengenai lembaga-lembaga negara dan prinsip-prinsip memerintah dari suatu negara. Sedang Carl Scmitt memberikan pengertian konstitusi yaitu; (1) konstitusi dalam arti absolut, (2) konstitusi dalam arti relatif, (3) konstitusi dalam arti positif, dan (4) konstitusi dalam arti ideal.
Kegiatan Belajar 2
Konstitusi Tertulis dan Tak Tertulis
Di dunia ini hanya ada dua macam konstitusi, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis. Menurut Amos J. Peaslee hampir semua negara di dunia ini mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada yang tidak mempunyai konstitusi tertulis.
Di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan yaitu:
adanya wewenang dan cara bekerja lembaga-lembaga kenegaraan.
pengakuan dan perlindungan hak asasi para warga negara dilindungi.
Negara-negara yang nenggunakan konstitusi tertulis, maka ada negara yang memiliki konstitusi sangat panjang seperti India dengan 394 pasal dan ada negara yang memiliki konstitusi terpendek yaitu Spanyol hanya 30 pasal saja. Namun demikian ukuran untuk dapat tetapi mencapai tujuan dalam konstitusi itu. Konstitusi ini tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal-pasal.
Tujuan dibentuknya konstitusi adalah mengadakan tata tertib dalam adanya pelbagai lembaga kenegaraan dalam wewenang-wewenangnya dan dalam cara bekerjanya serta dalam hal penyebutan hak-hak asasi manusia yang harus dijamin perlindungannya. Di negara-negara yang mempunyai konstitusi tertulis, ada peraturan-peraturan di luar konstitusi yang sifatnya sama dan praktis kekuatannya sama dengan pasal-pasal dari konstitusi tertulis. Peraturan-peraturan di luar konstitusi dapat juga dianggap ada berdasarkan pada adat kebiasaan.
Dalam hal keberadaan konstitusi, Inggris sebagai pelopor yang memiliki konstitusi pertama di dunia, yakni dengan Magna Charta.
Kegiatan Belajar 3
Sejarah Konstitusi di Indonesia
Konstitusi di Indonesia memiliki historis yang cukup panjang dan dibagi ke dalam beberapa zaman, yaitu Zaman Hindia Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, dan Zaman Kemerdekaan, bahkan hingga dewasa ini.
Konstitusi yang dijadikan dasar ketatanegaraan pun berganti-ganti. Pada Zaman Hindia Belanda pernah menggunakan Grondwet, kemudian digantikan oleh "Indische Staatsregeling" yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menggantikan "Regeeringsreglement" dan tahun 1855. Indische Staatsregeling mengenal empat macam undang-undang yaitu Wet, Algemene maatregel van bestuur (firman raja atau koninklijk besluit), Ordonnantie, dan Regeeringsverordening.
Selama pendudukan Jepang, ketatanegaraan Indonesia pada umumnya tidak berbeda dari zaman Hindia-Belanda hanya menggunakan nama atau istilah Jepang saja.
Setelah merdeka Indonesia untuk pertama kali menggunakan konstitusi yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dikenal dengan nama Undang Undang Dasar 1945. Kemudian pada tahun 1949 menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat akibat ulah Belanda yang menekan Indonesia pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Konstitusi RIS tidak bertahan lama, hanya berlangsung delapan bulan, kemudian digantikan oleh Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sejak tangga1 15 Agustus1950.
UUD Sementara Tahun 1950 ini pun kemudian digantikan kembali oleh UUD 1945 sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
MODUL 2
ASPEK FILOSOFIS DALAM KONSTITUSI
Kegiatan Belajar 1
Aspek Filosofis dalam Konstitusi
Setelah Anda mengerjakan dan mendiskusikan soal-soal latihan di atas, berikut ini cermati dan simak baik-baik rangkuman Kegiatan Belajar 1 sebagai berikut:
Konstitusi erat kaitannya dan bersumber kepada kedaulatan rakyat. Di mana kekuasaan itu dimiliki dan bersumber kepada kedaulatan rakyat. Rakyatlah sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat memiliki kekuasaan untuk mem-bentuk konstitusi, menurut teori ini bersumber dari rakyat oleh karena itu konstitusi adalah milik rakyat. Oleh karena itu melahirkan perjanjian antara rakyat dan penguasa atau raja yang menghasilkan naskah Legas Fundamenta-litas, naskah tersebut menetapkan hak rakyat dengan hak raja untuk meme-rintah, yang mempunyai kedudukan yang sama tinggi, naskah sama dengan konstitusi.
Terdapat beberapa istilah konstitusi, begitu pula dapat dibedakan konstitusi tertulis dan yang tidak tertulis. Konstitusi pada mulanya dibentuk penguasa yang memiliki kekuasaan untuk membentuk konstitusi, tetapi perkembangan tampak bahwa konstitusi serta kaitannya dengan tumbuhnya, teori kedaulatan rakyat. Oleh karena itu rakyatlah yang memiliki kedaulatan untuk membentuk konstitusi.
Dilihat dari isi secara umum konstitusi adalah merupakan aturan dasar yang memuat cita-cita politik rakyat. Tetapi tidak semua cita-cita itu dapat dituangkan dalam sebuah naskah melainkan bagian yang pokok-pokok yang sifatnya fundamental. Dengan demikian konstitusi harus bersifat fleksibel tidak ketinggalan zaman dan dapat mengikuti dinamika masyarakat. Dan harus bersifat luwes tidak kaku, dapat mengikuti perubahan dan atau apabila terjadi perubahan bersifat lentur.
Ada beberapa teori untuk menilai sebuah konstitusi di antaranya pendapat dari Karl Loewnstein yang menyatakan bahwa apabila dalam suatu negara konsti-tusi secara hukum berlaku maka semestinya dalam kenyataan dilaksanakan. Melihat dari dimensi implementasi beliau mengemukakan ada tiga kategori antara lain:
Konstitusi bernilai normatif, yaitu secara hukum diakui dan semua ketentuan yang ada secara murni dan konsekuensi harus dilaksanakan.
Konstitusi bernilai nominal, yaitu apabila secara hukum konstitusi itu diakui kedudukannya sebagai konstitusi pada suatu negara, namun tidak semua konstitusi yang ada ketentuan di dalamnya dilaksanakan, ada beberapa pasal yang dikesampingkan.
Sedangkan konstitusi dilihat dari pelaksanaannya bernilai simantik yaitu apabila secara yuridis diakui dalam prakteknya tidak dilaksanakan, hanya sebagai hiasan dan biasanya dikesampingkan oleh kebijakan lain, kedu-dukannya tidak operasional.
Kegiatan Belajar 2
Bentuk Konstitusi
Di antara konstitusi-konstitusi yang ada di dunia, ada konstitusi yang tertulis (Written Constitution) dan ada konstitusi yang tidak tertulis (Unwritten Constitution). Yang tertulis itu, ialah Undang-Undang Dasar (UUD = Grondwet). Misalnya di Indonesia UUD 1945, UUD Amerika Serikat, sedangkan yang tidak tertulis ialah konstitusi berupa konvensi atau kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan ketatanegaraan. Dalam sistem parlementer, adalah merupakan konvensi (kebiasaan ketatanegaraan) bahwa menteri-menteri akan meletakkan jabatannya jika kepadanya diajukan mosi tidak percaya oleh DPR. Juga merupakan konvensi bahwa partai-partai politik menarik kembali (me-recall) utusannya dari DPR jika utusan tersebut tidak memenuhi hasrat politik partainya.
Hampir semua negara di dunia, mempunyai konstitusi tertulis (UUD) kecuali Inggris dan Canada. Tetapi kedua negara tersebut terdapat piagam. Piagam pragmatis yang memuat norma-norma yang bernilai dan berkedudukan sebagai norma konstitusi, meskipun tidak dijumpai suatu himpunan sistematik berbentuk Undang-Undang Dasar, seperti misalnya UUD 1945, apalagi jiwanya yang baru. Semenjak itu banyak negara-negara di dunia yang cenderung berkonstitusi dan diilhami oleh para ahli kenegaraan asal Inggris dan Perancis seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau.
Kegiatan Belajar 3
Nilai-nilai Konstitusi UUD 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar telah ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam gerak implementasinya kita ketahui terjadi dalam dua periode. Periode pertama dimulai pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, dan periode kedua, kurun waktu sejak diumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga sekarang.
Dalam masa perjalanannya, khususnya di era reformasi sekarang ini telah terjadi amandemen terhadap beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945, hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa pasal yang lemah, mudah diinterpretasikan secara ganda (Multi interpretable).
Dalam praktek ketatanegaraan bisa saja terjadi bahwa Undang-Undang Dasar tidak berlaku secara sempurna. Karl Loenataein dalam penyelidikannya tentang arti sesungguhnya dari suatu Undang-Undang Dasar menyebutkan tiga unsur nilai yang harus ada dalam Undang-Undang Dasar, yaitu: nilai normatif, nilai nominal, nilai semantik.
Menurut Prof. Pujosewodjo, SH, Undang-undangan Dasar suatu negara adalah induk dari segala perundang-undangan dalam negara yang bersangkutan. Undang-Undang Dasarlah yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.
Demikian juga dari Undang-Undang Dasar 1945 mengalir peraturan-peraturan pelaksanaan yang menurut tingkatannya masing-masing merupakan sumber hukum formal yaitu dengan adanya:
Ketetapan MPR.
Undang-undangan/peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden.
Peraturan pelaksanaan lainnya.
Nilai konstitusi Undang-Undang Dasar di dalamnya terdapat sistem peme-rintahan yang demokratis. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan cita-citanya.
Secara umum di dalam pemerintahan yang demokratis harus ada unsur-unsur yang paling penting dalam mendasar yaitu:
Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
Tingkat persamaan tertentu di antara warga negara.
Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warga negara.
Suatu sistem perwakilan.
Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Karena itu dalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi kita akan selalu menemukan adanya supra struktur politik dan infra struktur politik.
MODUL 3
KONSTITUSI DARI BERBAGAI NEGARA
Kegiatan Belajar 1
Kajian Konstitusi di Berbagai Negara
Setelah Anda mencacahkan hasil diskusi atau kerja kelompok dengan petunjuk jawaban latihan, sekarang salinlah rangkuman dengan baik dan teliti.
Perbandingan Hukum adalah suatu metode perbandingan yang ditetapkan pada Ilmu Hukum: pada bermcam-macam mata kuliah hukum, oleh karena itu perbandingan hukum bukanlah satu ilmu pengetahuan, akan dia hanyalah suatu metode kerja itu adalah perbandingan. Metode untuk membanding-bandingkan peraturan hukum dan bermacam-macam sistem hukum tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri sendiri, dengan tidak ada apa yang disebut "Peraturan Hukum Perbandingan".
Menurut Prof. Kranenburg tugas ilmu perbandingan Hukum Tata Negara adalah untuk menganalisis secara metodis dan menetapkan secara sistematis bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan lain sebagainya.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain itu mengakibatkan pula timbulnya kemajuan di bidang kebudayaan yang lebih lanjut menyebabkan terjadinya kemajuan di bidang organisasi.
Adapun yang termasuk syarat-syarat atau faktor-faktor yang bersifat khusus adalah:
Letak geografis suatu wilayah negara
Sipat-sipat sesuatu masyarakat bangsa (volkskarakter)
Paham politik yang dianut oleh masyarakat negara
Sedangkan syarat yang bersifat umum antara lain adalah
Adanya ancaman yang datang dari luar, yaitu ancaman kelompok dari luar negara baik yang berupa perang maupun yang berbentuk yang lainnya.
Adanya ancaman yang datang dari dalam negara itu sendiri, umpamanya yang berjudul main hakim sendiri (eigen richting) Adanya pengetahuan (kennis) yang berkembang dengan berangsur angsur tumbuhnya pengalaman yang teratur.
Ilmu Perbandingan Pemerintahan itu harus merupakan suatu Ilmu Pengetahuan yang memberi nilai. Ilmu Perbandingan Negara itu harus sanggup menentukan dengan secara objektif bagaimanakah negara itu hendaknya, yaitu negara yang sebaik-baiknya bagi manusia dalam dia mencapai kebahagiaan dengan melalui cara bernegara itu dan inilah yang menjadi ukuran dalam mengadakan perbandingan antara negara-negara.
Kegiatan Belajar 2
Perbandingan Konstitusi di Berbagai Negara
Setelah Anda mencocokkan hasil diskusi atau kerja kelompok dengan petunjuk jawaban latihan, sekarang salinlah rangkuman dengan baik dan teliti.
Pada dasarnya Perbandingan konstitusi diberbagai negara dapat ditinjau dari segi hakikat negara mana konstitusi berlaku diantaranya dibagi ke dalam dua kelas besar yaitu suatu negara kesatuan dan federasi. Negara kesatuan yaitu suatu negara yang berada di bawah satu Pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat ini mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah tersebut. Menurut C.F. Strong mempunyai dua macam ciri yang bersifat esensial, yaitu
Adanya supremasi daripada parlemen atau lembaga Perwakilan Rakyat Pusat dan
Tidak adanya bagan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absence of subsidiary soverign bodies).
Demikianlah ciri-ciri daripada negara kesatuan sebagaimana dikemukakan oleh C.F. Strong adapun negara-negara yang berbentuk kesatuan antara lain dalam Republik Indonesia, Jepang, Britania Raya, Perancis dan Belgia.
Pada umumnya wewenang itu untuk menilai, apakah suatu peraturan bertentangan dengan konstitusi atau tidak diserahkan kepada suatu lembaga yang disebut Mahkamah Agung.
Dari uraian di atas dapatlah kita mengatakan, bahwa negara federal mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri
Adanya supremasi daripada konstitusi dalam mana federasi itu terwujud
Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian
Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian.
Federalisme dalam arti yang sebenarnya mempunyai akar pada masa lampau dan ditentukan oleh proses sejarah dari masing-masing bangsa dimana negara federal itu lahir.
Meskipun di dunia sekarang ini kits jumpai adanya banyak negara federal, akan tetapi antara negara federal yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan-perbedaan. Salah satu perbedaannya ialah cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian.
Tentang hal ini terdapat dua cara pembagian kekuasaan, yaitu
Dalam konstitusi negara federal ditetapkan secara limitatif kekuasaan- kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara federal.
Dalam konstitusi negara federal ditetapkan secara limitatif kekuasaan- kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian, sedangkan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal.
Adapun Negara federal yang mempergunakan cara yang pertama adalah Kanada. Hal itu berbeda dengan Amerika yang juga meupakan negara federal. Oleh karena konstitusi Amerika Serikat mempergunakan pembagian kekuasan cara ke dua maka kedudukan negara federal tidak sekuat di Kanada. Hal ini juga terjadi di Australia yang juga merupakan negara federal. Dengan mengadakan pembagian kekuasan cara kedua ini diharapkan adanya pengawasan terhadap kekuasan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units). Dengan adanya pembagian kekuasaan di atas berarti, bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat, baik dari negara federal maupun dari negara-negara bagian tidak menjadi lebih tinggi dari yang lain. Yang jelas adalah bahwa keduanya harus menghormati konstitusi, yang seperti telah dikemukakan di muka merupakan sebuah perjanjian (treaty) antara negara federal dengan negara-negara yang bergabung. Oleh karena di dalam negara federal itu konstitusi mempunyai kedudukan tinggi, timbul pertanyaan siapakah yang berwenang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi? Mungkin negara federal yang melanggar, mungkin negara-negara bagian yang berbuat demikian. Tentang hal ini dijumpai adanya beberapa sistem. Di dalam Hukum Tata Negara Amereka Serikat lembaga yang diberi wewenang menilai adalah Mahkamah Agungnya yang merupakan pengadilan federal. Dengan demikian apabila bagian negara federal maupun negara-negara bagian melakukan perbuatan yang dianggap melanggar konstitusi, Mahkamah Agung.
Atas dasar alasan-alasan di atas perlu dikemukakan kemungkinan yang keempat, yaitu kemungkinan yang tidak didasarkan pada sistem kepartaiannya melainkan didasarkan pada kekuasaan para pejabat negara dan cara pembatasan kekuasaan dilakukan.
Kemungkinan keempat ini menghasilkan klasipikasi:
negara-negara yang mempunyai pemerintahan bebas, yaitu dimana si pemegang kekuasaan dipilih dalam suatu pemilihan yang bebas. Disamping itu di dalam negara-negara yang demikian ini terdapat alat-alat perlengkapan Negara. Adanya pembatasan kekuasaan para pangreh ini mengandung konsekuensi adanya jaminan terhadap kebebasan dan kemerdekaan setiap warga negara. Dapat digolongkan ke dalam kelompok ini antara lain adalah kerajaan Inggris, Amerika Serikat, Swis, Perancis, Republik Federasi Jerman dan lain-lainnya.
negara-negara yang mempunyai pemerintahan setengah bebas. Dimana si pemegang kekuasaan tidak dipilih dalam suatu pemilihan yang bebas seperti pada negara-negara yang pertama. Seperti telah kita kemukakan pada bagian yang lalu pemilihan para pangreh ini dikendalikan oleh yang berkuasa dengan cara-cara tertentu. Disamping apa yang dikemukakan di atas, pembatasan kekuasaan para pangreh adalah lemah sekali. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang lemah ini memberikan kemungkinan tindakan yang sewenang-wenang terhadap mereka yang tidak berkuasa. Dilihat dari warga negaranya, maka golongan ini tidak mendapat jaminan yang kuat terhadap kemerdekaannya. Termasuk dalam katagori kedua ini ialah negara-negara Balkan dan beberapa negara di Amerika Latin.
MODUL 4
TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSTITUSI UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Kegiatan Belajar 1
Pengertian Konstitusi UUD 1945
Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar hanya sebagian dari konstitusi tertulis. Pengertian Konstitusi mempunayai arti yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar, Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis semata-mata melainkan juga bersifat sosiologis dan politis. Sedangkan isi Undang-Undang Dasar hanya memuat hal-hal yang bersifat dasar saja, artinya masalah yang penting itu harus ditulis dalam Undang-Undang Dasar, selain hal yang penting juga tidak selalu sama dengan yang pokok (fundamental).
Konstitusi terbagi dalam empat pengertian;
Konstitusi dalam arti absolut (Absoluter Verfassungsbegriff) terbagi dalam;
Konstitusi dianggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata mencakup semua bangunan hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada didalam Negara.
Konstitusi sebagai bentuk negara dan yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhannya.
Konstitusi sebagai faktor integrasi.
Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara.
Konstitusi dalam arti relatif, (Relativeer Verfassungsbegriff) terbagi dalam;
1) Konstitusi sebagai tuntunan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin tidak dilanggar oleh Penguasa; dan
2) Konstitusi sebagai konstitusi dalam arti formil atau konstitusi tertulis
Konstitusi dalam arti Positif.
Konstitusi dalam arti Ideal.
Kegiatan Belajar 2
Sifat-sifat Konstitusi UUD 1945
Pada umumnya di negara modern pedoman dasar penyelenggaraan negara itu dirumuskan kedalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang bersifat tertulis. Konstitusi tidak hanya memuat hukum dasar yang tertulis tetapi ada juga hukum dasar yang tidak tertulis dan di dalam praktek penyelenggaraan negara terdapat aturan-aturan dasar yang tidak tertulis. Aturan-aturan dasar yang tertulis hanya memuat aturan-aturan pokok.
Untuk menentukan apakah konstitusi tersebut bersifat flexible atau rigid menggunakan ukuran sebagai berikut:
bagaimana cara merubah konstitusi;
apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan masyarakat
Sedangkan sifat Konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedang konstitusi tidak tertulis karena ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa.
Konvensi keberadaannya secara yuridis pada negara yang secara formil memiliki konstitusi, akan tetapi pada negara yang secara formil memiliki konstitusi itu tetap diakui keberadaannya. Konvensi memberikan dukungan kelengkapan dan fleksibilitas terhadap konstitusi.
Kegiatan Belajar 3
Fungsi Konstitusi UUD 1945
Konstitusi penting bagi suatu negara karena untuk membatasi kekuasaan suatu negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, kekuasaan yang absolut atau otoriter.
Jika suatu negara tidak memiliki UUD (konstitusi) dapat dipastikan akan terjadi penindasan terhadap hak asasi manusia (rakyat). Seorang sejarawan Inggris yang bernama Lord Action berpendapat bahwa Power tend to corrupt, but absolut power tend corrupt absolutelly yang artinya bahwa kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas pasti disalahgunakan. Sehingga guna untuk mencegah adanya kekuasaan yang absolut, maka sangat diperlukanlah adanya UUD (konstitusi).
Di lingkungan negara-negara liberal barat, memfungsikan konstitusi sebagai 'basic tool of social and political control, menjadikan konstitusi sebagai 'basic tool of social and political engineering'. Di lingkungan negara-negara yang pertama, yang dipentingkan adalah bahwa UUD itu dapat menjadi 'living constitution', dan bahkan menjadi semacam 'civil relegion' di antara warga negara. Sedangkan di lingkungan negara-negara yang kedua, konstitusi selain berfungsi sebagai sarana pengendali, juga memuat ketentuan-ketentuan yang dicita-citakan untuk dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Konstitusi bermuatan sejumlah konsep dan aspirasi politik yang tumbuh dalam masyarakat sebagai cita-cita hukum atau "living law" dari masyarakat. Cita-cita hukum tersebut terakumulasi secara sosio kultural pada ide untuk membangun negara beserta kehidupannya.
Negara Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 sudah memiliki UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang digunakan untuk mengatur jalannya pemerintahan negara. Di samping itu konstitusi mengandung pengertian cita negara (staatsidee).
MODUL 5
PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA
Kegiatan Belajar 1
Analisis Perkembangan Konstitusi di Indonesia pada Awal Kemerdekaan
Dari Kegiatan Belajar 1 tadi, Anda telah memahami beberapa hal yang berke-naan dengan perkembangan Konstitusi UUD 1945. Berikut ini akan diketengah-kan beberapa butir rangkuman.
Pada umumnya penyusunan UUD dilakukan sebelum suatu negara dibentuk. Namun demikian ada kalanya apa yang ditetapkan di dalam UUD itu pada kenyataanya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu sehingga sengaja pemerintah menyim-pang dari UUD dan perubahan terjadi apabila ada perubahan nilai sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam UUD itu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan.
Melihat pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, seolah-olah kekuasaan Negara terletak di tangan Presiden. Ketentuan tersebut disadari oleh para penyusun UUD 1945. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena mustahil negara yang baru dibentuk harus segera membentuk lembaga-lembaga negara hasil pemilihan umum. Berdasarkan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 maka secara Yuridis Konstitusional waktu itu segala kekuasaan negara terletak di tangan Presiden dengan bantuan Komite Nasional.
Menurut Usep Ranuwijaya dalam bukunya "Himpunan Kuliah Hukum tata Negara Indonesia" mengemukakan bahwa perubahan yang dibawa oleh Maklumat Wakil Presiden No. X, terhadap UUD 1945 sebenarnya hanyalah mengenai pemberian kekuasaan legislatif dari DPR kepada komite Nasional secara penuh/tidak bersama-sama Presiden lagi seperti menurut pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Selama DPR itu belum dapat dibentuk dan ini berarti pula pengurangan kekuasaan Presiden. .
Menurut UUD 1945 petanggungjawaban Pemerintahan berada ditangan Presiden, sedang menteri hanya sekedar pembantu Presiden. Dengan maklumat Pemerintah 14 November 1945, maka pertanggung jawaban pemerintah diletakkan ditangan menteri-menteri yaitu kepada Komite Nasional dengan kata-kata lain lahirlah sistem Pemerintahan Parlementer.
Keadaan politik dalam negeri, keamanan negara memaksa pemerintah untuk mengambil alih kekuasaan negara. Pengambilalihan pemerintahan oleh Presiden yang pertama yaitu dengan dikeluarkannya makluamat Presiden No. 1 tahun 1946. Kemudian Kemerdekaan Indonesia dirongrong baik dari dalam oleh kekuatan reaksioner, maupun dari luar oleh kekuatan penjajahan Belanda yang tetap ingin menguasai kembali Republik Indonesia.
Kegiatan Belajar 2
Analisis Perkembangan Konstitusi di Indonesia pada Masa RIS Dari Kegiatan Belajar 2 tadi Anda telah memahami beberapa hal yang berkenaan dengan perkembangan Konstitusi Indonesia. Berikut ini akan diketengahkan beberapa butir rangkuman.
Seperti diketahui bahwa kemerdekaan negara Republik Indonesia di prokla-masikan bertepatan dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Belanda yang masih berniat menjajah Indonesia menggunakan kesempatan untuk membonceng Tentara Sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang di Indonesia. Dengan siasatnya itu Belanda berhasil menduduki beberapa daerah di Indonesia dan berusaha mengembalikan Pemerintah seperti halnya pada Zaman Hindia Belanda.
Latar belakang lahirnya konstitusi RIS, berdasarkan pada perjanjian yang diadakan di Belanda, melalui Konperensi Meja Bundar, Tanggal 23 Agustus -2 November 1949. Hasil pokoknya adalah sebagai berikut:
Berdirinya Negara RIS
Penyerahan kedudukan oleh Pemerintah Belanda kepada RIS
Didirikannya Uni antara RIS dan Belanda.
Setelah mendapat pengesahan dari badan-badan perwakilan dan pemerintah daerah-daerah masing-masing di Indonesia, maka pada tanggal 14 Desember 1949 Piagam UUD RIS ditandatangani dan mulai berlaku pada 27 Desember 1949.
Dalam menetapkan jalan pembentukan Negara kesatuan, timbul beberapa pendapat yaitu:
Agar Konstitusi RIS, 1949 diteliti kembali dan dibuang ketentuan- ketentuan yang bersifat federal sedemikian rupa sehingga tinggal ketentuan-ketentuan yang memenuhi negara kesatuan.
Supaya seluruh Negara bagian meleburkan diri kepada RIS. Dengan demikian secara otomatis muncul Negara kesatuan, dengan membuang sifat-sifat federalnya.
Sebaliknya dari atas adalah bahwa justru RIS yang harus dibubarkan dan melalui RI, Jogyakarta dibentuk negara kesatuan yang baru. Pendapat ini mengingat kepeloporan dan kedudukan RI. Jogyakarta sebagai hasil proklamasi 17 Agustus 1949.
Kegiatan Belajar 3
Analisis Perkembangan Konstitusi di Indonesia pada Masa UUDS Tahun 1950
Dari Kegiatan Belajar 3 tadi Anda telah memahami beberapa hal yang berkenaan dengan perkembangan Konstitusi Indonesia. Berikut ini akan dikete-ngahkan beberapa butir rangkuman.
Masa berlakunya UUDS 1950 seperti juga masa-masa sebelumnya diisi dengan seringkali jatuh bangunanya kabinet. Hal ini disebabkan oleh sistem pemerintahan Palementer yang disertai dengan sistem multi party, perjuangan untuk kepentingan golongan dan demokrasi yang tidak sehat adalah faktor-faktor negatif yang menyebabkan pemerintahan yang tidak stabil.
Pengaruh multi partai kepada sistem pemerintahan parlementer amatlah buruk, maka UUDS 1950 itu sendiri diharapkan cukup untuk menjadi landasan untuk terselenggaranya pemerintah yang dianggap baik pada waktu itu. UUDS 1950 memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik (pasal 37-38), demokrasi sosial (pasal 36-39-41-42) serta hak asasi manusia.
Kenyataan yang terjadi ketika UUDS 1950 Pancasila yang hanya menjadi Dasar Negara hanyalah diamalkan di bibir saja. Jiwa kekeluargaan hanyalah slogan yang menjadi kenyataan adalah individualisme dan golanganisme. Yang diperjuangkan bukannya kepentingan negara dan bangsa, tetapi golongan partai. Demokrasi politik dipakai alat dan alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif Demokrasi ekonomi tidaklah diartikan untuk membebaskan kemiskinan malah menyebabkan persaingan bebas dan demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur-unsur peodalis malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Keadaan yang serupa itu merupakan macetnya tugas-tugas pemerintah. Cara-cara kemerdekaan semakin jauh dari kenyataan.
Istilah demokrasi terpimpin untuk pertamakali diperkenankan oleh Bung Karno sewaktu membuka Konstitusi pada tanggal 10 November 1956. Demokrasi terpimpin secara esensi merupakan inti dari permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, bukan perbedaan pro dan kontra tetapi hasil musyawarah dan perwakilan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksnaan yang diserahkan kepada Presiden yang dipilih oleh "Permusyawaratan" guna dilaksanakan melalui pembantu-pembantunya yang cakap tetapi secara Individual dan kelompok Presiden tetap bertanggung jawab kepada MPR.
Konsekwensi dari pelaksanaan prinsif demokrasi Terpimpin adalah:
Penertiban dan peraturan menurut wajarnya kehidupan kepartaia
Apakah Konstitusi itu?
Istilah konstitusi berasal dari kata dalam bahasa Perancis,
Constituer yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara.1
Sedangkan istilah Undang Undang Dasar merupakan terjemahan istilah
yang dalam bahasa Belanda adalah Grondwet. Perkataan wet
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya undang-undang,
dan grond berarti tanah atau dasar. Jadi Grondwet
artinya adalah Undang Undang Dasar.
Pengertian konstitusi sebagaiman dikenal dalam berbagai literature
dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Konstitusi dalam
arti sempit diartikan berdasar anggapajn bahwa kekuasaan merupakan
sesuatu yang mutlak harus dibatasi sesuai dengan adigium “power
tends to corrupt; absolute power corrupt absolutely”. Oleh
karena itu konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung norma-norma
ahukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam Negara.
Konstitusi dalam arti sempit mel;iputi aspek hukum saja. Konstitusi
dalam arti luas tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga
“non-hukum”. Hal ini dapat kita lihat dalam pengertian konstitusi
yang dikemukakan KC Wheare. mengartikan konstitusi sebagai
keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan
peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam
pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara
ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hokum (legal) dan yang tidak
memiliki sifat hokum (non legal).2
Berdasarkan pengertian tersebut, konstitusi merupakan bentuk
pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara,
baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan
masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa
aspek social maupun aspek filosofis dalam arti asas-asas yang
didasarkan pada alasan-alasan tertentu
Pengertian Konstitusi juga dapat diklasifikasikan pada arti static
dan arti dinamik3.
Konstitusi dalam arti static terkait dengan wujudnya sebagai
ketentuan konstitusional yang bersifat normative dan berkualifikasi
sebagai konsep sebagaimana diinginkan oleh suatu bangsa untuk
diwujudkan sebagai perjanjian social.
Dalam arti dinamik, konstitusi diartikan sebagai dokumen hukum dan
dokumen social politik resmi yang berkedudukan sangat istimewa dan
luhur dalam sistem hukum suatu negarayang terdiri dari
peraturan-peraturan dasar yang diperoleh melalui
kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip pokok kekuasaan Negara,
maksud dan tujuan Negara, organisasi kekuasaan Negara, hak dan
kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, pembatasan terhadap kekuasaan
Negara, termasuk jaminan atas perlindungan Hak Asasi Manusia warga
Negara.
Dapat dipahami bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi dalam arti luas.
Ia bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga mengandung aspek “non
hukum”, seperti pandangan hidup, cita-cita moral, dasar filsafat,
keyakinan religius dan paham politik suatu bangsa.
UUD 1945 juga merupakan konstitusi dalam arti dinamik karena tidak
sekedar berisi tentang pembatasan kekuasaan melainkan juga
tersedianya pengaturan antar unsure bangsa secara bersama-sama guna
menentukan persoalan ketatanegaraan yang ingin diwujudkan.
Menurut CF Strong , konstitusi berarti:4
“ Constitution may be said to be a collection of
principles according to which tho powers of the government the rights
of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Berdasarkan konsep konstitusi C.F. Strong tersebut, konstitusi
memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi
posisi politik dan hokum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam
rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara.
James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka
masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui
hokum. Dengan kata lain, hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga
permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah
ditetapkan. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan
prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak pihak yang diperintah
(rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa
sebuah catatn tertulis; konstitusi dapat diketemukan dalam bentuk
dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan
perkembangan zaman atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan
hokum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hokum
konstitusi.5
Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang
diberikan oleh CF Strong lebih luas dari pendapat James Bryce.
Walaupun dalam pengertian Yang dikemukakan James Bryce itu merupakan
konstitusi dalam kerangka masyarakat politik (Negara) yang diatur
oleh hokum. Akan tetapi dalam konstitusi itu hanya terdapat
pengaturan mengenai alat-alat kelengkapan Negara yang dilengkapi
dengan fungsi dan hak-haknya. Dalam batasan Storng, apa yang
dikemukakan james Bryce itu termasuk dalam kekuasaan pemerintahan
semata, sedangkan menurut pendapatnya, konstitusi tidak hanya
mengatur tentang hak yang diperintah (rakyat).6
Secara garis besar, konstitusi memiliki pengertian:7
Suatu
kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan
kepada para penguasa.
Suatu
dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus aparatnya dari suatu
system politik.
Suatu
deskripsi dari lembaga-lembaga Negara.
Suatu
deskripsi yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia.
B.2. Kedudukan, Sifat, Fungsi dan Tujuan Konstitusi.
Dilihat dari aspek politik dan histories, konstitusi merupakan
perjanjian luhur dan kedudukannya sebagai sumber hukum tertinggi
suatu Negara, merupakan piagam kelahiran suatu negra baru, inspirasi
dan pandangan hidup yang berfungsi sebagai pendorong cita-cita
bangsa. Oleh karena itu kedudukan dan sifat konstitusi dalam suatu
Negara adalah kuat dan tidak dapat dikalahkan oleh peraturan hukum
lainnya. Yang membedakan konstitusi dengan peraturan hukum lainnya
terletak pada materi muatan dan proses pembuatan dan proses
perubahannya. Perbedaan tersebut terutam ditentukan oleh kedudukan
konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, sifatnya simple atau
terperinci karena memuat hal-hal pokok dan sangat penting juga
berfungsi sebagai pengendali peraturan hukum dibawahnya.
Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi memiliki sifat, fungsi dan
kedudukan yang sangat kuat. Produk hukum yang lain tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi dan jika bertentangan dengan
konstitusi harus dibatalkan (lex superior derogate legi inferior)
melalui proses uji material (judicial review). Artinya seluruh
peraturan yang berkedudukan dibawah konstitusi harus dijiwai oleh
substansi dan materi muatan konstitusi tersebut.
Suatu Negara secara konstitusional ditentukan oleh sifat-sifat yang
pokok atau mendasar. Sifat tersebut dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu sisi materi muatan (Substance) dan sisi bentuk (Form
of constitution).8
Dari sisi materi muatan , konstitusi harus memiliki materi muatan
yang ringkas dan elastis. Ringkas berarti konstitusi hanya memuat
materi muatan yang bersifat pokok. Elastis berarti memuat materi
muatan yang dapat mengikuti atau beradaptasi dengan perkembangan
jaman yang terjadi.
Dari sisi bentuk, konstitusi harus memiliki sifat derajat tinggi
dalam suatu Negara yaitu di satu pihak, konstitusi berada di atas
segala peraturan perundang-undangan yang ada. Karena itu, konstitusi
tidak dapat diubah seperti halnya mengubah Undang-undang. Konstitusi
harus dibentuk dan diubah oleh sebuah lembaga Negara dengan cara-cara
tertentu. Di pihak lain konstitusi harus selalu hidup dengan kondisi
jamannya serta legitimate karena itu diperlukan adanya
keterlibatan masyarakat dalamn proses pembentukan dan perubahannya.
Secara garis besar konstitusi memiliki kedudukan dan fungsi sebagai
berikut:9
Konsttusi
berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur,
berisi kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, kesejahteraan dan aspek fundamental yang menjadi tujuan
Negara.
Konstitusi
sebagai piagam kelahiran Negara baru. Merupakan bukti adanya
pengakuan dari masyarakat internasional.
Konstitusi
sebagai hukum tertinggi dalam suatu Negara. Konstitusi mengtur
maksud dan tujuan terbentuknya suatu Negara dengan sistem
administrasinya melalui adnya kepastian hukum yang terkandung dalam
pasal-pasalnya, unifiksi hukum nasional, control social, memberikan
legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga Negara termasuk
pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ
eksekutif, legislative dan yudisial.
konsitusi
sebagai identitas nasional dan lambing persatuan. Konstitusi
menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah, sehingga
memperlihatkan adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan
kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan bangsa. Konstitusi dapat
memberikan pemenuhan ayas harapan social, ekonomi dan kepentingan
politik. Konstitusi tidak saja mengatur pembagian dan pemisahan
kekuasaan dalam lembaga-lembaga politik akan tetapi juga mengatur
tentang penciptaan checks and balances antara aparat pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.
konstitusi
sebagai alat pembatas kekuasaan. Konstitusi dapat berfungsi untuk
membatasi kekuasaan, mengendalikan perkembangan dan situasi politik
yang selalu berubah.
konstitusi
sebagai pelindung Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan kebebasan
warga Negara.
Menurut CF Strong Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah10
untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin
hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang
berdaulat. Oleh kaerna itu setiap konstitusi senantiasa memiliki dua
tujuan, yaitu:11
Untuk
memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik,
Untuk
membebaskan kekuasaan deari kontrol mutlak para penguasa serta
menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa.
B.3.
Materi Muatan Konstitusi
Secara garis besar, konstitusi memuat tiga hal, yaitu: pengakuan HAM,
struktur ketatanegaraan yang mendasar dan pemisahan atau pembatasan
kekuasaan. Selain itu dalam konstitusi juga harus terdapat pasal
mengenai perubahan konstitusi.
Henc van Maarseveen dalam bukunya yang berjudul Written
Constitution, mengatakan bahwakonstitusi harus dapat menjawab
persoalan pokok, antara lain:12
Konstitusi
merupakan hukum dasar suatu Negara.
Konstitusi
merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga
penting dalam Negara.
Konstitusi
melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya.
konstitusi
mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga Negara dan pemerintah.
konstitusi
harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan Negara dan
lembaga-lembaganya.
konstitusi
merupakan ideology elit penguas.
konstitusi
menentukan hubungan materiil antara Negara dengan masyarakat.
Menurut Mr. J.G Steenbeek, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga
hal pokok, yaitu: 13
Adanya
jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan warga negaranya.
Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental.
Adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
Sedang Menurut Mirriam Budiardjo, setiap UUD memuat
ketentuan-ketentuan tentang:14
Organisasi
Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislaif,
eksekutuif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah
federal dan pemerintah Negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah
pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan
sebagainya.
Hak
Asasi Manusia.
Prosedur
mengubah UUD.
Ada
kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Apabila kita bandingkan pendapat Mr. J.G Steenbeek dengan pendapat
Mirriam Budiardjo, maka pendapat Mirriam Budiardjo memiliki cakupan
yang lebih luas karena menyangkut juga tentang prosedur perubahan
Undang Undang Dasar.
B.4.
Klasifikasi Konstitusi.
Konstitusi seringkali dibedakan menjadi konstitusi tertulis atau
tidak tertulis, tetapi menurut Strong pembedaan ini sungguh-sungguh
keliru karena tidak ada konstitusi yang benar-benar tertulis dan
tidak tertulis. Pada umumnya konstitusi tertulis berbentuk dokumen
yang memiliki kesakralan khusus dan konstitusi tidak tertulis lebih
merupakan konstitusi yang bersumber pada adat istiadat (custom).
15
Konstitusi Inggris Raya dikatakatan tak tertulis tetapi ada beberapa
hokum tertulis atau Undang Undang yang telah sangat memodifikasikan
konstitusi tersebut. Misalnya, Bill Of Rights (1968) adalah
sebuah hokum konstitusi, demikian pula dengan berbagai Franchise
Acts (UU Parlemen 1911 dan 1949) yang membatasi kekuasaan Lords
untuk mengamandemen atau menolak RUU yang sudah disahkan Commons.
Sedang Konstitusi AS merupakan konstitusi tertulis yang paling
lengkap diantara semua konstitusi meski beberapa kebiasaan atau
konvensi tak tertulis telah tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
kehendak para penyusun konstitusi tanpa adanya amandemen yang
sebenarnya di dalam konstitusi sendiri untuk itu. Maka pembagian
konstitusi dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis itu memang nyata
akan tetapi yang perlu diingat hanyalah bahwa konstitusi tertulis
adalah konstitusi yang terdokumentasi dan konstitusi tak tertulis
adalah konstitusi yang tak terdokumentasi.
Dasar pembagian konstitusi yang sebenarnya dilihat dari konstitusi
itu sendiri adalah apakah konstitusi itu fleksibel atau kaku.16
Yang dimaksud dengan konstitusi yang fleksibel adalah konstitusi yang
diamandemen tanpa adanya prosedur khusus sedangkan konstitusi yang
kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan suatu adanya prosedur khusus
dalam melakukan amandemen.
Ciri utama konstitusi fleksibel adalah otoritas atau kewenangan
parlemen yang tak terbatas. Sedang ciri utama konstitusi kaku adalah
adanya pembatasan terhadap kekuasaan lembaga legislative oleh sesuatu
hal di luar kekuasaan lembaga tersebut. Jika ada beberapa jenis
undang-undang yang tidak bisa diberlakukan oleh lembaga legislative
dengan metode biasa, berarti lembaga legislative itu bukan kekuasaan
tertinggi. Masih terdapat hokum yang lebih tinggi yaitu hokum
konstitusi. Hokum konstitusi adalah hokum kesepakatan resmi tertinggi
yang tidak dikenal dalam konstitusi fleksibel. Konstitusi kaku lahir
dari pemikiran suatu badan khusus yang disebut majelis konstitusi.
Majelis konstitusi ini bertugas untuk menetapkan suatu cara untuk
mengamandemen konstitusi di masa yang akan datang.17
Konstitusi juga dapat diklasifikasikan berdasar derajat kedudukan
dalam suatu Negara. Ada dua model yaitu konstitusi derjat tinggi dan
konstitusi tidak derajat tinggi.18
Yang dimaksud dengan konstitusi derajat tinggi yaitu, suatu
konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam Negara.
Konstitusi termasuk dalam katehori tertinggi, bila dari segi
bentuknya dia berada diatas peraturan perundang-undangan yang lain.
Juga syarat untuk mengubah konstitusi tersebut berbeda dalam arti
lebih berat dibandingkan dengan yang lain.
Sedang konstitusi tidak derajat tinggi berarti konstitusi yang tidak
mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi.
Persyaratan yang dilakukan untuk mengubah konstitusi ini sama dengan
persyaratan yang dipakai untuk menngubah peraturan-peraturan yang
lain.
Berdasar bentuk Negara, konstitusi dibedakan menjadi dua yaitu;
konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan.19
Dalam konstitusi serikat diatur mengenai pembagian kekuasaan antara
pemerintah Negara serikat dengan pemerintah Negara bagian. Dalam
Negara yang berbentuk kesatuan pembagian kekuasaan tersebut tidak
dijumpai, karena pada asasnya seluruh kekuasaan negara berada di
tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti
bahwa seluruh kekuasaan Negara berada ditangan pemerintah pusat. Hal
ini disebabkan oleh adanya kemungkinan pemerintah pusat melakukan
pembagian sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah.
Konstitusi kesatuan mengatur tentang pemencaran kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Berdasar sistem pemerintahannya terdapat dua konsitusi yaitu;
konstitusi sistem parlementer dan konstitusi sistem presidensial.20
Konstitusi presidensial bercirikan seperti sistem pemerintahan
presidensial. Pertama, presiden berkedudukan sebagai kepala
Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kedua, presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, presiden tidak memegang
kekuasaan legislative. Keempat, presiden tidak dapat
membubarkan legislative.
Sedang konstitusi parlementer bercirikan seperti sistem pemerintahan
parlementer. Pertama, presiden berkedudukan sebagai kepala
Negara dan cabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Kedua,
Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga,
para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya merupakan anggota
parlemen. Keempat, Presiden dapat membubarkan parlemen.
Dalam kenyataan tidak ada model konstitusi ideal yang dapat
diterapkan pada semua Negara. Namun masyarakat Negara modern mengakui
bahwa suatu konstitusi harus mengandung empat unsure ideal.21
Pertama, konstitusi bukan sekedar memuat aturan hukum,
melainkan juga gagasan tentang sistem nilai masyarakatnya. Karena itu
konstitusi selalu berisi landasan filosofis, histories, politik,
yuridis dan sosiologis. Kedua, konstitusi akan legitimate dan
memperoleh pengakuan dari masyarakat bilamana proses pembentukannya
tidak saja melibatkan institusi-institusi yang kompeten sesuai
ketentuan yang berlaku melainkan juga melibatkan partisipasi
masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan dan
perubahan konstitusi secara langsung atau tidak langsung sangat
menentukan tingkat legitimasi konstitusi. Ketiga,
kecenderungan konstitusi di Negara yang berbentuk kesatuan berbeda
dengan konstitusi di Negara yang berbentuk federal. Konstitusi di
Negara kesatuan pada umumnya sederhana, fleksibel dan pendek,
sedangkan konstitusi di Negara yang berbentuk federal pada umumnya
lebih rinci.
Tinjauan
Umum Tentang Amandemen
Dari segi tata bahasa kata Amandemen sama dengan amandement.
Secara harfiah amandement dalam bahasa Indonesia berarti
mengubah. Mengubah maupun perubahan berasal dari kata dasar ubah yang
berarti lain atau beda. Mengubah mengandung arti menjadi lain sedang
perubahan diartikan hal berubahnya sesuatu; pertukaran atau
peralihan. Dapat kita jabarkan bahwa perubahan yang oleh John M
Echlos dan Hasan Shadily juga disebut amandemen tidak saja berarti
menjadi lain isi serta bunyi ketentuan dalam UUD, akan tetapi juga
mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan
dalam UUD yang sebelumnya tidak terdapat didalamnya.
Menurut KC Wheare konstitusi itu harus bersifat kaku dalam aspek
perubahan. Empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha
mempertahankan Konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya
adalah:22
Agar
perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak
secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).
Agar
rakyat mendapat kesempatan untukmenyampaikan pandangannya sebelum
perubahan dilakukan.
Agar
kekuasaan Negara serikat dan kekuasaan Negara bagian tidak diubah
semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
Agar
supaya hak-hak perseorangan atau kelompok, seperti kelompok
minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Apabila kita amati mengenai system pembaharuan konstitusi di berbagai
Negara , terdapat dua system yang berkembang yaitu renewel
(pembaharuan) dan Amandement (perubahan). System renewel
adalah bila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti diadakan
pembaharuan) maka yang berlaku adalah konstitusi baru secara
keseluruhan. System ini dianut di Negara-negara Eropa Kontinental.
System Amandement adalah bila suatu konstitusi yang asli tetap
berlaku sedang hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau
dilampirkan dalam konstitusi asli. Sistem ini dianut di Negara-negara
Anglo Saxon.23
Factor utama yang menentukan pembaharuan UUD adalah berbagai
pembaharuan keadaan di masyarakat. Dorongan demokrasi, pelaksanaan
paham Negara kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan
system ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong
pembaharuan UUD. Demikian pula dengan peranan UUD itu sendiri. Hanya
masyarakat yang berkendak dan mempunyai tradisi menghormati dan
menjunjung tinggi UUD yang akan menentukan UUD dijalankan sebagaimana
semestinya.24
Menurut KC Wheare, perubahan UUD yang timbul akibat dorongan kekuatan
(forces) dapat berbentuk:
Kekuatan
tertentu dapat melahirkan perubahan keadaan tanpa mengakibatkan
perubahan bunyi tertulis dalam UUD. Yang terjadi adalah pembaharuan
makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah
bunyinya.
Kekuatan
kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas
ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hokum
adat maupun konvensi.25
Secara Yuridis, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila dalam
konstitusi tersebut telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur
perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam
konstitusi disebut perubahan secara formal (formal amandement).
Disamping itu perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak
formal yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat primer, penafsiran
oleh pengadilan dan oleh kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan.
Menurut CF Strong ada empat macam cara prosedur perubahan konstitusi,
yaitu:26
Melalui
lembaga legislative biasa tetapi dibawah batasan tertentu.
Ada tiga cara yang diizinkan bagi lembaga legislative untuk melakukan
amandemen konstitusi. Cara kesatu, untuk mengubah konstitusi siding
legislative harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah keseluruhan
anggota lembaga legislative. Keputusan untuk mengubah konstitusi
adalah sah bila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Cara kedua, untuk mengubah konstitusi, lembaga legislative harus
dibubarkan lalu diselenggarakan Pemilu. Lembaga legislative yang baru
ini yang kemudian melakukan amandemen konstitusi. Cara ketiga, , cara
ini terjadi dan berlaku dalam system dua kamar. Untuk mengubah
konstitusi, kedua kamar harus mengadakan sidang gabungan. Sidang
inilah yang berwenang mengubah konstitusi sesuai dengan syarat cara
kesatu.
Melalui
rakyat lewat referendum.
Apabila ada kehehendak untuk mengubah konstitusi maka lembaga Negara
yang berwenang m,engajukan usul perubahan kepada rakyat melalui
referendum. Dalam referendum ini rakyat menyampaikan pendapatnya
dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah
disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu
usul perubahan diatur dalam konstitusi
Melalui
suara mayoritas dari seluruh unit pada Negara federal.
Cara ini berlaku pada Negara federal. Perubahan terhadap konstitusi
ini harus dengan persetujuan sebagian besar Negara bagian. Usul
perubahan konstitusi diajukan oleh Negara serikat tetapi keputusan
akhir berada di tangan Negara bagian. Usul perubahan juga dapat
diajukan oleh Negara bagian.
Melalui
konvensi istimewa.
Cara ini dapat dijalankan pada Negara kesatuan dan Negara serikat.
Bila terdapat kehendak untuk mengubah UUD maka sesuai ketentuan yang
berlaku dibentuklah suatu lembaga khusus yang tugas serta wewenangnya
hanya mengubah konstitusi.usul perubahan dapat berasal dari
masing-masing lembaga kekuasaan dan dapat pula berasal dari lembaga
khusus tersebut. Bila lembaga khusus tersebut telah melaksanakan
tugas dan wewenangnya sampai selesai dengan sendirinya dia bubar.
Pada dasarnya dua metode amandemen konstitusi yang paling banyak
dilakukan di Negara-negara yang menggunakan konstitusi kaku: pertama
dilakukan oleh lembaga legislative dengan batasan khusus dan yang
kedua, dilakukan rakyat melalui referendum. Dua cara yang lain
dilakukan pada Negara federal. Meski tidak universal dan konvensi
istimewa umumnya hanya bersifat permisif (dapat dipakai siapa saja
dan dimana saja).
Berdasarkan hasil penelitian
terhadap beberapa konstitusi dari berbagai Negara dapat dikemukakan
hal-hal yang diatur dalam konstitusi mengenai perubahan konstitusi,
yaitu:27
Usul inisiatif perubahan konstitusi.
Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi
bagi lembaga pengubah konstitusi.
Pengesahan rancangan perubahan konstitusi.
Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi.
Pembatasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi.
hal-hal
yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausula
khusus.
Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi,
seperti parlemen, Negara bagian bersama parlemen, lembaga khusus,
rakyat melalui referendum.
PEMISAHAN KEKUASAAN NEGARA
Orang orang yg mengemukakan teori pemisahan kekuasaan Negara adalah John Locke
dan Montesquieu.
John Locke seorang ahli ketatanegaraan inggris, ia adalah orang pertama yang
dianggap membicarakan teori ini.
John locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam :
1. Kekuasaan Legislatif : kekuasaan u/ membuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif: kekuasaan u/ melaksanakan undang-undang
3. Kekuasaan Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi
serta segala tindakan dg semua orang & badan badan di luar negeri.
Setengah abad kemudian dg di ilhami oleh pembagian kekuasaan dari john locke,
Montesque seorang pengarang, ahli politik dan filsafat prancis menulis tentang
pemisahan kekuasaan menjadi 3 jenis : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Menurut Montesque dalam suatu sistem pemerintahan negara, ketiga jenis
kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi(tugas) maupun mengenai alat
kelengkapan (organ) yg melaksanakan.
Isi ajaran Montesque ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara yg lebih di
terkenal dg istilah Trias Politica.
Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi 3 jenis itu adalah agar tindakan
sewenang-wenang oleh raja dapat dihindarkan.
Ajaran Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yg
bersimaharajalela pd zaman Feodalisme dalam abad pertengahan.
Pd zaman itu yg memegang ketiga kekuasaan dlm negara ialah seorang raja, yg
membuat sendiri undang-undang, menjalankannya, dan menghukum segala pelanggaran
atas undang2x yg di buat dan dijalankan oleh raja trsbt.
Monopoli atas ketiga kekuasaan trsbt dpt dibuktikan dlm semboyan Raja Louis
XIV"L'Etat Cest moi" ( negara adalah saya ),
Setelah pecah Revolusi Prancis pada tahun 1789, barulah paham monopoli trsbt
menjadi lenyap & timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yg dipelopori
o/ Montesque.
Pada intinya, ajaran Trias Politica sbb:
1.Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dlm suatu badan yg
memiliki wewenang khusus u/ itu. Jika penyusunan undang-undang tdk diletakkan
pada suatu badan tertentu, maka memungkinkan tiap golongan / tiap orang
mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yg peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan
rakyat, maka badan perwakilan rakyat harus dianggap sebagai badan yg mempunyai
kekuasaan tertinggi u/ menyusun undang-undang.
2. Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang o/ kepala negara yg
tentunya tdk dpt sendiri menjalankannya, oleh karena itu
dilimpahkan(didelegasikan) kpd pejabat2x pemerintah yg bersama-sama dlm suatu
badan(kabinet)
4.Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yudikatif/kehakiman berkewajiban mempertahankan undang-undang dan
berhak u/ memberikan peradilan kpd rakyat.
Berkuasa memutuskan perkara, menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran uu yg telah
diadakan dan dijalankan.
para hakim mempunyai kedudukan yg istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena
ia tdk diperintah o/ kepala negara, bahkan ia badan yg berhak menghukum kepala
negara, jika melanggar hukum.
Berbeda dg John Locke yg memasukkan kekuasaan yudikatif dlm kekuasaan
eksekutif, dan sebaliknya oleh Montesque kekuasaan Federatif di masukkan
kedalam kekuasaan eksekutuf.
PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Prof, Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dlm arti materiil dan arti
formal.
Adapun yg dimaksudnya dg pemisahan kekuasaan dlm arti materiil ialah pemisahan
kekuasaan dlm arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dg tegas dlm tugas2x
kenegaraan yg dg jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kpd tiga
bagian : Legislatif,Eksekutif & Yudikatif.
Sedangkan yg dimaksudkannyda dg pemisahan kekuasaan dlm arti formal ialah
pembagian kekuasaan itu tdk dipertahankan dg tegas.
Prof.Dr.Ismail Suny S.H,M.C.L Mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan
dlm arti Materiil sepantasnya disebut separation of power ( pemisahan
kekuasaan), sedangkan dlm arti formal disebut division of power(pembagian
kekuasaan).
UUD 1945 membagi dalam pasal-pasal tersendiri mengenai tiap-tiap kelengkapan
negara yg tiga itu, tetapi dg tidak menekankan kepada pemisahannya.
Halitu ternyata dalam pembagian bab-bab dlm UUD 1945 yg menyebutkan :
Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara (Eksekutuf)
Pasal.5.1 : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif)
Pasal.20.2 : Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Pasal.24A.3 : Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan Persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden.
Dari ketiga ayat tersebut, jelaslah bahwa Presiden di dalam konstitusi kita,
punya hak/andil dalam proses pembuatan undang-undang, yang seharusnya, kalau
menganut sistem pemisahan kekuasaan, presiden hanya berhak menjalankannya saja.
Dengan demikian, UUD 1945 tdk menganut pemisahan dlm arti materiil, akan tetapi
UUD 1945 menganut pemisahan dlm arti formal karena pemisahan kekuasaan itu tdk
dipertahankan secara prinsipiil.
Jelaslah UUD 1945 hanya mengenal division of power, bukan separation of power.
Pendapat saya...
Kalau bisa NKRI menerapkan Pemisahan kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan.
Jikapun tidak :
Dalam UUD 1945, Lembaga yg berwenang merubah dan menetapkan undang undang dasar
adalah MPR, yang terdiri dari atas anggota DPR dan DPD.
Jadi seharusnya, Orang-orang legislatif lah yang harus mempunyai integritas dan
profesional yg lebih tinggi dari lembaga2x lainnya (eksekutif&yudikatif).
Karena, seandainya bila tdk ada peraturan / undang2x yg di keluarkan / di
ajukan yg isinya bertentangan dg UUD,artinya isinya memang tepat.
maka tdk akan ada celah / kesempatan pelanggaran oleh Eksekutif &yudikatif.
Ada niat, tapi tidak ada kesempatan.
Saya jadi teringat dg nasehat seorang yg sy panggil Abah, orang memanggilnya
Kyai,
Tpi beliau bukan siapa2x dlm negara,pemerintahan dan Politik.
Ketika itu saya akan bertransaksi dg orang tua, dan beliau menyarankan untuk
memakai kwitansi.
Sy bertanya kenapa dg orang tua sendiri harus memakai legalitas segala?
Beliau menjelaskan :
Dengan siapapun kta harus menerapkan aturan.,
baik itu transaksi / pun perjanjian, , karena pd hakekatnya bahwa kita artinya
kasihan
Dg tegasnya kita terapkan aturan, itu akan mencegah orang lain akan berbuat
dosa, karena setiap saat, bahkan detik, pikiran manusia akan cenderung berubah.
Dan ingat,... di Dunia ini ada Setan yang selalu menggoda manusia.
begitupun dg nasehat /pun kritik
>Bersikaplah positif pada kritik semua orang, selama kritik trsbt sifatnya
>membangun
>Bijaksanalah pada kritik/pendapat yg sifatnya Khilaf / pun mungkin
>kekurangpahaman yg mengeluarkannya seperti saya ini.,/ jga mungkin yang
>bersangkuatan pikirannya sedang kacau.
walaupun pada kenyataannya susah menerima,.ALIAS Bisa ESMOSIii.......he4x
Kembali ke MPR.
Apakah mereka tdk kasihan dg Eksekutif & Yudikatif?
Atau mungkin integritas dan profesional yg kurang?
Mungkin karena, persyaratan & perekrutan Legislatif yg tdk begitu sulit dlm hal
Integritas & profesionalts, sehingga membludaknya yg mencalonkan diri hingga
kta tdk tau yg masuk jajaran Legislatif, apakah mempunyai integritas&
profesional/tidak.
Dan ataukah mereka hanya mengejar Gaji semata, yg memang lumayan besar?
....hanya Tuhanlah yg tau...
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
d. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
e. latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
Pokok-Pokok Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of Government[1]
A. Perseteruan Intelektual Locke dan Filmer
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu.[2]
Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja. Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja.[3] Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.[4]
Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya.[5] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.[6]
Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja.[7] Jadi, menurut Filmer, raja, seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen. Apabila disimpulkan, filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu (1) setiap kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan (2) tidak ada orang yang lahir bebas.[8] Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke.[9]
B. Perjanjian Masyarakat
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah.[10] Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka.[11] Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.[12] Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.[13]
Gagasan state of nature yang ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih orisinil dibanding gagasan state of nature yang ditawarkan Hobbes yang menggambarkan keadaan mula manusia sebagai homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes. State of nature dalam konsep Locke diambil dari pemikir sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh karena itu, menurut Bertrand Russell, state of nature dalam konsep Locke ini tidak lebih dari sekedar pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan.[14] Pelukisannya tentang keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak lain merupakan suatu pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa lampau. Dari pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian melahirkan konsep perjanjian negara.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.[15] Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.[16]
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara.[17] Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu.[18] Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.[19]
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Ini merupakan perbedaan penting gagasan kekuasaan politik Locke dengan Santo Aquinas, Thomas Aquinas, dan lain-lain.
Pada tingkat ini, gagasan kekuasaan politik Locke memiliki kemiripan dengan gagasan kekuasaan politik Hobbes. Akan tetapi, gagasan Locke banyak dinilai lebih rasional dalam memandang hubungan kekuasaan antara rakyat dan penguasa.[20] Menurut Locke, konstruksi membentuk negara (body Politic), sebagaimana Hobbes, melalui perjanjian masyarakat. Perbedaannya dengan Hobbes adalah kalau dalam perjanjian masyarakat Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).[21]
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama, dll.[22] Hal ini boleh jadi juga menjadi salah satu pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia modern.
C. Konstitusi
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara.[23]
Dalam membahas konstitusionalisme, yang terpenting adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus menumpuk kekayaan pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain. Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara.[24]
Terlepas dari perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.[25]
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.
D. Pemisahan Kekuasaan
Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter[26] juga bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[27]
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[28] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.[29]
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara.[30] Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.[31]
Kemudian timbul pertanyaan, siapakah yang mengontrol kekuasaan legislatif? Locke berpendapat bahwa yang mengontrol kekuasaan legislatif adalah hukum kodrat yang diciptakan Tuhan demi kebajikan seluruh rakyat, menentukan apa yang seharusnya dan tidak dilakukan legislatif misalnya tidak boleh merumuskan undang-undang yang membatasi kebebasan, melanggar hak-hak asasi individu atau bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mayoritas rakyat.
Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam konsep Locke diperlukan untuk membatasi kekuasaan legislatif. Raja merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif ini.[32] Pembatasan ini penting untuk menghindari kekuasaan legislatif mempunyai fungsi kekuasaan eksekutif yang berarti terjadi pemusatan kekuasaan. Eksekutif berhak mengambil tindakan yang melampaui batas wewenang legalnya apabila hal itu dirasakan perlu demi preservation of all dan kebajikan rakyat.[33]
Kekuasaan eksekutif juga berhak memanggil kekuasaan legislatif untuk bersidang. Meskipun demikian, Locke juga menegaskan bahwa apabila eksekutif menyalahi kedudukannya itu, maka hal sama artinya dengan pernyataan perang kepada rakyat. Rakyat diperbolehkan untuk melawannya, bahkan menggunakan kekerasan sekalipun.[34]
Penggunaan kekerasan oleh rakyat yang dibenarkan dalam konsep Locke tersebut cukup mengherankan, mengingat kekerasan ini justru akan membawa pada sikap barbarian yang bertentangan dengan keadaan alamiah manusia. Sebagaimana disebut di atas, dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka.[35] Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.[36]
Akan tetapi, menurut Bertrand Russel, Locke sangat trauma dengan peristiwa politik di Inggris pada tahun 1628-1640, yaitu pada masa Raja Charles memerintah Inggris tanpa mengikutsertakan parlemen. Peristiwa politik ini, menurut Locke, tidak boleh terulang lagi.[37]
Berkaitan dengan kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menetukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi antarnegara. Demi alasan praktis, Locke memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif.[38] Kekuasaan seorang raja dalam konsep Locke ini masih sangat besar. Oleh karena itu, Locke menyebutnya dengan monarki moderat (moderated monarchy).[39]
Ajaran pemisahan kekuasaan, terutama setelah dikembangkan oleh Montesquieu, ini kemudian terkenal dengan sebutan Trias Politica. Dari waktu ke waktu, ajaran ini tidak berlangsung secara statis tanpa perkembangan apa pun, tetapi justru bergerak sangat dinamis dan banyak melahirkan ide-ide baru. Secara empiris, sebenarnya tidak ada lagi negara yang secara absolut menerapkan Trias Politica. Dalam negara abad XX apalagi di negara-negara dalam kategori developing countries di mana kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial telah menjadi sedemikian kompleksnya serta kekuasaan eksekutif diserahi tanggung jawab yang semakin besar untuk mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politica dalam arti pemisahan kekuasaan sebenarnya tidak dapat lagi dipertahankan.[40]
E. Relasi Pemikiran Hobbes, Locke, dan Rosseau
Ada baiknya menelaah hasil-hasil pemikiran Locke dengan membandingkannya dengan pemikir sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui dinamika berpikir konsep tentang negara dan manusia. Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walaupun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama, mereka tidak dapat saling menganggap sepi. Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).[41]
Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu.[42] Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.[43]
Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara –karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu- tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya.[44]
Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.[45]
Sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan pandangan Locke dan Hobbes dalam perjanjian masyarakat adalah kalau Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan pactum subjectionis.[46]
Menurut R.S. Downie, teori perjanjian negara ini didasarkan pada gagasan bahwa suatu tatanan politis hanya sah sejauh semua yang hidup di dalamnya sebagai orang yang bebas dan sama, dapat menyetujuinya dalam sebuah perjanjian. Ada yang menganggap teori itu sebagai penjelasan tentang asal usul negara secara historis. Artinya, semua negara pernah berdasarkan suatu perjanjian seperti itu (suatu gagasan yang secara historis tidak dapat dipertahankan), dan ada yang menganggapnya sebagai gagasan hipotesis yang mau menjelaskan legitimitas negara. Hobbes termasuk orang yang mempunyai pandangan hipotesis ini.[47]
Sementara itu, Jean-Jacques Rosseau bertolak dari adanya kehendak individual masing-masing orang (volonté particulière). Dari sini, muncullah kehendak semua (volontè de tous). Kemudian, muncullah kehendak umum (volonté générale), yaitu kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan bersama, kepentingan umum.[48] Kehendak umum itu dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan suara kepentingan-kepentingan khusus –yang bertentangan satu sama lain- saling meniadakan, sehingga akhirnya tinggal kepentingan umum yang dikehendaki oleh semua.[49]
Dengan demikian, Hobbes dan Locke bertolak dari pengandaian yang sama, yakni mendirikan negara berarti melepaskan beberapa hak kepada negara. Keduanya berbeda pendapat tentang banyaknya hak yang harus dilepaskan oleh individu dan hak yang mana yang tetap dimilikinya berhadapan dengan negara. Keduanya juga membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif.[50] Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.[51] Sedangakan Rosseau bertolak dari identitas antara negara dan rakyat. Oleh karena itu, individu melepaskan diri seluruhnya ke dalam negara. Tidak ada apa pun yang tinggal di luar wewenang negara itu. Negara itu total karena identik total dengan rakyat. Di lain pihak, individu tidak melepaskan hak apa pun, karena dengan melepaskan diri ke dalam negara, individu tidak melepaskan diri. Negara bukanlah lembaga yang berhadapan dengan individu-individu sehingga dapat merampas hak-haknya dan perlu dibatasi wewenangnya.
Oleh karena itu, masalah penjaminan hak-hak asasi dan pembatasan kekuasaan hilang bagi Rosseau.[52] Sarana-saran yang dalam pandangan Locke merupakan jaminan itu tidak mempunyai fungsi dalam negara yang dibayangkan Rosseau. Dengan demikian, secara de facto Rosseau sama sekali tidak membatasi kekuasaan negara.[53] Hal ini berbeda dengan Locke yang sangat tegas mengatakan bahwa kekuasaan harus dibatasi.
_______________
[1] Tulisan ini merupakan pemikiran A. Ahsin Tohari untuk tugas Mata Kuliah Teori Hukum dan Demokrasi, yang kemudiah diringkas menjadi sebuah lutisan pendek tanpa merubah ensesi tulisan aslinya.
[2]G.E. Aylmer, Rebellion or Revolution: England from Civil War to Restoration, (Oxford: Oxfor Universiry Press, 1986), hal. 34.
[3]John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hal. 9.
[4]John Plamenatz, Man and Society, Vol. II, (London: Longmans, 1965), hal. 172.
[5]Robert A. Dahl berpendapat, Locke memberikan kepada manusia sejenis persamaan intrinsik, yang meskipun jelas tidak ada relevansinya bagi banyak keadaan, namun pasti sangat menentukan untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama sekali untuk tujuan pemerintahan. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics], diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 122.
[6]Patriarcha adalah peran-peran utama dalam Injil yang dianggap merupakan nenek moyang umat manusia, yaitu mulai dari Adam sampai Nuh. Patriarcha diartikan juga sebagai kepala keluarga atau suku. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 118. Wilson H. Coates dan Hayden V. White berkomentar lebih jauh tentang Filmer bahwa, “Filmer no only presented The Theory of Divine Right of Kings in a version which combined a biblical with naturalistic, patriarchal polemic, but he seems also to have finally won The Long English Argument of battling with historical precedents.” Wilson H. Coates dan Hayden V. White, The Emergence of Liberal Humanism, (New Graw Hill), hal. 110 sebagaimana dikutip Ahmad Suhelmi, op. cit., hal. 186.
[7]Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet. IV, (Jakarta: Gramedia, 1994)hal. 219.
[8]Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa pandangan Locke ini terutama ditujukan untuk menyerang Filmer, bukan Thomas Hobbes.
[9]Menurut G.H. Sabine, Locke gagal dalam usahanya untuk membawahkan kebodohan Filmer dengan argumen-argumen kuat yang sebagian besar diambil dari Hobbes. G.H. Sabine, Teori-teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Cet IV, (Bandung: Binacipta, 1992) hal. 174.
[10]Locke, op. cit., hal. 116-117.
[11]“Men being,…by nature, all free, equal and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power of another, without his own consent,” demikian tulis Locke. Ibid., hal. 163.
[12]Menurut Locke, keadaan alamiah (state of nature) adalah keadaan di mana manusia hidup bersama sesuai dengan kehendak akal tanpa ada seorang yang memimpin masyarakat di dunia dengan kewenangan memutus suatu perkara di antara manusia. Ibid., hal. 124.
[13] Thomas Hobbes, Leviathan, (Middleessex England: Penguin Books, 1985), Bab 13.
[14]Bertrand Russell, History of Western Philosophy, (London: Macmillan, 1992), hal. 601. Secara historis, Skolastik digunakan untuk merujuk pada (1) seluruh gerakan Kristiani abad pertengahan dalam filsafat Barat yang dimulai sejak abad ke-5 dan berakhir hingga pertengahan abad ke-17; atau (2) filasat Kristen abad pertengahan antara 1000 M dan sekitar 1300 M. Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), hal. 294.
[15]Locke, op. cit., hal. 178. Hak milik pribadi ini harus dilindungi. Perlindungan ini diperlukan karena problem utama dari masyarakat manusia dimanapun juga adalah pertikaian antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan kelompok. MacIver, The Web of Government, (Chicago: Free Press, 1965), hal.69.
[16]Ibid., hal. 163 dan 183.
[17]Segala kekuasaan yang dimiliki negara adalah karena alasan adanya pendelegasian oleh para warga negara. Wewenang negara adalah seluas hak-hak yang telah diserahkan kepadanya oleh para warga negara. Franz Maginis-Suseno, Etika Politik…, op. cit., hal. 222. Fukuyama menjelaskan bahwa Lockean mengartikan negara sebagai suatu sistem perlindungan seperangkat hak-hak individu. Francis Fukuyama, The End of History and the Las Man, (New York: Avon Books, 1992), hal. 203.
[18]Locke, op. cit., hal. 178.
[19]Azhary, Sejarah Type Pokok Negara, (Jakarta: Permata Publishing Company, 1979), hal. 5.
[20]Apabila dibandingkan dengan Hobbes, Locke dinilai lebih rasional karena pendapat Hobbes masih mengandung pendapat yang tidak rasional, misalnya negara bisa berbuat apa saja sesuai dengan apa yang dikehendakinya tanpa perlu mempertimbangkan apakah tindakan dan logika kekuasaannya sesuai atau tidak dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Suhelmi, op. cit., hal. 197.
[21]Jadi, para individu tidak menyerahkan seluruh haknya dan kebebasannya kepada body politic atau kepada seseorang (monarki) atau sekelompok orang atau diserahkan kepada masyarakat. Azhary, op. cit., hal. 26; Samidjo, op. cit., hal. 94-95.
[22]Suhelmi, op. cit., hal. 199. “Power held on trust to secure freedom,” demikian menurut Plamenatz. Plamenatz, op. cit., hal. 251.
[23]Tentang konstitusi ini Locke mengatakan, “The constitution of the legislative is the first and fundamental act of society, whereby provision is made for the continuation of their union, under the direction of persons….” Locke, op. cit., hal. 223.
[24]C.B. Machperson, The Political Theory of Possesive Individualism, Hobbes to Locke, (Oxford: Oxford University Press, 1962), hal. 257.
[25]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, (Jakarta:Gramedia, 1996), hal. 58
[26]Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], diterjemahkan Stya Arinanto dan Endriyo Soeprastiyo dalam Denny J.A., Jominofri, Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1989), hal. 33.
[27] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The Spirit of the Laws], (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 44-55.
[28]Locke, op. cit., hal. 182-188.
[29]C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hal. 245-247.
[30]Legislatif tidak dapat mengalihkan kekuasaan membuat undang-undang ke tangan orang lain. karena kekuasaan tersebut tidak lain adalah kekuasaan yang didelegasikan dari rakyat, mereka yang memilikinya tidak dapat dialihkan ke orang lain. Locke, op. cit., hal. 182-188.
[31]Suhelmi, op. cit., hal. 201-200.
[32]Suhelmi, op. cit., hal. 202.
[33]Ini merupakan hak prerogatif kekuasaan eksekutif. Hak ini sangat diperlukan karena dalam banyak pemerintahan, kekuasaan membuat undang-undang tidak selalu dilakukan, dan biasanya terlalu banyak dan terlalu lambat. Kekuasaan eksekutif harus diberi ruang gerak untuk melakukan banyak hal dari berbagai pilihan yang tidak ditentukan oleh hukum atau undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Locke, op. cit., hal. 197.
[34]Tentang hal ini, Locke secara eksplisit mengakui hak perlawanan rakyat, misalnya kalau pemerintah berniat untuk mencampuri kehidupan dan milik individu. Oleh karena itu, kalau pemerintah berusaha menjadikan kehendaknya tersebut menjadi undang-undang tanpa melalui legislatif, maka rakyat boleh melawannya, bahkan dengan kekerasan sekalipun. Locke, op. cit., hal. 191 dan 194. Lihat catatan kaki nomor 29.
[35]“Men being,…by nature, all free, equal and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power of another, without his own consent,” demikian tulis Locke. Ibid., hal. 163.
[36]Keadaan alamiah (state of nature) adalah keadaan di mana manusia hidup bersama sesuai dengan kehendak akal tanpa ada seorang yang memimpin masyarakat di dunia dengan kewenangan memutus suatu perkara di antara manusia. Ibid., hal. 124.
[37]Russel, op. cit., hal 614.
[38]Tiga kekuasaan yang diperkenalkan Locke kelihatan sekali belum sempurna. Kekuasaan federatif sekarang ini dianggap satu dengan kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatf belum disebut. Akan tetapi, gagasan dasar negara modern sudah mulai ditemukan, karena kekuatan-kekuatan sosial sudah saling mengimbangi. Suseno, Etika Politik…, op. cit., hal. 224.
[39]Locke, op. cit., hal. 197.
[40]Sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state) di mana kekuasan eksekutif bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat dan karenanya harus merencanakan pembangunan ekonomi dan sosial secara sistematis dan menyeluruh, maka fungsi kekuasaan negara sudah jauh melampaui Trias Politica. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1973), hal. 269-272.
[41]Thomas Hobbes, Leviathan, (Middlesex England: Penguin Books, 1985), Bab 13.
[42]Apabila mereka mempunyai kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble), maka kumpulan orang tersebut disebut bengsa. Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Cet. I, (Jakarta: Ind-Hill-Co., 1991), hal. 59.
[43]Ibid.
[44]Ibid., Bab XIII.
[45]Suseno, Etika Politik…, hal. 207.
[46]Locke berpandangan bahwa para individu tidak menyerahkan seluruh hak dan kebebasannya kepada body politic atau kepada seseorang (monarki) atau sekelompok orang atau diserahkan kepada masyarakat. Azhary, op. cit., hal. 26; Samidjo, op. cit., hal. 94-95.
[47]R.S. Downie, Roles and Values: an Introduction to Social Ethics, (London: Methuen & Co., 1971), hal. 25.
[48]Suseno, op. cit., hal. 240.
[49] Rosseau berpandangan bahwa negara yang diidealkan adalah negara yang betul-betul menjadi res publica, republik, “urusan umum”. Negara tidak lagi menjadi sesuatu yang asing, karena tidak lagi merupakan milik raja atau milik sekelompok orang, tetapi milik semua. Ibid.
[50]Suseno, op. cit., hal. 243; Samidjo, op. cit., hal. 92-93; Suhelmi, op. cit., hal. 212.
[51]Menurut Suseno, Baik Hobbes maupun Locke pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama tentang negara, yakni negara merupakan lembaga yang berhadapan dengan para warga negara yang pernah mendirikannya. Oleh karena itu, negara perlu dikontrol dan batas wewenangnya perlu ditetapkan. Suseno, op. cit., hal. 243.
[52]Ibid., hal. 243.
[53]Negara yang dibayangkan Rosseau sama kekuasaannya dengan negara yang dibayangkan Hobbes. Padahal mereka bertolak dari pengandaian-pengandaian yang sama sekali berlainan. Hobbes mengartikan negara sebagai Leviathan yang menakutkan. Sedangkan bagi Rosseau, negara adalah kehendak rakyat sendiri yang pantas dicintai. Teori dasar keduanya bertolak belakang, tetapi keduanya merancang konsep negara yang sama dengan kekuasaan yang tidak terbatas dan tanpa jaminan nyata apa pun bagi hak-hak rakyat. Ibid., hal. 224.
Trias Politica" di Zaman yang Berubah
Oleh: Budiman Tanuredjo
________________________________________
Dari rangkaian keterangan yang diberikan ketua partai yang juga ketua fraksi DPR itu tampak ia mempunyai pemahaman yang tidak utuh tentang Komisi Konstitusi atau Mahkamah Konstitusi. Ia tak bisa membedakan apa yang disebut Mahkamah Konstitusi dan Komisi Konstitusi. Hal itu juga terjadi ketika seorang deklarator partai menyampaikan pandangan pribadinya soal gagasan Komi-si Konstitusi.
Komisi Konstitusi adalah lembaga baru yang masih diusung oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) untuk Konstitusi Baru. Komisi Konstitusi itu diharapkan menjadi lembaga yang bertugas untuk menyiapkan draf konstitusi baru untuk mendesain Indonesia masa depan, sebelum kemudian dimintakan pengesahannya pada MPR. Jika MPR menolak draf UUD yang disiapkan Komisi Konstitusi maka draf tersebut dimintakan pendapat rakyat melalui referendum.
Di Thailand, Komisi Konstitusi telah menjalankan tugasnya. Sementara di Indonesia, Komisi Konstitusi masih sebatas wacana dan agenda yang harus diperjuangkan baik di parlemen maupun esktra-parlementer. Dengan Komisi Konstitusi, asumsinya masyarakat ikut terlibat dalam proses pembuatan konstitusi. Kalangan Koalisi Ornop meragukan MPR mampu membuat sebuah konstitusi baru karena berbagai kepentingan beradu dalam lembaga yang bernama MPR.
Adapun Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga baru yang diperkenalkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945 yang sudah disahkan dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2001. Kewenangan lembaga itu diatur dalam Pasal 7B dan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945. Pasal 7B mengatur soal kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk meng-impeach presiden atau wakil presiden atas permintaan DPR dan kemudian dibawa kembali ke MPR. Sementara Pasal 24C mengatur soal kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, memutus sengketa antara lembaga negara, memutuskan untuk pembubaran parpol, dan memutus perselisihan pemilu.
Jadi, ada perbedaan yang mendasar antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Konstitusi. Komisi Konstitusi adalah lembaga ad hoc dengan masa kerja terbatas dengan mandat terbatas untuk menyiapkan draf konstitusi. Sementara Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara permanen yang tercantum dalam Perubahan Ketiga UUD 1945.
***
PENJELASAN dari ketua fraksi yang mencampuradukkan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Konstitusi terasa memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi adalah masih adanya persepsi yang berbeda di kalangan anggota MPR tentang posisi Mahkamah Konstitusi. Ada anggota MPR yang berpendapat Mahkamah Konstitusi berada di dalam lingkup MPR, ada yang mengatakan Mahkamah Konstitusi bagian dari Mahkamah Agung, ada juga yang mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi itu merupakan lembaga negara tersendiri. Kenyataan itu memprihatinkan karena mereka sendiri yang membahas perubahan konstitusi.
Lembaga yang diminta menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi pun kebingungan menetapkan di mana letak Mahkamah Konstitusi dalam format sistem pemerintahan Indonesia baru yang sedang didesain MPR. Bagaimana hukum acara Mahkamah Konstitusi, apakah putusan Mahka-mah Konstitusi mengikat atau tidak mengikat masih menjadi sesuatu yang membingungkan.
Kebingungan seperti itu terjadi karena pembahasan perubahan UUD 1945 tidak didasari dengan draf akademis yang memang dipersiapkan untuk mendesain Indonesia masa depan. Karena itu, bisa dipahami ketika sebuah lembaga-seperti Mahkamah Konstitusi-telah diintrodusir, muncul perbedaan persepsi yang bakal menyulitkan di tingkat pelaksanaannya. Adopsi terhadap lembaga baru lebih banyak disebabkan keinginan agar tampak kelihatan reformis. Apa yang disuarakan di luar parlemen diadopsi dan dicantumkan dalam UUD 1945. Munculnya lembaga-lembaga baru lebih banyak disebabkan sebagai respons atas dinamika politik yang muncul.
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru. Selain Mahkamah Konstitusi ada juga Komisi Judisial. Komisi Judicial didesain oleh Perubahan Ketiga UUD 1945 sebagai lembaga yang mandiri. Tugasnya mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Lembaga baru yang diperkenalkan adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Kedudukan DPD masih akan diatur dalam UU, namun DPD diberikan kewenangan untuk mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Perubahan UUD 1945 juga mencetak lembaga-lembaga mandiri. Hampir semua lembaga tinggi negara yang dihasilkan bersifat independen. Ada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mandiri, Badan Pemeriksa Keuangan yang mandiri, Komisi Yudisial mandiri, Mahkamah Konstitusi yang mandiri. Dalam draf Perubahan Keempat UUD 1945 yang masih akan dibahas terdapat juga Kejaksaan Agung yang mandiri, kepolisian yang mandiri, bank sentral yang mandiri.
Semangat menciptakan lembaga mandiri terasa begitu menonjol dalam perubahan UUD 1945. Namun, tidak terlalu jelas betul apa yang dimaksud dengan kemandirian kelemba-gaan tersebut. Bagaimana akuntabilitas vertikal maupun akuntabilitas horizontal dari lembaga-lembaga yang didesain untuk mandiri. Dari pengalaman sosiologis, lembaga-lembaga yang mandiri mempersepsikan diri bahwa lembaganya tak boleh dicampuri oleh lembaga-lembaga negara lain. Lembaga mandiri seakan menciptakan negara dalam negara.
Dalam Perubahan UUD 1945 prinsip kemandirian itu diterjemahkan dalam proses rekrutmen politik. Proses rekrutmen politik kelembagaan dilakukan dengan melibatkan DPR dan pemerintah. Biasanya, DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon-calon anggota lembaga-lembaga mandiri tersebut.
***
KECENDERUNGAN lahirnya lembaga-lembaga negara tambahan (state auxiliary agency, SAA) sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto. Dan, munculnya lembaga baru itu juga tidak khas Indonesia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru.
Lahirnya lembaga negara tambahan itu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica yang diperkenalkan pemikir politik Perancis, Monstequieu, pada abad ke-17 sudah tidak bisa lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antara lembaga tinggi negara. Montesquieu terkenal dengan trias politica-nya yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bentuk kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam proses transisi di Indonesia telah lahir beberapa lembaga negara tambahan. Misalnya, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Anak (Komnas Anak), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang kemudian bubar. Selain yang sudah tercantum dalam Per-ubahan Ketiga UUD 1945 terdapat juga Komisi Antikorupsi yang sedang dibahas DPR. Komisi-komisi baru itu tak bisa lagi dianalisis dengan pendekatan pemisahan kekuasaan model trias politica.
Berbeda dengan terbentuknya SAA di negara lain, di Indonesia tak ada keseragaman dalam proses pembentukan lembaga negara baru itu. Ada yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres), seperti Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional Perempuan, dan Komnas Anak. Ada yang dibentuk atas perintah Tap MPR dan UU, seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ada yang dibentuk atas dasar UU, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan mungkin Komisi Antikorupsi. Bahkan, ada yang dibentuk berdasarkan SK Jaksa Agung, yaitu Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Tak ada juga pemikiran konsepsional dalam pembentukan lembaga. Komisi Ombudsman Nasional dan Komisi Hukum Nasional diintrodusir mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dalam percakapan dengan Kompas dalam sebuah kesempatan, Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata mengaku cukup terkejut ketika Presiden Abdurrahman Wahid dalam sebuah pidato menyatakan keinginannya membentuk Komisi Ombudsman. Kemudian terjadilah pembicaraan antara Sujata dan Wahid untuk merintis terbentuknya Komisi Ombudsman.
Begitu juga halnya dengan Komisi Hukum Nasional yang diketuai Prof DR JE Sahetapy, seorang profesor ilmu hukum yang juga anggota DPR. Tugas dari lembaga itu mirip dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dalam Keppres No 15/2000 tentang Komisi Hukum Nasional disebutkan tugas Komisi Hukum adalah memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan oleh pemerintah tentang masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional. Presiden BJ Habibie melahirkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Nasional Perempuan.
Meski lembaga itu telah dibentuk dalam perjalanannya mereka dihadapkan pada masalah pembiayaan. Padahal, dalam Keppres disebutkan bahwa anggaran itu dibebankan kepada Sekretariat Negara. Komisi Ombudsman Nasional dan Komisi Hukum Nasional mendapatkan bantuan dana dari lembaga dana asing untuk menjalankan organisasinya. Begitu juga dengan Komnas HAM yang mendapatkan bantuan dana dari lembaga dana luar untuk melaksanakan program kerjanya. Yang lebih jujur adalah Komisi Nasional Perempuan. Dalam Keppres No 181/1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekeras-an terhadap Perempuan, Pasal 16 jelas disebutkan "... untuk pelaksanaan program kerja, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dapat mencari sumber dana lain dari sumber-sumber lain dari masyarakat luas yang tidak mengikat."
***
SECARA teoritis yang dimaksud dengan state auxiliary agency adalah kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang personelnya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Itu tampak dari masuknya seorang pastur Katolik Mudji Sutrisno SJ dan Mulyana W Kusumah dalam Komisi Pemilihan Umum, Teten Masduki di Komisi Ombudsman Nasional, Jusuf Syakir di KPKPN.
Gagasan SAA sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.
Di Indonesia terbentuknya SAA memang berbeda dengan adanya kesadaran negara untuk diawasi seperti di negara lain. SAA di Indonesia terbentuk lebih karena keinginan dari elite di negara agar terkesan lebih reformis dengan mengambil tindakan populis. Keputusan itu diambil tanpa pertimbangan konsepsional yang matang, bahkan tanpa mempertimbangkan unsur pembiayaan. Lalu muncullah lembaga yang dapat Keppres dan disebutkan bahwa lembaga itu dibiayai oleh negara, tetapi dalam kenyataannya lembaga itu harus menjalin kerja sama dengan lembaga dana untuk membiayai kegiatannya.
Tidak adanya konsep yang jelas itu juga tampak dari dasar hukum yang digunakan untuk mendirikan lembaga negara. Ada yang atas perintah Tap MPR, perintah UU, perintah Keputusan Presiden, bahkan sampai keputusan Jaksa Agung. Pola rekrutmen politiknya pun berbeda-beda, yakni ada yang diangkat Presiden, ada yang dipilih Presiden dan DPR.
Berkaca dari kenyataan itu, perlu adanya penataan kelembagaan di Indonesia agar lembaga negara baru itu tetap sejalan dalam proses menuju demokrasi. Menjadi tugas MPR-lah untuk menyusun desain Indonesia baru. Terlepas dari mampu tidaknya MPR melaksanakan tugas itu, penataan kelembagaan secara konsepsional menjadi tugas dan tanggung jawab MPR. MPR dituntut lebih berpikir konsepsional untuk mendesain Indonesia baru meskipun publik meragukannya.
Ekstensifikasi dari gagasan Montesquieu tentang trias politica perlu ditata ulang, sehingga tak saling tumpang tindih dan tak saling berebutan kue kekuasaan. Namun, terlepas dari reformasi kelembagaan itu, sosialisasi nilai-nilai demokrasi juga harus dilakukan. Sosialisasi nilai-nilai demokrasi inilah yang terabaikan selama proses transisi ini. Tanpa adanya sosialisasi nilai demokrasi itu ibaratnya menempatkan anggur lama dalam sebuah botol baru.
harles Montesquieu - Hoofdinhoud
The Institute is named after Charles Montesquieu i (1689-1755), the French philosopher and the founding father of the system of seperation of power between executive, legislative, and judicial state bodies (Trias Politica).
Inhoudsopgave van deze pagina:
1. Montesquieu's theory
2. Objectives of the Montesquieu Institute
3. More information
1.
Montesquieu's theory
'I would like to examine how the three powers (executive, legislative, and judiciary) are divided among all moderated forms of government we know, and in this way it would be possible for each institution to check its political liberty.' This Montesquieu wrote in his famous treatise 'The Spirit of the Laws', published in 1748.
In this book Montesquieu described the relation between the sustainable quality of a society and a balanced distribution of political functions within that society. In this respect, according to Montesquieu, the political powers should be distributed as fallows among groups and organs of the society:
• -
Management, time and effort, put into the acquisition of public support for the actions of the government, are in balance with the required speed and decisiveness of these actions ('support-decisiveness-balance, democracy versus effectiveness, legitimacy versus governability)
• -
Actors involved are asked to deliver 'doable' effort (feasibility principle)
• -
An imminent abuse of power by one actor can be blocked by the others (principle of checks and balances)
Montesquieu's 'formula' for the organisation of a sustainable and democratic society has to a large extent determined the organisation of many 'modern' parliamentary democracies. However, this formula provides some challenging questions: is it still applicable nowadays? Does it perhaps require adjustment or addition? Are there nowadays better theories to think of? Or have we simply lost sight of some aspects of this formula?
2.
Objectives of the Montesquieu Institute
One of the objectives of the Montesquieu Institute is to stimulate both Dutch and foreign scientists to look for answers to this kind of questions by, for example, just like Montesquieu himself did:
• -
searching for common roots, 'best practices' and failures in various European countries and analysing whether these could be of use in different context, or
• -
going back in time to recognise and re-appreciate 'routes' we are familiar with or draw inspiration from failures and mistakes in order to take a different route.
Maksud kamu Trias Politica?
Adalah konsep pembagian kekuasaan politik yang diusulkan oleh seorang penulis dan filsuf Prancis,Baron de Montesquieu.
Konsep ini mengusulkan pembentukan 3 badan politik yang saling independen (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif), namun juga saling mengawasi satu sama lain. Ini untuk mencegah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu pihak tertentu (diktator atau tirani).
Di Indonesia, tiga badan tersebut adalah 3 lembaga tinggi negara RI, yaitu: DPR (Legislatif), Presiden (Eksekutif) dan Mahkamah Agung (Yudikatif).
Sebenarnya konsep Trias Politica sangat luas sekali, dan pada kenyataannya, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang menerapkan konsep Trias Politica secara murni, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, selain ada 3 badan yang terpisah tersebut, juga ada badan independen lain yang merupakan lembaga tinggi negara, yaitu: BPK (Badan Pemeriksa keuangan).
Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaanyang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baruyang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjanayang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah,peralihan pemegang kekuasaan pemerintah,1 hingga pergantian hukum dasar negara menjadi bagianyang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak awal terbentuknya hingga beberapa tahun terakhir.
Salah satu perkembangan menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraanyang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa ide penyakralan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945 ) tidaklah relevan dalam kehidupan bernegara. Selama empat tahun, hingga 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)yang saat itu diketuai oleh M. Amien Rais melakukan empat kali perubahan yang amat mendasar terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 . Perubahan konstitusi tersebut telah mengubah secara mendasar pula cetak biru (blue print) ketatanegaraanIndonesia di masa yang akan datang. Secara kuantitatif, isi UUD Negara RI Tahun 1945 telah mengalami perubahan lebih dari 300 persen. Naskah UUD Negara RI Tahun 1945 yang sebelumnya terdiri dari 71 butir ketentuan ayat atau pasal, saat ini menjadi memiliki 199 butir ketentuan. Hanya sekitar 25 butiryang sama sekali tidak berubah dari rumusan ketentuan yang asli, sementara sisanya sebanyak 174 butir merupakan ketentuan-ketentuan baru. Selain itu, bagian Pembukaan,yang secara substansi berasal dari Piagam Jakarta, juga tidak dijadikan obyek dalam perubahan tersebut. Salah satu hasil dari perubahan konstitusi yang sangat mendasar tersebut adalah beralihnya supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Sejak masa reformasi,Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan konsekuensidari supremasi konstitusi, di mana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Dengan demikian, Perubahan UUD Negara RI Tahun1945 ini juga telah meniadakan konsep superioritas suatu lembaga negara atas lembaga-lembaga negara lainnya dari struktur ketatanegaraan Republik Indonesia (RI). Dalam kurun waktu yang cukup lama, konsep klasik trias politica yang dikembangkan sejak abad ke-18 oleh Baron de Montesquieu dikenal luas dan digunakan di banyak negara sebagai dasar pembentukanstruktur kenegaraan. Konsep ini membagi tiga fungsi kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang berbeda. Setiap organ menjalankan satu fungsi dan satu organ dengan organ lainnya tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Walaupun tidak secara tegas, negaraIndonesia pun mengadopsi bentuk trias politica ini.
Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataan menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikansatu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahanjuga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baruyang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun1945 . Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutionsyang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai penunjang.
Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.
Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan. Penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga negara bantu dalamstruktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi juga berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang hukum tata negara, dengan menjadikan KPK sebagai contoh lembaga negara bantuyang akan dianalisis kedudukannya.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya dalam suatu sistem ketatanegaraan?
2. Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara bantu di dalam sistem ketatanegaraanRepublik Indonesia (RI)?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pokok permasalahan seperti diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan RI maupun di beberapa negara lain.
2. Mengetahui dan menganalisis kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan RI.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai kedudukan lembaga negara bantu, khususnya KPK, secara jelas sesuai sistem ketatanegaraan yang dianut negara ini berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi negara. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait dengan kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara ini.
E. KERANGKA PEMIKIRAN/KERANGKA TEORI
1. Sistem Pemerintahan
Membahas sistem pemerintahan berarti membicarakan pula mengenai pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai:
Segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing lembaga negara tersebut saling bekerja sama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Berdasarkan rumusan di atas, sistem pemerintahan dapat ditinjau dari segi pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar lembaga negara. Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas:(1) pembagian kekuasan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut; dan (2) pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.
Sejalan dengan bangkitnya paham mengenai demokrasi, teori-teori mengenai pemisahan kekuasaan pun berkembang. Teori ini mempunyai tujuan untuk memisahkan secara tegas kekuasaan negara atas beberapa kekuasaan yang masing- masing dipegang oleh lembaga-lembaga tertentu guna mencegah timbulnya monopoli seluruh kekuasaan negara di tangan satu orang yaitu raja seperti terjadi di dalam sistem pemerintahan monarki absolut.
John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri).
Sejalan dengan Locke, ajaran pemisahan kekuasaan juga disampaikan oleh Montesquieu. Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian
dikenal sebagai trias politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Konsep Montesquieu saat ini dianggap tidak lagi relevan mengingat ketidakmungkinan mempertahankan prinsip bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Dalam kenyataan sekarang ini, hubungan antar-cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.
2. Lembaga Negara
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.
Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
3. Lembaga Negara Bantu
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat kekurangjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara.
Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga negara utama mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun 1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian, lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga negara bantu.
4. Komisi Pemberantasan Korupsi
Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut.
Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai dari Undang- undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya di kalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta.
Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Studi ini akan menganalisis obyek penelitian dengan menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Sebagai suatu penelitian hukum, data sekunder yang dipergunakan terdiri dari:
Bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini;
1. Bahan hukum sekunder, yang berupa literatur- literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah, laporan penelitian, artikel surat kabar, dan lain sebagainya;
2. Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian eksplanatoris karena menggambarkan dan menjelaskan lebih dalam kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan RI, dengan mengambil contoh KPK sebagai obyek analisis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar mengenai perdebatan seputar eksistensi lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan KPK. Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan pendekatan kualitatif.
•
TEORI KEKUASAAN
October 3rd, 2009 • Related • Filed Under
Pengantar
Ada empat teori tentang terbentuknya negara, yaitu teori alamiah, teori ciptaan Tuhan, teori kekuatan, dan teori kontrak sosial. Masing-masing teori itu juga memberikan penjelasan tentang di mana sumber kewenangan politik.
Teori alamiah menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena kebutuhan manusia untuk aktualisasi kemanusiaannya. Negara adalah wadah tertinggi untuk aktualisasi manusia. Selain negara, dua wadah lain yang tingkatnya lebih rendah adalah keluarga dan desa. Di dalam keluarga, manusia mengakutalisasikan diri di bidang fisik, karena keluarga menyediakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik manusia. Di dalam desa, manusia mengaktualisasi diri di bidang sosial, karena desa menyediakan pemenuhan hasrat untuk berkawan dan bermasyarakat.
Di dalam negara, manusia mengaktualisasikan diri di bidang moral dan politik untuk menjadi manusia sepenuhnya karena manusia mampu mengaktualisasikan hasrat moral dan politik yang tidak bisa terpenuhi di dalam wadah keluarga dan desa. Oleh karena itu manusia bisa sempurna hanya bila mereka berperan dalam negara.
Teori ciptan Tuhan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena diciptakan oleh Tuhan. Penguasa atau pemerintah suatu negara ditunjuk atau ditentukan oleh Tuhan, sehingga walau pun penguasa atau pemerintah mempunyai kewenangan, sumber kewenangan tetap adalah Tuhan. Oleh karena sumber kewenangan adalah Tuhan, penguasa atau pemerintah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat yang dikuasai atau diperintah.
Teori kekuatan menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena hasil penaklukan dan kekerasan antarmanusia. Yang kuat dan mampu menguasai yang lain membentuk negara dan memaksakan haknya untuk menguasai dan memerintah negara. Sumber kewenangan dalam teori ini adalah kekuatan itu sendiri, karena kekuatan itu yang membenarkan kekuasaan dan kewenangan.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Secara garis besar dan untuk keperluan analisis, keempat teori itu seolah-olah berdiri sendiri secara tegar. Akan tetapi bila dilihat lebih seksama, di dalam masing-masing teori itu terdapat nuansa-nuansa perbedaan penjelasan dan argumentasi, terutama pada pengoperasian kewenangan. Bahkan, dari variasi argumentasi itu sering muncul argumentasi yang bisa menjadi pendukung atau inspirasi dari teori lain. Teori ciptaan Tuhan, misalnya, mengandung variasi pemikiran tentang pengoperasian kewenangan.
Kongfucu, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi, kelaparan dan sebagainya. Walau pun secara prinsip Tuhan sumber kewenangan, tampak pula bahwa akhirnya manusia (baca: rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya.
Thomas Aquinas, misalnya pula, mengembangkan pemikiran tentang principium (prinsip), modus (cara) dan exercitium (pelaksanaan) dari kewenangan. Aquinas secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya kewenangan bersumber pada Tuhan, bahwa cara kewenangan dioperasikan ditentukan oleh manusia, dan bahwa pelaksanaannya pun dilakukan oleh manusia.
Dari pemikiran Konfucu dan Aquinas tadi sebenarnya tampak benih-benih atau dasar-dasar bagi perkembangan teori kontrak sosial.
Tulisan ini hanya membahas nuansa-nuansa dalam teori kontrak sosial. Bahasan tentang teori kontrak sosial ini pun dibatasi pada tiga karya pemikir utamanya, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau. Untuk menjamah segi praktisnya, tulisan ini juga diakhiri dengan pembahasan hipotetis tentang pengaruh-pengaruh masing-masing segi pemikiran dalam pola-pola kehidupan bernegara, baik kalangan pemerintah mau pun masyarakat biasa.
Teori Kontrak Sosial
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Kontrak Sosial: Hobbes
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak Sosial: Locke
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Kontrak Sosial: Rousseau
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). [Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. [Rousseau: 231-2.]
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya, Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Penutup
Sumbangan pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke dan Rousseau di atas bisa membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah maupun pihak rakyat yang diperintah. Dalam praktik kehidupan perilaku politik, masing-masing sumbangan pemikiran itu sering mewarnai kehidupan dan perilaku politik.
Amerika Serikat, misalnya, walaupun secara tegas mengoper teori kontrak sosial dari Locke, akan tetapi tidak jarang praktik-praktik politik pemerintahnya diwarnai oleh teori kontrak sosial dari Hobbes dan Rousseau. Teori Hobbes yang mengandung dasar-dasar teori kekuasaan prerogatif, paling tidak telah mewarnai tindakan-tindakan Presiden Abraham Lincoln, Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan Richard Nixon.
Lincoln, Wilson dan Roosevelt bahkan berhasil menikmati praktik-praktik politik yang lebih dekat dengan teori Hobbes daripada teori Locke karena keadaan darurat (Perang Saudara, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) memang memberi peluang “Leviathan memanfaatkan hak prerogatifnya.” Nixon, sebaliknya, harus kalah karena ia memamerkan praksis teori Hobbes pada saat masyarakat sedang menggandrungi praksis teori Rousseau. [Basis Susilo, “The Constitutional Role of the US President in Foreign Policy,” makalah 1985, tidak diterbitkan.]
Walaupun teori kontrak sosial mendasari pemikiran politik suatu masyarakat, akan tetapi dinamika kehidupan dan perilaku masing-masing harus dibedakan apakah yang mewarnai Hobbes, Locke atau Rousseau. Apabila yang lebih mewarnai adalah Hobbes, maka kehidupan dan praktik perilaku politik rakyat hanya ditandai dengan kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa, sementara penguasa akan merasa leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan tuntutan politik dari rakyatnya.
Apabila yang lebih mewarnai adalah teori kontrak sosial dari Locke, maka kehidupan dan perilaku politik masyarakat tentu mengandung ciri-ciri tertentu, seperti pemerintah berhati-hati dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen amat vokal dalam mengontrol dan berperan dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan kritik-kritik.
Upaya untuk memahami dan menjelaskan kehidupan dan perilaku politik atau kebudayaan politik suatu entitas tertentu dapat menggunakan pola-pola pemikiran politik untuk dijadikan salah satu pokok analisis. Konsep-konsep dasar tentang sumber kewenangan dan pengoperasian yang mana yang berada di benak suatu masyarakat, atau yang “mengalir di dalam darah” masyarakat itu? Apakah teori kontrak sosial, atau bukan? Apabila teori kontrak sosial, yang mana? Dari Hobbes, Locke, Rousseau, Hume, atau lainnya?
Pemanfaatan analisis tentang bekerjanya teori-teori tentang asal negara dan sumber kewenangan untuk menjelaskan kehidupan, perilaku, atau kebudayaan politik sampai saat ini belum dikembangkan. Barangkali, ada kesulitan untuk mengukur bekerjanya teori-teori asal-mula negara dan sumber kewenangan di dalam suatu masyarakat, karena sifatnya yang amat abstrak.
Akan tetapi, bila mulai dicoba, tentu ada cara untuk mengukur bekerjanya teori itu dalam praksis kemasyarakatan. Salah satu cara yang mumngkin bisa digunakan adalah dengan mengkaji isi pesan-pesan dan semangat di dalam literatur-literatur atau cerita-cerita yang digemari masyarakat, seperti yang dilakukan oleh David C. McClelland ketika mencari nAch pelbagai masyarakat.
SUMBER : GOOGLE.COM/ARTIKEL OF RIZKI SAPUTRO
TEORI MOTIVASI
October 1st, 2009 • Related • Filed Under
Teori-Teori Motivasi
Oleh WangMuba pada 18.Feb, 2009, dalam ARTIKEL
Konsep Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) penggerak seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah memperoleh kekuatan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan dalam kehidupan..
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Motivasi dapat berasal dari dalam (Intrinsik) dan dari luar diri seseorang (Eksrinsik). Dalam bidang pendidikan, seorang guru perlu mengetahui apakah anak didiknya cenderung memiliki motivasi yang timbul dari dalam ataupun dari luar diri mereka. Hal ini sangat diperlukan supaya guru dapat bertindak dengan sewajarnya dalam memberikan rangsangan kepada anak didiknya untuk selalu berusaha mengembangkan motivasi yang dimilikinya.
Motivasi yang berasal dari dalam diri yaitu yang didorong oleh faktor kepuasan dan ingin tahu .Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.yang kemudian disebut juga dengan motivasi intrinsik. Sedangkan motivasi yang berasal dari luar yaitu perangsang ataupun stimulus dari luar (sebagai contohnya ialah nilai, hadiah serta bentuk-bentuk penghargaan lainnya) adalah ‘motivasi ekstrinsik’. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari rangsangan di dalam diri setiap individu. Ia terdiri daripada dorongan dan minat individu untuk me-lakukan suatu aktivitas tanpa mengharap ataupun meminta ganjaran. Sebagaimana yang sudah dibicarakan, Bruner (1966) mengaitkan motivasi intrinsik ini dengan naluri ingin tahu dan dorongan mencapai kemudahan belajar bagi murid yang baru masuk sekolah. Bagaimanapun, bukan semua motivasi intrinsik diwujudkan secara nyata, akan tetapi ada juga motivasi intrinsik yang dibentuk melalui pembelajaran dan pengalaman yang membawa kepuasan. Contohnya, kebisaaan membaca buku cerita dan bermain alat musik merupakan gerakan motivasi intrinsik yang dibentuk berdasarkan pembelajaran dan pengalamannya.
Harter (1981) mengenal pasti lima dimensi kecenderungan motivasi intrinsik dalam bidang pembelajaran. Dimensi-dimensi ini adalah insentif bekerja untuk memuaskan minat dan sifat ingin tahu, percobaan untuk mencapai penguasaan yang bebas, penilaian yang bebas berkenaan dengan apa yang hendak dilakukan di dalam kelas dan semangat untuk dapat meraih keberhasilan. Pelajar yang lebih cenderung ke arah motivasi intrinsik menyukai pekerjaan yang menantang. Mereka mempunyai insentif yang lebih untuk belajar memanfaatkan kepuasan diri sendiri daripada mengambil hati guru untuk mendapatkan nilai yang baik. Mereka lebih suka mencoba mengatasi masalah dengan sendirinya daripada bergantung pada bantuan ataupun bimbingan guru. Mereka juga menerapkan suatu sistem penguasaan target dan taraf pencapaian yang memperbolehkan mereka membuat penilaian yang bebas berkenaan dengan keberhasilan ataupun kegagalan mereka di dalam kelas tanpa bergantung pada guru untuk mendapatkan hasil ataupun penilaian.
Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik diwujudkan dalam bentuk rangsangan dari luar yang bertujuan menggerakkan individu untuk melakukan suatu aktivitas yang membawa manfaat kepada individu itu sendiri. Motivasi ekstrinsik ini dapat dirangsang dalam bentuk-bentuk seperti pujian, insentif, hadiah, dan nilai. Selain itu membentuk suasana dan lingkungan yang kondusif juga dapat dikategorikan kedalam bentuk motivasi ekstrinsik, karena hal tersebut dapat mendorong seorang pelajar untuk lebih giat belajar.
Contoh motivasi ekstrinsik yaitu, pujian yang diberikan oleh guru kepada seorang anak didiknya karena pekerjaannya yang baik akan menyebabkan daya usaha atau motivasi anak didiknya tersebut meningkat. Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya (konsekwensi positif) dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan (konsekwensi negatif).
Konsekwensi positif ialah stimulus atau peristiwa yang menyebabkan kemajuan dalam pembelajaran ataupun perubahan kelakuan kearah yang positif. Konsekwensi ini lazimnya menggembirakan dan dapat disebut sebagai ganjaran. Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru ketik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru ketik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru ketik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Konsekwensi yang tidak menyebabkan kemajuan dalam pembelajaran adalah konsekwensi negatif. Konsekwensi negatif adalah stimulus atau peristiwa yang diberikan setelah suatu respons berlaku, sehingga dimungkinkan akan mengakibatkan peningkatan respons itu. Sebagai contohnya adalah guru yang memberikan konsekwensi mengelakkan sesuatu yang menghalang pelajar daripada memberikan perhatian dalam kelas supaya pelajar itu dapat menumpukan perhatian pada konsekwensi utama.
Antara jenis konsekwensi, terdapat konsekwensi utama dan konsekwensi sekunder. Konsekwensi utama terdiri dari benda ataupun peristiwa yang memberi kesan langsung kepada kelakuan seseorang dan tidak bergantung pada pembelajaran suatu konsekwensi. Contohnya, gula-gula dan mainan. Anak-anak yang diberi gula-gula apabila dia berkelakuan baik akan terus berkelakuan baik karena mereka tahu mereka akan mendapat ganjaran itu.
Konsekwensi utama ini diberikan kepada pelajar karena mereka belum tahu cara bertindak apabila mendapat konsekwensi sekunder. Konsekwensi sekunder ialah stimulus atau peristiwa yang memperkuat suatu respons melalui pembelajaran. Konsekwensi ini bersifat linguistik ataupun sosial. Contohnya pujian guru, perhatian guru, marah, senyuman dari guru ataupun apapun yang mengisyaratkan perasaan seorang guru. Konsekwensi ini menjadi konsekwensi sekunder setelah berlakunya pembelajaran beberapa lama. Menurut Walberg (1986), kedua jenis konsekwensi ini penting bagi peningkatan kualitas dan kuantitas pembelajaran anak didik (pelajar).
Di dalam kelas, guru perlu mengetahui jenis konsekwensi yang hendak diberikan dan seberapa sering guru perlu memberikan konsekwensi tersebut kepada muridnya. Ada konsekwensi yang dapat diberikan dengan sering, contohnya pujian, dukungan ataupun bujukan. Menurut Kazdin(1984), konsekwensi lebih berkesan apabila diberikan sesering mungkin pada peringkat pembelajaran baru. Oleh karena itu, pada saat pelajar berada dalam tahap awal untuk mempelajari sesuatu (kewajiban baru), mereka sebaiknya diberi pujian dan dukungan sesering mungkin.
Hukuman adalah suatu bentuk konsekwensi negatif dan ia sebaiknya tidak diberikan. Hukuman lazimnya digunakan oleh guru untuk menghapuskan kelakuan pelajar yang tidak baik. Hukuman ini mungkin berupa pekerjaan tambahan, skorsing, hukuman fisik dan berbagai jenis hukuman lainnya. Guru juga dapat menggunakan sindiran, kemarahan dan kritikan untuk menghukum kelakuan pelajar. Hampir semua jenis hukuman memberikan kesan buruk kepada pelajar. Oleh karena itu, konsekwensi jenis ini lebih baik tidak dilakukan. Hukuman boleh diberikan apabila jenis hukuman itu dibenarkan oleh pihak sekolah ataupun sesuai dengan ajaran yang diberlakukan.
Konsep Motivasi Internal dan Eksternal
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Teori Abraham H. Maslow (Teori Humanistik)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai tujuh enam atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan social (social needs) yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Di dalam kebutuhan sosial ini terdapat kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status, seseorang harus berprestasi, menjadi kompeten, serta mendapat pengakuan sebagai orang yang berprestasi dan kompeten untuk dapat dihargai; (5) kebutuhan intelektual (intellectual needs) terdapat didalamnya adalah individu memperoleh pemahaman dan pengetahuan; (6) kebutuhan estetis (aesthetic needs), setelah mencapai tingkatan intelektual tertentu, maka individu akan memikirkan tentang kebutuhan akan keindahan, kerapian, serta keseimbangan; (7) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata agar dapat menemukan pemenuhan pribadi dan mencapai potensi diri.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
1. Memiliki paersepsi akurat tentang realitas.
2. Menikmati pengalaman baru.
3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4. Memiliki standar moral yang jelas.
5. Memiliki selera humor.
6. Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8. Bersikap demokratis dalam menerima orang lain.
9. Membutuhkan privasi.
10. Bebas dari budaya dan lingkungan.
11. Kreatif.
12. Spontan.
13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14. Mengakui sifat dasar manusia.
15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
Aplikasi Teori Motivasi Maslow
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-didiknya. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Kelebihan Teori Belajar Humanistik
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
2. Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
TEORI KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP)
October 1st, 2009 • Related • Filed Under
A. Pengertian dan Unsur – Unsurnya
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai.
a. Menurut George Terry, Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela untuk mencapai tujuan kelompok.
b. Menurut Cyriel O’Donnell, kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum.
Dari dua pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan terdiri atas :
1. Mempengaruhi orang lain agar mau melakukan sesuatu.
2. Memperoleh konsensus atau suatu pekerjaan.
3. Untuk mencapai tujuan manajer.
4. Untuk memperoleh manfaat bersama.
Sehingga jika dilihat pada konteks kepemimpinan hal yang saling terkait adalah adanya unsur kader penggerak, adanya peserta yang digerakkan, adanya komunikasi, adanya tujuan organisasi dan adanya manfaat yang tidak hanya dinikmati oleh sebagian anggota.
B. Fungsi dan Tugas
Seorang pemimpin secara umum berfungsi sebagai berikut :
1. Mengambil keputusan
2. Mengembangkan informasi
3. Memelihara dan mengembangkan loyalitas anggota
4. Memberi dorongan dan semangat pada anggota
5. Bertanggungjawab atas semua aktivitas kegiatan
6. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan
7. Memberikan penghargaan pada anggota yang berprestasi
Sedangkan tugas kepemimpinan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Yang berkaitan dengan kerja :
– Mengambil inisiatif
– Mengatur langkah dan arah
– Memberikan informasi
– Memberikan dukungan
– Memberi pemikiran
– Mengambil suatu kesimpulan
b. yang berkaitan dengan kekompakan anggota :
– Mendorong, bersahabat, bersikap menerima
– Mengungkapkan perasaan
– Bersikap mendamaikan
– Berkemampuan mengubah dan menyesuaikan pendapat
– Memperlancar pelaksanaan tugas
– Memberikan aturan main
C. Level dan Keterampilan Yang Perlu Dimiliki
Kepemimpinan dibagi menjadi sebagai berikut :
1. Level Top Leader/Top Management
Pimpinan puncak, misalnya, direktur utama. Melakukan tugas yang bersifat konseptual.
Misalnya, melakukan perencanaan yang akan dilakukan seluruh anggota.
2. Level Middle Leader/Middle Management
Golongan menengah, misalnya, staf produksi, manajer keuangan. Melakukan tugas konseptual sebagai penjabaran dari top management, juga melakukan pekerjaan tersebut. Penguasaan
teknis relatif penting.
3. Lower Leader/Lower Management
Golongan bawah, misalnya, supervisor, mandor dan pelaksana teknis. Harus menguasai teknis
walaupun secara konseptual tidak begitu penting.
D. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan secara umum dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Orientasi pekerjaan (task oriented)
2. Orientasi kekompakan (human oriented)
Dari dua gaya kepemimpinan tersebut berkembang gaya kepemimpinan yang lain seperti :
– Gaya kekompakan tinggi, kerja rendah
– Gaya kerja tinggi, kekompakan rendah
– Gaya kerja tinggi, kekompakan tinggi
– Gaya kerja rendah, kekompakan rendah
E. Persyaratan Ideal Bagi Pimpinan
Menurut George R. Terry, pemimpin harus memiliki ciri sebagai berikut :
1. Mental dan fisik yang energik
2. Emosi yang stabil
3. 3.Pengetahuan human relation yang baik
4. Motivasi personal yang baik
5. Cakap berkomunikasi
6. Cakap untuk mengajar, mendidik dan mengembangkan bawahan
7. Ahli dalam bidang sosial
8. Berpengetahuan luas dalam hal teknikal dan manajerial
Menurut Horold Koontz dan Cyrel O’Donnel, ciri-ciri pemimpin yang baik adalah :
a. Tingkat kecerdasan yang tinggi
b. Perhatian terhadap keseluruhan kepentingan
c. Cakap berbicara
d. Matang dalam emosi dan pikiran
e. Motivasi yang kuat
f. Penghayatan terhadap kerja sama
TEORI – TEORI MOTIVASI
October 1st, 2009 • Related • Filed Under
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
• Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
• Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
• Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
• Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
• Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
• Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
• Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
• Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
• Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
• Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
• Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
• Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
No comments:
Post a Comment