RANTE MARIO -
LATIMOJONG
Type: Jungle
Trekking
Grade: Moderate
Latimojong merupakan pegunungan
dengan
tipe non-volcano yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Latimojong
membentang 55 km dari arah Utara ke Selatan dan 35 km dari arah
Barat ke Timur dalam enam kabupaten yaitu: Toraja Utara, Tana Toraja,
Enrekang, Sidenreng Rappang, dan Luwu dengan letak geografis ***********BT-LS. Pegunungan dengan luas **************
ini membuatnya dijuluki
“Big Mountain”. Suhu rata-rata
berkisar ************** ˚C dan curah hujan rata-rata 94,6 mm/tahun. Ketinggian
rata-rata pegunungan Latimojong adalah 2.545 mdpl dengan
puncak tertinggi,
Rante Mario, 3.478 mdpl (11,411
ft) yang juga merupakan titik tertinggi Pulau Sulawesi. Puncak pegunungan
Latimojong antara lain:
No.
|
Puncak
|
Ketinggian
(mdpl)
|
Lokasi Geografis
|
Lokasi Administratif
|
1.
|
Rante
Mario
|
3.478
|
S03°23′01″E
120°01’30’’
|
Enrekang
|
2.
|
Bubun
Dirangkang
|
3.397
|
S
03°24'35" E 120°02'24’’
|
Enrekang
|
3.
|
Latimojong/Tomaupa’
|
3.040
|
S
03°26'439" E 119°55'17’’
|
Luwu
|
4.
|
Nene’
Mori
|
|||
5.
|
Botto
Paloe
|
|||
6.
|
Pokapinjan
|
2.970
|
S
03°22'38" E 119°59'37’’
|
Enrekang
|
7.
|
Pantara
Siruk
|
2.930
|
||
8.
|
Arruan
|
3.027
|
||
9.
|
Pipingpanah
|
2.835
|
S
03°30'21" E 120°06'35’’
|
|
10.
|
Batu
Ketangke
|
2.830
|
||
11.
|
Batu
Maitan
|
|||
12.
|
Sumbolong
|
|||
13
|
Botto
Tallu
|
3.086
|
S
03°31'20" E 120°04'15’’
|
|
14.
|
Pasa’
Bombo
|
2.965
|
||
15.
|
Tilabang
|
Enrekang
|
||
16.
|
Bajaja
|
2.706
|
S
03°26'17" E 120°05'13’’
|
Enrekang
|
17.
|
Pantialloan
|
2.699
|
S
03°23'41" E 119°58'52’’
|
Enrekang
|
18.
|
Lariu
|
2.700
|
||
19.
|
Serang
Langkan
|
2.149
|
S
03°19'33" E 119°59'05’’
|
|
20.
|
Rante
Kambola
|
3.455
|
S
03°21'06" E 120°02'37’’
|
Enrekang
|
21.
|
Passaparan
|
Luwu
|
||
22.
|
Sikolong
|
2.754
|
S
03°19'50" E 120°02'03’’
|
|
23.
|
Lapande’
|
2.457
|
S
03°17'25" E 120°01'30’’
|
|
24.
|
Potok
Sia
|
|||
25.
|
Sinaji
|
1.980
|
S
03°14'57" E 119°58'52’’
|
Tana
Toraja
|
26.
|
Katapu
|
2.130
|
S
03°23'07" E 120°06'46’’
|
Enrekang
|
27.
|
Kapuranpanggan
|
Enrekang
|
||
28.
|
Potok
Ullin
|
Enrekang
|
||
29.
|
Palangka
|
2469
|
S
03°29'00" E 120°04'00’’
|
Enrekang
|
30.
|
Kanjilo
|
1.236
|
S
03°16'31" E 119°57'24’’
|
Tana
Toraja
|
Dari segi keanekaragaman hayati, Pegunungan Latimojong merupakan habitat Anoa, hewan endemik Pulau Sulawesi yang dijadikan fauna identitas Provinsi Sulawesi Tengah. Terdapat dua species anoa yaitu;
1.
Anoa Pegunungan (Bubalus Quarlesi)
Meskipun telah dilindungi, Anoa
kian terancam punah karena hingga
kini aktivitas perburuan untuk mendapatkan daging, kulit dan tanduknya masih terus
berlangsung. Hewan ini hampir tidak pernah lagi dijumpai pada saat
pendakian kecuali bekas berupa sarang dan kotoran. Saat ini Anoa yang hidup di alam liar
diperkirakan
tersisa kurang dari 5000 ekor. Sejak tahun 1986, IUCN Redlist
mengkategorikan anoa sebagai binatang dengan status konservasi “EN” (endangered; terancam punah)
atau tiga tingkat di bawah status “punah”.
Foto: Anoa hasil buruan warga kaki gunung Latimojong Juli
2015. Sumber: https://www.facebook.com/profile.php?id=100005126138629&sk=photos&collection_token=100005126138629%3A2305272732%3A69&set=a.452184621629072.1073741847.100005126138629&type=3
Fauna
yang masih sering dijumpai bila mendaki wilayah pegunungan Latimojong adalah
tupai, burung anis, babi hutan, kipasan Sulawesi, berbagai jenis elang, burung hantu dll.
Vegetasi pegunungan Latimojong
antara lain; pinus, pakis, podocarpos (konifer asli), arega sp., pohon mapel
(acercaesicum), rotan, paku tiang, paku besar, lantana camara verb,
tahi angin (usnea/lumut kerak/lychenes), azalea (rhododendron),
arbei (morus alba), gaultheria celebica, gaultheria
viridifloria, buni (diplycosi/berbau seperti gandapura), lumut aerobryum,
edelweis (andaphaus javanicum) dan lain-lain.
Penelitian
batuan metamorf di Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa
Formasi Latimojong berasal dari batuan silisikiastik berselingan dengan sedimen
karbonat dan endapan volkanik suatu cekungan dangkal busur muka yang diintrusi
oleh batuan beku kalk alkali dan toleit berkomposisi basa hingga asam. Proses
metamorfosa berlangsung pada derajat sangat rendah hingga menengah. Batuan
tersebut terimbrikasikan bersama serpentinit, rijang dan metabasit suatu busur
kepulauan dan mengindikasikan lingkungan komplek akresi.
Setidaknya
tiga tahapan deformasi berpengaruh terhadap batuan tersebut. Deformasi awal
menghasilkan himpunan mineral yang pada batuan meta sedimen, sejajar dengan
pola perlapisan, dimulai Bari fasies zeolit, aktinolit-pumpelyit hingga
sekishijau. Kemudian terlipatan dan beberapa berkemkeng menjadi awal fasies
amfibolit. Di pihak lain metabasit memperlihatkan perbedaan, dipengaruhi
tekanan yang lebih tinggi, dalam fasies sekishijau glaukofanitik. Deformasi
ekstensional merupakan episode terakhir, diikuti pengendapan hidrotermal
sebagai urut-urat.
Data
geolimia batuan beku yang termetamorfosakan memperlihatkan himpunan batuan tepi
kontinen aktif terakresikan bersama batuan produk suatu busur kepulauan. Hal
tersebut mendukung suatu penafsiran bahwa terjadi busur kepulauan mendahului
kolisinya dengan tepi Sundaland. (Sumber: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-jokosoesil-26979 - http://opac.geotek.lipi.go.id/index.php?p=show_detail&id=1010)
RANTE MARIO, PUNCAK TERTINGGI PEGUNUNGAN LATIMOJONG
Puncak Rantemario adalah
puncak tertinggi pegunungan Latimojong dan puncak yang paling sering didaki.
Rante Mario oleh penduduk sekitar (Toraja- Duri) lebih dikenal dengan nama Batu
Bolong (Batu Hitam) dapat dicapai
melalui 5 jalur; Karangan, Angin-angin dan Bone-Bone (Kec. Buntu Batu, Kab. Enrekang)
Uluway (Kec. Mengkendek, Kab. Tana Toraja) serta Tibussan (Kec. Latimojong Kab. Luwu). Di sini,
hanya akan dibahas jalur pendakian melalui Karangan yang merupakan jalur umum/resmi atau jalur yang paling sering dilalui.
Karangan
adalah dusun di kaki Pegunungan Latimojong yang merupakan satu dari empat dusun
(selain Rantelemo, Angin-angin, dan Wai-wai) dalam Desa Latimojong, Kecamatan
Buntu Batu, Kabupaten Enrekang. Dusun ini merupakan perkampungan terakhir
sekaligus menjadi tempat para pendaki melapor kepada kepala dusun setempat.
CARA
MENCAPAI LOKASI
Dari Makassar, Anda dapat
langsung mencari mini bus di Terminal Dayak dengan tujuan Baraka, Enrekang.
Perjalanan ini memakan waktu
7 jam. Di Baraka (S30 24’
13.8” E1190 51’ 12.4”) terdapat pasar tradisional dimana Anda dapat menambah
keperluan logistik terutama sayuran. Truk/Jeep angkutan menuju Karangan
terletak di ujung Timur pasar. Dari jalan poros Cakke-Baraka turun ke bawah
hingga ujung pasar.
Dari Baraka, perjalanan
dilanjutkan ke Karangan atau Rantelemo dengan menggunakan Truk atau Jeep. Angkutan
ini hanya masuk setiap hari pasar Baraka, yaitu hari Senin dan Kamis. Kondisi
jalan yang berlumpur terkadang membuat kendaraan tidak dapat menjangkau
Rantelemo (S30 25’ 59.1” E1190
58’ 08.4”)
dan hanya sampai Buntudea. Di tempat ini jalur terbagi menjadi dua yaitu jalur
Angin-angin dan jalur Rante Lemo.
Foto: Kampung Pasongken,
jalur menuju Rante Lemo 2012. © @CAREFAUNHAS
Jalur Angin-angin merupakan
jalur yang lebih dekat namun langsung menajak sejauh
2km (
1 jam perjalanan) dan kemudian relatif landai dan menurun menuju Karangan
(S30
25’ 14.1” E1190 59’ 14.7” ± 1466 mdpl). Jalur Rantelemo relatif menanjak hingga 40˚. Dari Angin-angin, pendakian juga bisa dilanjutkan langsung menuju Rante Mario tanpa melalui
Karangan. Jalur Angin-angin yang lebih sulit dari
jalur Karangan membuat jalur ini terkenal dengan nama "Jalur Merah" di kalangan pendaki.
Informasi
Trayek Perjalanan Makassar-Rante Lemo (Agustus 2015)
Trayek
|
Keterangan
|
Waktu
|
Biaya
(Rp)
|
Makassar-Baraka
|
Minibus
|
7 jam
|
100.000
|
Baraka-Buntudea
|
Truk/Jeep
|
2 jam
|
30.000
|
Baraka-Rante
Lemo
|
Truk/Jeep
|
2 ,5 jam
|
30.000
|
Baraka-Karangan
|
Truk/Jeep
|
3 jam
|
35.000
|
*Karangan
juga dapat langsung diakses dari Cakke’ (Trans Sulawesi/Makassar
Toraja) atau Baraka dengan menggunakan
motor/ojeg. Musim juga
kadang mempengaruhi waktu tempuh.
JALUR
PENDAKIAN
Dari Karangan, jalur pendakian
Rante Mario terdiri dari 7 pos dengan waktu tempuh secara akumulatif
13 jam (tidak termasuk istirahat dan camp/menginap).
Karangan (S30
25’ 14.1” E1190 59’ 14.7” ± 1466 mdpl)
Karangan merupakan satu dari
empat dusun (selain Rantelemo, Angin-angin, dan Wai-wai) dalam Desa Latimojong,
Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang. Dusun ini merupakan perkampungan
terakhir sekaligus menjadi tempat para pendaki melaporkan
aktivitas pendakian kepada Kepala Dusun setempat. Rumah kepala dusun terdapat di belakang
masjid dusun (2015). Dibutuhkan
waktu 2 jam berjalan kaki dari Buntudea melalui jalur Angin-angin atau 2,5 jam
melalui Rante Lemo untuk mencapai Karangan. Mata pencaharian penduduk sebagian
besar bertani kopi, bawang merah, bawang prey dan jagung. Suguhan kopi jenis
arabica akan langsung tersaji jika Anda tiba di dusun ini. Pembangkit listrik
berupa turbin (tenaga air) sudah terdapat di sini, namun kurangnya fasilitas MCK menjadi satu hal yang paling banyak
dikeluhkan para pendaki.
Foto: Dusun Karangan. © @CAREFAUNHAS
2012
Pos 1 - Buntu Kaciling (S30 24’ 51.6” E1190 59’ 52.6” ±1800 mdpl)
Dari Dusun Karangan, Pos 1 ditempuh dengan waktu
1 jam melalui perkebunan kopi. Perhatikan tanda jalur/stringline yang banyak terpasang
mengingat banyak percabangan jalur kebun, penebang kayu dan
pemburu. Jalur ini masih
banyak sumber air, ada tiga sungai kecil
di sepanjang jalur. Selain perkebunan kopi, vegetasi jalur ini juga
didominasi oleh tumbuhan paku. Edelweiss juga sangat sering dijumpai. Pos 1 merupakan batas perkebunan penduduk
dengan hutan. Sebaiknya meminta informasi warga sebelum berangkat dari Karangan, terdapat percabangan sebelum Pos 1 dimana jalur kanan adalah jalur Nene' Mori.
Foto: Pos 1 – Buntu Kaciling. © @CAREFAUNHAS 2012
Pos 2 - Sarang Pa’pak (S30 24’ 36.8” E1200 00’ 24.9” ±1856
mdpl)
Waktu tempuh dari pos 1 ke pos 2 adalah
1 jam 45 menit dengan jalur yang bervariasi. Jalur menanjak dari pos 1 dengan waktu tempuh
sekitar setengah jam. Mendekati Pos 2
jalur menurun dan melipir karena Pos 2 berada di lembah dan pinggir sungai. Letaknya
yang berada di tepi aliran sungai yang cukup deras
membuat pos 2 sering
dijadikan lokasi camp. Terdapat areal datar di bawah batu yang dapat menampung
2 buah tenda dan areal datar di
atasnya dapat menampung 1 buah tenda.
Di pos ini juga merupakan tempat dimana para pendaki membuat gelang dari rotan.
Potongan rotan banyak terdapat di sini. Disarankan Anda menambah dan menghemat
persediaan air karena Anda tidaka akan menemukan sumber air hingga pos 5.
Foto: © PMK FH-UH dan Mahasiswa
Teknik Sipil Unhas @Pos 2 Rante Mario 2015. © PMK FH-UH 2015
Pos 3 - Lantang Nase (S30 24’ 27.1” E1200 00’ 28.0” ±1940 mdpl)
Jalur
menuju pos ini merupakan jalur tersulit. Dari pos 2, jalur langsung menanjak dengan kemiringan hingga >80˚ dengan medan bebatuan yang licin mengajak untuk sedikit merayap (scrambling). Selain rotan yang terpasang di beberapa
lokasi sulit, akar melintang yang bermunculan dapat dijadikan pegangan. Banyak terdapat anggrek, bunga berdoa dan kantong semar (nephentes) di jalur menuju pos ini, pacet juga akan
semakin mulai sering dijumpai.
Dibutuhkan
waktu tempuh
2 jam dari pos 2 untuk mencapai pos
ini.
Pos 4 - Buntu Lebu (S30 24’ 18.6”
E1200 00’ 42.8” ±2140 mdpl)
Waktu tempuh
1 jam dari pos 3 dengan jalur pendakian
didominasi tanjakan dengan kemiringan 60˚ hingga 80˚ dengan sesekali bonus. Mendekati pos 4, vegetasi mulai merapat. Rotan
yang banyak tumbuh mungkin akan merobek rain cover Anda. Pos 4 adalah arean datar yang apat menampung 3 buah
tenda. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pos ini adalah sekitar 45
menit.
Pos 5 - Salo Tama (S30
24’ 04.2” E1200 01’ 09.3” ±2605 mdpl)
Pos ini merupakan pos dengan
area terluas yang dapat menampung sekitar 10 tenda. Terdapat sumber air sekitar
150 meter di sisi kiri jalur menuruni lembah. Karena cukup terbuka, puncak Nene’
Mori, Bubun Dirangkang, Kapurampanggan, dan Potok Ullin dapat terlihat jelas dari sini jika cuaca cerah.
Pos 6 (S30
23’ 58.4” E1200 01’ 23.6” ±2844 mdpl)
Menuju pos 6, vegetasi mulai
didominasi oleh pohon cantingi dengan balutan tahi angin (unsea
sp).
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk mencapai pos yang yang tidak terlalu
luas ini. Jika cuaca cerah, jejeran puncak-puncak pegunungan Latimojong akan
terlihat jelas. Puncak Rante Mario juga bisa terlihat.
Pos 7 Kolong Buntu (S30 23’ 41.4” E1200 01’ 38.8” ±3100
mdpl)
Jalur menuju pos 7 masih
didominasi canting namun kerapatannya mulai berkurang. Berbeda dengan pos sebelumnya, tahi angin yang membalut
cantingi disini berwarna hitam. Pos tujuh adalah areal terbuka
yang cukup luas dan dapat menampung 3 tenda. Sungai kecil dengan air yang sangat jernih mengalir
sekitar 15 meter dari pos. Terdapat daerah datar di
sisi/pinggir sungai. Usahakan jangan memasang tenda di pinggir sungai terutama
pada musim hujan karena debit air akan bertambah. Dibutuhkan waktu 1 jam 30 menit dari pos 6 untuk mencapai pos ini.
Foto: Pos 7 © PMK FH-UH
Telaga
Dari pos 7, jalur langsung
menanjak mencapai 850
sekemudian relatif datar hingga telaga. Sebelum mencapai telaga terdapat percabangan, ambil
jalur kiri karena jalur kanan adalah jalur menuju tiang/antena komunikasi TNI
yang tidak berfungsi lagi (akan terlihat dari pos 7 dan telaga). Telaga adalah daerah datar
terbuka yang cukup luas,
telaga ini merupakan telaga musiman yang hanya akan terisi saat hujan.
Anda harus membawa
air dari pos 7
jika ingin camp disini saat musim
kemarau. Setelah mencapai
tempat ini, jalur terbagi menjadi 3. Jalur ke kiri menuju puncak Rantemario, ke
kanan 30° menuju puncak Nenemori dan kanan 90° adalah jalur Tibussan (Luwu).
Waktu tempuh dari pos 7 sekitar 15 menit.
Foto:
Telaga 2015. © PMK
FH-UH
Puncak (S30 23’ 05.8”
E1200 01’ 27.5” ±3478 mdpl)
Setelah telaga, jalur akan kembali terbagi menjadi 2, jalur ke kiri
adalah jalur normal sedangkan jalur kanan dalah jalur memotong yang bertemu
sebelum puncak. Jalur didominasi rute datar dan sesekali tanjakan
yang cukup licin terutama saat hujan. Puncak Rantemario ditandai dengan triangulasi dari beton setinggi 1,5
meter
yang dibangun oleh Mapala Universitas 45 Makassar pada tahun 1993.
Rute
|
Waktu Tempuh
|
Ketinggian
|
Letak Geografis
|
Buntudea-Angin-angin
|
|||
Angin-angin-Karangan
|
S30 25’ 14.1” E1190 59’ 14.7”
|
||
Buntudea-Rantelemo
|
S30 25’ 59.1” E1190 58’ 08.4”
|
||
Rantelemo-Karangan
|
S30 25’ 14.1” E1190 59’ 14.7”
|
||
Karangan-Pos 1
|
S30
24’ 51.6” E1190 59’ 52.6”
|
||
Pos 1-Pos2*
|
S30
24’ 36.8” E1200 00’ 24.9”
|
||
Pos 2-Pos 3
|
S30
24’ 27.1” E1200 00’ 28.0”
|
||
Pos 3-Pos 4
|
S30
24’ 18.6” E1200 00’ 42.8”
|
||
Pos 4-Pos 5*
|
S30
24’ 04.2” E1200 01’ 09.3”
|
||
Pos 5-Pos 6
|
S30
23’ 58.4” E1200 01’ 23.6”
|
||
Pos 6-Pos 7*
|
S30
23’ 41.4” E1200 01’ 38.8”
|
||
Pos 7-Puncak
|
S30
23’ 05.8” E1200 01’ 27.5”
|
*Pos dengan
sumber air (2, 5 dan 7). Waktu tempuh tidak termasuk istirahat/camp
CERITA DAN LEGENDA MASYARAKAT
Batu Bolong
Beredar cerita di masyarakat Duri bahwa pada awalnya
kawasan puncak Rante Mario merupakan batuan
emas yang menyilaukan. Aktivitas warga dan pendatang yang mengambil
bongkahan emas dikawatirkan warga akan merusak kawasan Rante Mario. Penduduk
desa pun berusaha mencari solusi untuk mengatasi hal itu. Akhirnya diputuskan
untuk untuk mewarnai daerah berbatu itu dengan warna hitam. Konon warna hitam
yang digunakan adalah jelaga dan kerak hitam pada belanga serta peralatan masak lainnya.
Sejak itu Rante Mario kemudian dikenal masyarakat dengan nama Batu Bolong
(Batu Hitam). Batu Bolong adalah bongkahan batu seluas
3X7 m dan tinggi sekitar 4 meter berada sekitar 15
menit dari puncak Rante Mario menuju jalur Palangka/Rantekambola.
Gelang Rotan
Desa Latimojong didiami oleh masyarakat Duri yang merupakan penduduk mayoritas Enrekang bagian Utara
(Tallu Batu Papan). Bahasa yang
digunakan hampir sama dengan bahasa Toraja, suku yang mendiami sisi Utara pegunungan
Latimojong (sebagian masyarakat Duri masih mengakui bagian dari suku Toraja). Masyarakat Duri meyakini nenek moyang mereka berasal dari
Pegunungan Latimojong yang dalam bahasa setempat disebut Batu Bolong (Batu
Hitam).
Arwah leluhur dipercaya masih
menjadi penunggu beberapa tempat di pegunungan ini. Kepercayaan inilah yang
melatarbelakangi setiap pendatang yang akan mendaki gunung Latimojong
disarankan untuk menggunakan gelang rotan. Rotan merupakan symbol nenek moyang masyarakat duri yang bernama Janggo’ Riri dan Nenek Menga. Gelang
rotan menandakan orang tersebut bertamu dengan baik-baik. Dengan menggunakan
gelang rotan, “tamu” Latimojong akan terlindung dari gangguan penunggu maupun
makhluk halus dan dijauhkan dari malapetaka.
Burung dan Lebah
Masyarakat
setempat juga mempercayai bahwa apabila pendaki/tamu Latimojong mendengar
kicauan burung pada saat pendakian, itu berarti pertanda baik dan pendaki boleh
melanjutkan perjalanan. Sebaliknya bila yang didengar adalah suara lebah, itu
merupakan pertanda buruk yang berarti pendaki harus turun dan tidak melanjutkan
pendakian.
TIPS PENDAKIAN
1.
Waktu terbaik pendakian adalah April hingga November.
2. Sebaiknya datang di Baraka pada hari Senin atau Kamis mengingat angkutan
reguler hanya ada pada hari tersebut.
3. Logistik berupa sayur-sayuran dapat dibeli di pasar Baraka, daerah ini
juga merupakan sentra sayur-mayur (kol, kentang, jagung, bawang merah, bawang
prei, dll).
4. Jika kendaraan hanya sampai di Buntudea, pilihlah jalur Angin-angin dan turun lewat
Rantelemo ketika kembali.
5.
Laporkan aktivitas pendakian pada kepala dusun setempat (Dusun Karangan).
6. Banyak terdapat pacet di daerah pegunungan Latimojong terutama pada
musim hujan. Periksalah tubuh Anda saat beristirahat.
PERIZINAN
Untuk
untuk mendaki gunung ini, pendaki duwajibkan melapor kepada Kepala Dusun
Karangan (Ambe' Sinu) yang terletak di belakang masjid (data Agustus 2015) dan
mengisi buku tamu. Berdasarkan Peraturan Desa Latimojong, setiap pendaki
diwajibkan membayar biaya administrasi sebesar Rp. 5000. Jika anda membawa kendaraan,
dikenakan biaya Rp. 5000,00 per kendaraan.
KEBERADAAN PORTER
Kepala
dusun dan beberapa warga setempat dan anggota KPA sekitar kaki gunung biasanya
bersedia mengantar para pendaki.
OBJEK/TEMPAT MENARIK TERDEKAT
1.
Bambapuang
2.
Tebing Mandu/Tontonan
3.
Situs pemakaman Potok Ullin
4.
Situs pemakaman Dea Kaju
5.
Situs pemakaman Lunjan
6.
Gunung Nona/Buntu Kabobong
7.
Toraja
REKOMENDASI SUMBER DATA DAN INFORMASI
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-jokosoesil-26979
"MOHON MAAF JIKA TERJADI KESALAHAN DATA DAN INFORMASI SILAKAHKAN KE KOLOM KOMENTAR"
"MOHON MAAF JIKA TERJADI KESALAHAN DATA DAN INFORMASI SILAKAHKAN KE KOLOM KOMENTAR"
No comments:
Post a Comment