Sunday, June 13, 2010

PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL

BAB II
PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL

A. PERBUATAN PIDANA
1. Pengertian Perbuatan Pidana
Perilaku kita sehari-hari dipengaruhi oleh banyak norma yang tidak tercantum dalam undang-undang, yang kadang-kadang tidak diakui oleh hukum dan bahkan tidak diungkapkan, hanya sebagian norma-norma yang mengatur perilaku manusia adalah norma hukum, yaitu: yang oleh pembentuk undang-undang dimasukkan dalam ketentuan undang-undang dan diterapkan oleh hakim dalam persengketaan .
Dalam hal pembentuk undang-undang berketetapan untuk membuat suatu norma perilaku menjadi norma hukum untuk seluruhnya atau sebagian, maka yang sering terkandung dalam maksudnya adalah antara lain untuk memberi “perlindungan” kepada kepentingan umum yang berhubungan dengan norma itu, dan tentu saja perlindungan itu tidak mungkin mutlak, tetapi dapat diharapkan bahwa penentuan dapat dipidana itu akan membantu ditepatinya norma tersebut .
Terkait dengan perilaku manusia yang berdimensi publik yang ditetapkan oleh undang-undang dan ditentukan dalam aturan pidana. Aturan pidana itu adalah aturan hukum, sebagaimana diketahui aturan hukum berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum itu adalah baik atau jelek bagi masyarakat, dan sepatutnyalah jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam masyarakat .
Dalam ilmu hukum pidana, dijumpai beberapa istilah yang berhubungan dengan penyebutan terhadap perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat atau bisa dikatakan suatu perbuatan yang tercela, dimana pelakunya dapat diancam dengan pidana tertentu sebagaimana yang tercantum dalam peraturan hukum pidana baik di dalam KUHP atau di luar KUHP. Istilah-istilah yang dimaksud antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana, yang ketiga istilah tersebut sering dipergunakan oleh pembuat undang-undang. Dalam merumuskan undang-undang, sedang dalam KUHP (WvS) yang merupakan kopian dari KUHP Belanda dikenal istilah Strafbaar Feit, yang pada umumnya para pengarang Belanda menggunakan istilah tersebut.
Maksud diadakannya istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing Strafbaar Fiet. Namun dalam hal ini belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah Starafbaar Fiet itu dimaksudkan mengalihkan makna dari pengertiannya juga, dikarenakan sebagian besar karangan ahli hukum pidana belum jelas dan terperinci menerangkan pengerian istilah ataukah sekedar mengalihkan bahasanya . Untuk lebih memperjelas pengertian dan pemahaman mengenai istilah-istilah yang dipakai akan diuraikan berikut ini, sekaligus pemaparan para ahli pidana yang mendukung istilah-istilah yang dipakai:
a) Istilah peristiwa pidana
Istilah peristiwa pidana pernah digunakan dan dicantumkan dalam pasal 14 ayat 1 UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) 1950. Pengertian dari peristiwa pidana menurut Prof. Moelyatno kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak, karena peristiwa pidana menunjuk pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang, terhadap peristiwa tersebut tidak mungkin dilarang, tapi yang dilarang oleh hukum pidana adalah matinya orang karena perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut karena keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali bagi hukum pidana.
Menurut Utrecht , menganjurkan memakai istilah peristiwa pidana, karena “Peristiwa” itu meliputi suatu perbuatan (“handelen” atau “doen”-positif) atau suatu melalaikan (“Verzuim” atau “nalaten”, “niet-doen”-negatif) maupun akibatnya (= keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu). Jadi peristiwa pidana adalah peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum).
b) Istilah Perbuatan Pidana
Istilah perbuatan pidana merupakan istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Pengertian pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberi arti yang bersifaf ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Perbuatan pidana menurut Prof. Moeljatno adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, dan dalam hal tersebut diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Sehingga antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Jadi perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian.


c) Istilah Tindak Pidana
Istilah tindak pidana digunakan dan tercantum dalam pasal 129 Undang-undang No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstitusi dan anggota DPR, Undang-undang Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan dan pengertian tentang istilah-istialh yang dipakai, maka dalam hal ini penulis lebih cenderung menggunakan istilah perbuatan pidana, dikarenakan berdasarkan defenisi di atas, maka dapat dilihat bahwa istilah perbuatan pidana menunjuk pada suatu kejadian yang pelakunya adalah manusia yang merupakan salah satu subyek hukum pidana disamping korporasi (akan dibahas pada bab selanjutnya), sedangkan istilah peristiwa pidana menunjuk pada suatu kejadian yang mana pelakunya bisa manusia, alam, hewan dan lain-lain yang menurut penulis hal ini terlalu luas dan tidak masuk dalam kajian hukum pidana.
Hubungan antara perbuatan pidana dan Strafbaar Feit dalam lingkup kesamaan pengertian, dan dipakai dalam khasanah keilmuan hukum pidana, mempunyai perbedaan makna. yang walaupun perbuatan pidana merupakan pengalihan bahasa dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.
Strafbaar Feit dipergunakan dinegeri Belanda yang beraliran/paham monistis yang antar lain dikemukan oleh Simon yang merumuskan Simons yang merumuskan “Strafbaar Feit” sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Berdasarkan dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan unsur-unsur dari Strafbaar Feit meliputi baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut dengan unsur obyektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim disebut unsur subyektif dicampur menjadi satu, sehingga Strafbaar Feit sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap kalau terjadi Strafbaar Feit maka pelakunya pasti dapat dipidana .
Perbuatan pidana yang pokok pengertian harus mengenai Perbuatan, yang dalam hal ini tidak mungkin mengenai orang yang melakukan perbuatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Moeljatno di atas yang memisahkan antara perbuatan dan pembuatnya. Pokok pengertian pada perbuatan dan apakah inkonkrito yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana .
Tapi pada perkembangnya telah tumbuh pemikiran baru tentang Strafbaar Feit, yang menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos, telah tumbuh pemikiran tentang pemisahan antara “de strafbaarheit van heit feit” dan “de strafbaarheit van de dader”, dengan perkataan lain bahwa adanya pemisahan antara “perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana” dan orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana” yang dalam hal ini satu pihak tentang perbuatan pidana dan dipihak lain tentang kesalahan . Dengan adanya pemisahan antara perbuatan dan pembuatan merupakan termasuk aliran/pahal dualistis.
Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem KUHP terbagi dalam dua (2) jenis yaitu :
a) Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam KUHP yaitu pada pasal 362 tentang pencurian, pasal 378 tentang penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan kejahatan menurut ilmu kriminologi.
b) Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah politie-onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan dilarang oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam KUHP adalah: pasal 504 tentang pengemisan, pasal 489 tentang kenakalan, dan lain-lain.

2. Unsur-unsur Perbuatan pidana
Berdasarkan defenisi di atas tentang perbuatan pidana maka dalam hal ini dapat disimpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam perbuatan pidana. tapi dalam hal ini ada berbagai macam perbedaan dari para ahli hukum pidana sendiri terkait dengan unsur yang harus tercantum dalam perbuatan pidana. Ada sebagian pendapat yang membagi unsur perbuatan pidana secara mendasar dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli tersebut :
a) Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara mendasar yang terdiri dari:
1) Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana
2) bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana
Menurut Apeldoorn bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu, yang mengikuti rumusan unsur-unsur perbuatan pidana ini disamping Apeldoorn adalah Van Bemmelen
b) Pendapat yang memberikan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya menurut Vos di dalam suatu Strafbaar Feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu:
1) elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten)
2) elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiel
3) elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
4) elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
5) dan sederatan elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif misalnya di dalam pasal 160 diperlukan elemen dimuka hukum (in het openbaar) dan segi subyektif misalnya pasal 340 diperlukan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad)
Disamping itu menurut Hazewinkel Suringa memberikan rumusan mengenai Strafbaar Feit (perbuatan pidana) yaitu:
1) elemen kelakuan orang (een doen of een nalaten)
2) elemen akibat yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena pembagian delik formel dan matteriel
3) elemen psikis, seperti elemen dengan oogmerk, opzet, dan nalatifheid (dengan maksud, dengan sengaja, dan dengan alpa)
4) elemen obyektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen dimuka umum (in het openbaar)
5) syarat tambahan untuk dapat dipidannya perbuatan (bijkomende voorwaarde van strafbaarheid) seperti dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi
6) elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai elemen yang memegang peranan penting, seperti dalam pasal 167 dan 406.
Dengan melihat berbagai ragam pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana, yang pada intinya adalah sama dan telah mencakup semua yang telah ditetapkan berdasarkan pengertian dari perbuatan pidana. Maka dalam hal in kesemua unsur tersebut dapat diterapkan. Adapun baiknya kita juga melihat rumusan yang diberikan oleh Prof. Moeljatno yang membagi unsur-unsur perbuatan terdiri dari :
1. Kelakuan dan akibat
2. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana, misalnya pada rumusan pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana, yang dalam hal ini apabila seorang tersangka terbukti secara sengaja merencanakan suatu perbuatan yang direncanakan, maka disitulah letak pemberatnya
4. Unsur melawan hukum yang obyektif, yaitu menunjukkan keadaan lahir dari pelaku;
5. Unsur melawan hukum subyektif, yaitu menunjukkan sikap batin dari pelaku.
Esensi dari unsur-unsur perbuatan pidana adalah yang pokoknya berwujud suatu kelakuan (+ akibat) yang bersifat melawan hukum baik formal maupun material. Unsur melawan hukum dalam hal ini bagi pembentuk undang-undang ada yang menyebutkan “melawan hukum” ini dalam rumusannya dan ada juga yang tidak disebutkan “melawan hukum” dalam rumusannya, namun semua berpendapat bahwa melawan hukum adalah selalu menjadi unsur dari delik. Tapi tidak semua berpendapat bahwa melawan hukum merupakan unsur suatu delik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hezewinkel Suringa yang menyatakan unsur melawan hukum merupakan unsur delik apabila undang-undang menyebutkan dengan tegas sebagai unsur delik, tapi bila undang-undang tidak menyebutkan dengan tegas sebagai unsur delik maka melawan hukum hanya sebagai tanda dari suatu delik, menurutnya konstruksi tersebut menguntungkan jaksa karena jaks tidak perlu membuktikan adanya unsur melawan hukum. karena membuktikan unsur melawan hukum merupakan sesuatu yang negatif, yaitu pembuktian yang sukar tentang tidak adanya alasan pembenar, dengan demikian jaksa hanya cukup membuktikan unsur-unsur dari isi delik .
Pendapat yang menyatakan melawan hukum merupakan unsur dari suatu delik atau diam-diam menganggap sebagai unsur delik berarti mempunyai alam pikiran yang luas, yaitu :
1. Lebih mudah menerima pandangan sifat melawan hukum materiel.
2. Sifat melawan hukum merupakan elemen tetap dari tiap-tiap delik meskipun tidak disebutkan dalam rumusan.
3. Dapat mengakui pengecualian sebagai penghapusan sifat melawan hukum di luar undang-undang atau hukum positif tidak tertulis.
4. Untuk mengadakan pembuktian melawan hukum oleh penuntut umum, hanyalah apabila dalam rumusan suatu delik dirumuskan dengan tegas.
5. Apabila elemen melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, maka tidak perlu dibuktikan, kecuali menurut pandangan hakim ada keragu-raguan unsur tersebut sehingga di dalam sidang atas inisiatif pimpinan dicari pembuktiannya elemen melawan hukum tersebut.
Dalam hal hakim ragu-ragu maka dalam hal unsur melawan hukum tidak ternyata dalam pembuktian persidangan berarti elemen tidak terpenuhi dan tidak terbukti delik yang dituduhkan, maka tepat jika putusan hakim akan dibebaskan dari segala tuduhan.

3. Bentuk-bentuk Perumusan Perbuatan Pidana Dalam Undang-undang
Suatu perbuatan pidana sebelum dinyatakan dalam suatu aturan pidana dalam hal perundang-undangan maka perbuatan tersebut sebelum dinyatakan sebagai perbuatan pidana, ini memenuhi ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan dilakukan”. Jadi walaupun perbuatan secara unsur yang seperti disebutkan di atas telah terpenuhi tapi tidak dituangkan dalam undang-undang maka tidak mempunyai kekuatan yang mengikat semua pihak.
Adapun tujuan dengan dirumuskan dan dituangkan dalam undang-undang adalah sebagai langkah preventif baik secara umum (kepada Masyarakat) dan preventif Khusus (kepada pelaku perbuatan pidana) serat bertujuan refresif kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan yang dicelakakan kepadanya.
Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya berbagai kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknis-yuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Kategori pertama
a) Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akibat yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
b) Perumusan materiel, yaitu yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung di dalamnya, contoh : pasal 359 KUHP tentang menyebabkan matinya orang lain.
c) Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akibat dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: pasal 378 KUHP tentang penipuan.
2. Kategori kedua
a) Delik Komisi, adalah apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian
b) Delik Omisi, adalah kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain adalah melanggar norma yang memerintahkan delik omisi
c) Delik omisi semu, adalah menyebabkan menimbulkan akibat karena lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan karena bisa meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: pasal 338 KUHP terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak memberikan makan kepada bayinya dan akhirnya meninggal.
Dalam metode perumusan ada beberapa pendapat tentang metode perumusan delik, diantaranya: menurut pendapat Jonkers yang mengenal empat metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas :
1. yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya pasal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari KUHP.
2. dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti pasal 263, 362, 372, 378 dari KUHP
3. cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan pasal 351, dan pembunuhan pasal 338 dari KUHP
4. kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal 521 dan pasal 122 ayat (1) dari KUHP.
Adapun Vos yang mempunyai kesamaan pendapat dalam memberikan metode perumusan delik dengan Jonkers, mengenal tiga macam perumusan delik, diantaranya :
1. Rumusan yang merupakan bagian-bagian dari delik, misalnya pasal 362, 372 dan lain-lain dari KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi
2. Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik, sebagai contoh: pasal 351 tentang penganiayaan dan pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, dari KUHP
3. Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana, misalnya 122, 564, 566 dari KUHP.
Dengan dicantumkan berbagai macam rumusan delik seperti disebutkan di atas, maka sekiranya tidak ada perbedaan karena kesemuan rumusan tersebut dipergunakan dalam rumusan undang-undang khususnya KUHP.
Perumusan delik dalam aturan hukum tersebut bersifat umum, yang ditetapkan bukanlah untuk seseorang tertentu, melainkan untuk semua orang dan selanjutnya aturan hukum itu tidak berhenti berlaku apabila ia telah diterapkan karena suatu kejadian tertentu melainkan dapat diterapkan lagi setiap kali ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan aturan hukum tersebut.

B. Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal
1. Pengertian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
Untuk mendefinisikan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, menurut penulis dibutuhkan ketelitian dan kejelasan yang tegas, karena mengingat kata massal dalam khasanah keilmuan hukum pidana tidak dikenal dan hanya merupakan Bahasa yang timbul dan hidup di masyarakat sebagai realitas sosial.
Menurut hemat penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal terdiri dari dua pengertian yang dirangkaikan menjadi satu yaitu pengertian perbuatan pidana dan pengertian massal.
Pada bab sebelumnya telah dikemukakan tentang pengertian dari perbuatan pidana (yang mana istilah perbuatan pidana yang digunakan penulis dalam tulisan ini, dan bukan tindak pidana atau peristiwa pidana) yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, dimana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut dan perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan / kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian ini .
Kata massal menurut kamus ilmiah populer adalah dengan cara melibatkan banyak orang; bersama-sama; secara besar-besaran (orang banyak) . Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa massal adalah sekumpulan orang banyak yang terdiri dari satu orang lebih yang tanpa batas berapa banyak jumlahnya.
Jadi berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak/lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas.
Dengan melihat definisi tersebut, menurut analisa penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal juga dapat dikatakan perbuatan pidana yang dilakukan secara kolektif, karena dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini dengan jumlah yang banyak/lebih dari satu orang dimana secara langsung maupun tidak langsung baik direcanakan ataupun tidak direncanakan telah terjalin kerjasama baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam satu rangkaian peristiwa kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana, atau lebih spesifik menimbulkan/ mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun non fisik.
Adapun karena perbuatan pidana yang dilakukan secra massal disyaratkan harus adanya kerjasama baik direncakan ataupun tidak direncanakan tetap jasa dalam melakukan kerjasama tersebut disadari terjadinya dan dikehendakinya perbuatan tersebut, oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat dikatakan sebagai delik dolus karena dilakukan dengan sengaja. Karena tidak mungkin adanya kerjasama apabila tidak disengaja.
Menurut para ahli perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang mengakibatkan kerusakan fisik maupun non fisik dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam hal ini baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik/mengakibatkan kematian pada seseorang (definisi yang sangat luas sekali, karena menyangkut pula “mengancam” di samping suatu tindakan nyata) .
Dengan melihat definisi tentang kekerasan tersebut maka dalam pidana yang dilakukan secara massal masuk dalam kategori kekerasan kolektif (Collective Violeng). Biasanya tindakan massa tersebut disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu :
1. Anonimitas adalah memindah identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok.
2. Impersonalitas adalah hubungan antara individu di luar massa maupun di dalam massa menjadi sangat impersonal
3. Sugestibilitas adalah sifat sugestif dan menularnya.
Dengan mendasarkan ciri-ciri kerumunan massa di atas kemudian dikomparasikan dengan realitas yang ada tidak semua ciri-ciri tersebut mutlak terdapat pada semua gerakan/kerumunan massa lebih dari satu orang dan ciri-ciri tersebut bersifat kumulatif, artinya untuk ciri anonimitas dan sugestibilitas bisa jadi terdapat pada sebuah kelompok massa tapi tidak untuk impersonalitas atau sebaliknya.
Adapun yang menjadi catatan bagi penulis dalam hal ini adalah antara perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak ada perbedaan yang signifikan dengan perbuatan pidana yang biasa kita kenal (dilakukan) orang seorang, hanya saja yang membedakan adalah subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak/lebih dari satu orang. Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait dengan tindakan hukum dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan .
Pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal untuk menentukan batas maksimal dari jumlah massa sulit, sebagaimana pengertian dari kata “massa” adalah dua orang untuk minimal dan tidak terbatas untuk maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa yaitu, massa yang jelas berapa jumlah massanya dan massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya
Untuk massa yang jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat perbuatan pidana dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum pidana yaitu pada delik penyertaan (diuraikan lebih lanjut pada bab III).
Sedangkan untuk massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung dengan nominal, sehingga menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang banyak terlibat semua atau tidak, atau hanya sebagiannya saja.
Jadi dalam tulisan ini fokus pembahasan adalah pada massa yang tidak jelas berapa besar jumlah massa serta nominal dari massa yang terlibat dalam melakukan perbuatan pidana.
Jadi berdasarkan uraian di atas tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hal ini bukan hanya sebatas pada kerusuhan massal, amuk massa pengeroyokan dan lain-lain yang dilakukan di depan umum tetapi juga mencakup semua rumusan perbuatan pidana/kejahatan tertuang di dalam KUHP diantaranya pembunuhan, pencurian, perkosaan, penipuan dll.

2. Bentuk-bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
Dengan mengacu pada definisi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasan dititik beratkan pada kata “massal” .
Jadi berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih dan tidak terbatas maksimalnya. Maka berdasarkan hal tersebut perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.
Massa yang terorganisir adalah dimana dalam melakukan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, massa yang berbuat terbentuk secara terorganisir. Umumnya pada bentuk massa ini dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengerahkan bagaimana dan sejauhmana massa harus bertindak. Tindakan yang dilakukan ditujukan untuk mencari keuntungan (material) secara kelompok dan dilakukan secara ilegal (melanggar hukum) .
Pada bentuk yang pertama ini massa berbuat dalam melakukan perbuatan pidana dilakukan dengan kerjasama secara fisik dan non fisik (artinya kerjasama dalam menentukan rencana yang akan dijalankan pada saat beraksi), sertadisadari dan dikehendaki terjadinya. Massa pada bentuk ini bergerak secara sistematis dan terkordinasi satu sama lainnya dan berada dibawah satu komando, yang umumnya memiliki pemimpin atau ketua sebagai motor penggeraknya. Pemimpin atau ketua mempunyai tanggungjawab yang besar dan penuh terhadap semua anggotanya selama masih dibawah kewenangannya.
Pada bentuk massa yang terorganisir dalam pembentukkannya dapat terbentuk melalui 2 cara yaitu:
a. Massa yang terbentuk secara terorganisir melalui organisasi, adalah mempunyai ciri-ciri yaitu: memiliki identitas/nama perkumpulan, memiliki struktur organisasi, memiliki peraturan yang mengikat anggotanya, memiliki keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented.
b. Massa yang terbentuk secara terorganisir tidak melalui organisasi, adalah massa yang terorganisir hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya, dan spontan dibentuk untuk melakukan perbuatan pidana, dan apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka langsung bubar.
Pada bentuk yang pertama ini dalam melakukan perbuatan pidana menurut Tb Ronny Nitibaskara memiliki 3 (tiga) jenis perbuatan pidana atau bahasa yang sering digunakan adalah kekerasan massa (dapat dipersamakan dengan kekerasan kolektif), adapun jenis tersebut, yaitu:
a. Kekerasan massal primitif, adalah yang pada umumnya bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan, tawuran sekolah.
b. Kekerasan massal reaksioner, adalah umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Contoh : ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa karena disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp. 400 menjadi Rp. 800 yang terjadi di Bandar Lampung tahun 1996).
c. Sedangkan kekerasan kolektif modern, merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.
2. Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir
Massa yang terbentuk tidak secara terorganisir adalah massa yang melakukan sebuah reaksi terbentuk secara spontanitas tanpa adanya sebuah perencanaan terlebih dahulu. Pada jenis massa ini jauh lebih gampang berubah menjadi amuk massa (acting mob) (korupsi). Adapun tindakan tentang dilakukan merupakan bentuk dari upaya untuk menarik perhatian dari publik maupun aparat penegak hukum atas kondisi sosial yang kurang memuaskan dengan cara yang ilegal .
Pada bentuk kedua ini walaupun massa dalam melakukan perbuatan pidana dengan bersama-sama yang artinya adanya kerjasama, tapi dalam kerjasama yang dilakukan terjadi dengan tanpa rencana sebelumnya dan kerjasamanyapun hanya sebatas pada kerjasama fisik saja tidak non fisik.
Jadi massa yang terbentuk tidak secara terorganisir dalam melakukan perbuatan pidana tergerak untuk bereaksi dikarenakan adanya kesamaan isu dan permasalahan yang dihadapi, dan dalam melakukan aksinyapun tidak memiliki pemimpin atau ketua sebagai sebagai yang mengkordinir bergeraknya massa, dalam hal ini yang menjadi pemimpin adalah diri pribadi masing-masing dari anggota massa yang ada.

3. Faktor penyebab perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Dalam kasus-kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir, memiliki motif dan maksud yang lebih kompleks. Motif dan maksud memiliki makna yang berbeda, “motif” hanya menjelaskan tentang latar belakang perbuatan yang dilakukan seseorang. Jadi sifatnya menjawab pertanyaan mengapa pelaku berbuat, sedangkan “maksud” bermakna menjelaskan tentang apa yang hendak dicapai oleh pelaku dengan perbuatannya, jadi lebih menerangkan pada tujuan tertentu dari suatu perbuatan .
Menurut Romli Atmasasmita dengan melihat fenomena kejahatan, kekerasan khususnya dalam hal ini perbuatan pidana yang dilakukan secara massal cukup banyak terkandung perbedaan dalam motif dan maksudnya. Selain itu, perbuatan pidana massal ini juga melahirkan bentuk-bentuk tindakan/perbuatan yang bervariatif dan kompleks sehingga sangat sulit untuk menentukan kuasa kejahatan .
Jadi karena sulit dan kompleksnya penyebab/faktor yang melatarbelakangi suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, sehingga tidak ada yang mutlak atau dapat disamakan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain tentang hal-hal apa yang melatarbelakanginya.
Dalam menentukan suatu kausa kejahatan hukum pidana dalam hal ini tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka dibutuhkan ilmu-ilmu bantu yang relevan dalam hal ini dari segi sosiologi, kriminologi dan psikologi. Dengan mendasarkan pada ilmu-ilmu tersebut maka faktor penyebab terjadinya perbuatan pidana massal adalah :
a. Segi sosiologi
Menurut Setiadi (1999) berbagai peneliti sosial seprti Levinson (1994), Segal, Dasery, Berry, Poortinga (1990), dan Triardis (1994), pada umumnya menemukan bahwa kekerasan kolektif disebabkan oleh karena terjadinya ketidakpuasan atau konflik antara kelompok-kelompok dalam suatu bangsa/Negara, dan biasanya berkaitan dengan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik yang ada .
Pada intinya, ada kelompok yang mengalami relative deprivation, yaitu perasaan tidak puas yang didasari keyakinan bahwa kelompoknya mendapat lebih sedikit dari yang sepantasnya diperoleh. Dalam hal ini bukan kelompok yang paling tertekan yang akan terlibat dalam kekerasan kolektif, tetapi mereka yang yakin bahwa mereka seharusnya dan dapat memperoleh yang lebih baik hal itu kadang-kadang disertai dengan tidak adanya kepercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku.
b. Kriminologi
Dari imu kriminologi perbuatan pidana massal ini, dalam ilmu krimonologi dikenal dengan kekerasan kolektif dapat dijelaskan dengan menggunakan Social Control Theory (Teori Kontrol Sosial).
Pengertian “Teori Kontrol”/“Control Theory” menunjuk kepada setiap perpektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu pengertian “Teori Kontrol Sosial” atau “Social Control Theory” menunjuk kepada pembahasan dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain keluarga, pendidikan, kelompok dominan.
Pada dasarnya teori ini tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum/mengapa orang taat kepada hukum.
Teori ini muncul disebabkan oleh 3 (tiga) ragam perkembangan dalam kriminologi yaitu
1. Adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal, kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal).
2. Munculnya studi tentang “Criminal Justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.
3. Teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.
Perkembangan awal teori “kontrol sosial” dipelopori oleh Durkheim pada tahun 1895. Teori ini dapat dikaji dari 2 perspektif yaitu :
1. Perspektif makro, atau Macrosociological Studies menjelajah sistem-sistem format untuk mengontrol kelompok-kelompok, sistem formal tersebut antara lain :
a. Sistem hukum, UU, dan penegak hukum
b. Kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat.
c. Arahan-arahan sosial dan ekonomi dari pemerintah/kelompok swasta adapun jenis kontrol ini bisa menjadi positif atau negatif. Positif apabila dapat merintangi orang dari melakukan tingkah laku yang melanggar hukum, dan negatif apabila mendorong penindasan membatasi atau melahirkan korupsi dari mereka yang memiliki kekuasaan.
2. Perspektif mikro atau microsociological studies memfokuskan perhatian pada sistem kontrol secara informal. Adapun tokoh penting dalam pespektif ini adalah Travis Hirschi dengan bukunya yang berjudul Causes of Delingvency, Jackson Toby yang memperkenalkan tentang “Individual Commitment” sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kontrol sosial tingkah laku.
Salah satu teori kontrol sosial yang paling handal dan sangat populer dikemukakan oleh Travis Hirschi pada tahun 1969. Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond. Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality, dan seseorang bebas untuk melakukan kejahatan/penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat.
Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya begitu .
Menurut Travis Hirschi terdapat 4 elemen ikatan sosial (social bord) dalam setiap masyarakat, yaitu :
a. Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, dan apabila attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Attachment diartikan secara bebas dengan keterikatan, ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan dengan teman sebaya.
b. Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Karena dengan komitmen akan mendapatkan manfaat bagi orang tersebut dikarenakan kegiatan yang diikutinya. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya.
c. Invoiverment merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderunagan untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah apabila orang aktif disegala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut.
d. Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut.
c. Segi Psikologi
Menurut Soetandyo Wigh Josoebroto luapan emosi massa yang terjadi saat ini disebabkan oleh rasa frustasi. Sikap ini muncul karena gagal terpenuhinya ekspektasi, yang terlanjur dipasang tinggi dalam banyak lapangan kehidupan dan menurutnya karena frustasi orang gampang kehilangan akal, perilaku orang menjadi lebih ekspresif dan brutal serta jauh dari tindakan rasional.
Dalam realita yang terjadi di lapangan menurut Soetandyo massa yang mengamuk sulit dikuasai, hal tersebut karena luapan emosi massa itu bekerja dalam suatu proses psikologis yang sirkular dengan efek spiral. Dikatakan sirkular karena ditengah-tengah emosi manusia menular dan menjalar secara berkeliling, berulang-alik dari suatu individu ke individu yang lain. Sedangkan berefek spiral, karena lampiasan emosi para individu yang tengah membiarkan dirinya larut dalam massa, akan menjalar dan menular secara berkeliling dan berulang-ulang dengan efek yang kian lama kian intens.
Jadi dengan melihat faktor-faktor yang mendorong terjadi perbuatan pidana massal tersebut baik dari segi ilmu sosiologi, kriminologi dan psikologi tidak merupakan hal yang mutlak dan mengikat untuk diterapkan pada peristiwa-peristiwa atau motifnya adalah kekuasaan dan maksud pelakunya adalah keinginan untuk menggantikan kekuasaan dan hal tersebut tentu berbeda dengan konflik horisontal, motifnya tidak jauh dari persoalan “kecemburuan sosial”. Sedangkan maksudnya bisa bermacam-macam ada yang menginginkan “pihak lawan” tidak lagi “mengganggu” kepentingan/keyakinan atau ideologi kelompok yang lain untuk menguasai ladang pekerjaan tertentu.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan juga faktor-faktor lain dari perspektif lain yang menjadi latar belakang terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yaitu menurut Dr. Solehudin dosen dari UBARA Surabaya mengamati kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pada pasca reformasi beberapa tahun terakhir ini, paling sedikit terdapat 5 faktor penentu yang saling terkait. Setiap faktor, bila tidak melibatkan faktor yang lainnya, kemungkinan besar tidak akan melahirkan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, adapun faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Pendorong struktural
Pendorong struktural (structural conduciveness) yaitu kondisi struktural masyrakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya kekerasan. Kataklisme dalam bentuk kekerasan, bukan semata-mata akibat lemahnya kesadaran hukum. Beberapa kondisi struktural tersebut yang kini merebak di kalangan masyarakat kita adalah: terjadinya krisis nilai, norma, struktur, sumber daya dan krisis budaya malu. Dalam situasi kekinian Indonesia, tidak hanya hukum yang mengalami krisis wibawa, tapi juga seluruh sistem sedang mengalami disorientasi. Kekerasan kolektif dapat dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur yang ada dalam masyarakat. Sumber-sumber cultur terletak pada berseminya sub budaya kekerasan antara lain yang mendukung kekerasan
2. Ketegangan struktural
Ketegangan struktural (struktural strain) merupakan kondisi ketegangan yang diakibatkan oleh kenyataan struktur masyarakat, seperti ketidakpastian, penindasan, konflik dan kesenjangan yang potensial bagi timbulnya kekerasan kolektif, salah satu yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik politik.
3 Penyebaran kepercayaan umum
Pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum merupakan proses ketika ketegangan struktural sudah dirasakan sebagai realitas, yang kemudian disebarluaskan menjadi kepercayaan umum. Benang merah dari peristiwa kekerasan kolektif, sedikit banyak terkait dengan proses penularan kekerasan dengan wabah seperti penyakit menular, hal tersebut sebagai berkat media massa yang selain efektif untuk menyebarkan informasi yang mencerdaskan masyarakat, tetapi juga untuk proses pembelajaran kekerasan.
4. Faktor pencetus
Merupakan faktor situasional yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum tentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya perilaku kolektif. Faktor ini diawali oleh penyebaran kepercayaan umum, yaitu sesuatu yang menunjuk ketegangan.
5. Kesempatan
Adalah suatu keadaan yang memudahkan bagi terjadinya kekerasan kolektif, keadaan tersebut meliputi pertemuan fisik (massa berhadap-hadapan pada suatu area terbuka), mobilisasi peran dan kurangnya pengendalian formal maupun non formal.

4 Dampak terhadap korban perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
Pada prinsipnya sesuai dengan tujuan hukum pidana sebagai hukum publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan masyarakat sebagi suatu kolektivitet dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun sekelompok orang (suatu organisasi). Berbagi kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat
Jadi yang dilindungi hukum pidana secara spesifik di antaranya jiwa, lebih harta, kehormatan dan lain-lain, yang mana dengan dilanggarnya hukum pidana berarti telah merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat sehingga secara logika siapa yang merusak tatanan tersebut maka berkewajiban untuk memperbaiki seperti sedia kala.
Dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir pasti memberikan dampak yang negatif baik yang langsung atau tidak langsung pada korbannya ataupun akibat yang ditimbulkan baik dalam lingkup yang kecil atau luas.
Berbicara tentang korban akibat kejahatan merupakan salah satu kajian tentang korban-korban dalam hal ini bukan hanya korban kejahatan saja tetapi juga korban akibat abuse of power, dan lain-lain. Pada awalnya kajiannya terhadap korban diartikan secara luas, baik korban akibat perbuatan manusia maupun yang bukan perbuatan manusia (misalnya bencana alam) sebagi bagian dari tanggung jawab sosial dan dilakukan dalam rangka untuk melakukan penyembuhan (freatment) dan kajian terhadap korban bersifat kemanusiaan (humanistic) oleh karena itu maka pendekatan dilakukan bersifat lintas disiplin ilmu yang mengkaji tentang manusia .
Tapi dalam tulisan ini yang menjadi kajian adalah korban akibat kejahatan dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dan akan ditinjau secara umum oleh penulis. Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri 1 orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, mereka-mereka disini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah
Menurut Muladi korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagi akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah tergantung sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan . Karena korban kejahatan merupakan orang yang dirugikan dalam hal ini bukan saja secara fisik dan juga mengalami penderitaan sosial psikologik yang tidak ringan. Tidak jarang justru kondisi sosial psikologik ini akan lebih memperberat penderitaan seorang victim meskipun kondidi fisiknya sudah dipulihkan secara medis, tapi secara psikologi hal tersebut bisa menjadi traumatik yang berkepanjangan bagi korban, sebagai contoh korban pemerkosaan.
Pada kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal di depan umum, akibat yang ditimbulkan luas bukan saja hanya pada korban langsung tapi juga fasilitas umum yang rusak serta berdampak juga pada masyarakat umum dan hal ni semua membutuhkan perhatian bukan hanya saja dari para pelaku tapi juga negara dan masyarakat itu sendiri.
Hal tersebut dikarenakan secara sosiologis menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat semua warga negara harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (System of Institutionalized Trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak akan berjalan dangan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku dan kepercayaan ini terdapat melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur organisasional seperti polisi, jaksa, pengadilan dan sebagainya
Argumentasi lain kenapa korban kejahatan dalam hal ini perlu dilindungi karena berdasarkan argumen kontrak sosial (Social Contrack Argument) dan argumen solidaritas sosial (Social Solidarity Argumen). Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tinakan yang bersifat pribadi, oleh karena itu kejahatan terjadi dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Sedangkan argumen kedua menyatakan bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya, atau apabila warga negaranya mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasar/menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
Jadi hal tersebut yang salah satunya mendasari kenapa permasalahan korban kejahatan perlu diatur dalam hukum positif khususnya di Indonesia. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung” artinya dengan adanya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, pada hakikatnya telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak korban.
Dikatakan “in abstracto” dikarenakan perbuatan pidana dalam hukum pidana positif tidak dilihat sebagi perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggar-pelanggar norma/tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korbanpun tidak langsung dan “in concreto” tetapi hanya “in abstracto”, atau hanya dengan kata lain sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit tetapi hanya perlindungan korban tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret tetapi lebih tertuju pada pertanggung jawaban yang bersifat pribadi/individual.
Dalam hal tertentu, hukum pidana positif (material/formal) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung, antara lain terlihat dalam ketentuan-ketentuan :
1. KUHP, yaitu pada pasal 14 c KUHP dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat. Dalam hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana unutk “mengganti kerugian” (semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. Penetapan ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktek karena mengandung kelemahan antara lain:
a. Penetapan ini tidak bisa diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok. Penetapan ini hanya dapat digunakan apabila hakim bermaksud manjatuhkan pidana bersyarat, jadi hanya sebagai “syarat khusus” untuk tidak dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana.
b. Penetapan khusus berupa ganti rugi inipun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun/pidana kurungan.
c. Syarat khusus berupa ganti rugi inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.
2. KUHAP, Bab XIII (Pasal 98 – Pasal 101) KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana. Dalam putusan, hakim berwenang menetapkan hukuman-hukuman “penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (korban)”. Ketentuan inipun memberikan perhatian terhadap korban dalam perkara perdata dan perlu dicatat bahwa penggantian biaya disini tetap bersifat keperdataan, bukan sebagai sanksi pidana.
Oleh karena itu dipergunakan istilah “penggabungan” (voeging) dan gugatan tersebut menjadi perkara asefoir. Korban harus berinisiatif mengajukan sendiri atau memberi kuasa khusus menuntut ganti kerugian melalui prosedur penggabungan sampai sebelum jaksa mengajukan tekisitor. Dalam prakteknya hal ini hanya dibatasi pada pembayaran terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kejahatan dan dilaksanakan setelah perkara pidananya mempunyai kekuatan hukum tetap, dan apabila terdakwa mampu membayar maka tidak dapat dialihkan kepada pihak lain .
Dengan melihat ganti kerugian yang hanya sebatas ongkos yang telah dikeluarkan oleh korban, sesungguhnya tidak layak dibandingkan dengan penderitaan korban. Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang dikeluarkan untuk kerugian, dan kerugian immateriil yang justru paling lebih berat dialami oleh korban tidak dapat dimintakan ganti kerugian melalui prosedur pidana .
Selama ini konstitusi kita dalam hal perlindungan korban kajahatan hanya sebatas ganti rugi saja. Tetapi hal tersebut juga dalam prakteknya belum maksimal dan memuaskan bagi pihak korban ditambah lagi eksistensi keberadaan korban dalam sistem peradilan pidana kita dikatakan sebagai “orang yang terlupakan” karena hukum pidana secara terencana dan sistematik meninggalkan korban kajahatan. Negara mengambil alih semua reaksi terhadap kejahatan dalam rangka untuk proses yang adil bagi pelanggar . Selama ini yang dianggap sebagai pencari keadilan adalah pelaku kejahatan, padahal korban yang merupakan pihak dirugikan baik materiil maupun immateriil.
Kebijakan terhadap korban kajahatan adalah kebijakan penyeimbang (balance ) dalam rangka untuk memberikan pengayoman dan keadilan kepada semua orang, bukan mengutamakan (priority) keadilan bagi pelanggar saja dan mengabaikan keadilan bagi korban, atau sebaliknya mengutamakan korban kejahatan dan mengabaikan pelanggar, tetapi memberikan perlindungan hukum dan keadilan kepada keduanya (pority)
Dengan melihat eksistensi korban kejahatan dalam sistem peradilan, padahal secara logika korban inilah yang membutuhkan perlindungan dan perhatian dari para pihak terhadap kondisi yang dialami disamping pelanggar. Hal tersebut berakibat karena kejahatan adalah melanggar kepentingan publik dan reaksi terhadap kejahatan adalah menjadi monopoli. Negara sebagai representasi publik/masyarakat dan pandangan tersebut mendominasi dalam praktek penegakan hukum sehingga mengakibatkan terlanggarnya hak akibat kejahatan terabaikan ditambah lagi hubungan antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa sebagai hubungan tidak langsung (indirect) yang tidak menimbulkan akibat hukum. Dalam hal ini korban hanya ditempatkan sebagai sanksi di pengadilan .
Apabila hubungan tersebut dihubungkan dengan realita yang terjadi pada pelaku perbuatan pidana massal yang pelakunya lebih dari satu orang bahkan bisa mencapai puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang, dan hal ini menyebabkan kesulitan pada penegakan hukumnya. Peran serta korban juga kecil dalam pelibatannya untuk menentukan pelaku sehingga yang seharusnya bagi korban adalah pelaku A ditangkap tapi tidak ditangkap tapi sebaliknya pelaku B yang ditangkap. Hal tersebut bisa mengakibatkan rasa yang tidak aman dan nyaman bagi korban karena baginya pelaku masih berkeliaran dan hal ini bisa saja mengancam korban di depan hukum dalam mencari keadilan .
Disisi lain ada berbagai alasan yang dikemukakan dan yang terutama berkisar pada kenyataan tidak adanya laporan korban tentang peristiwa yang dialaminya, antara lain sebab-sebab yang dikemukakan adalah (Steven Box, 1981).
1. korban mengetahui bahwa dia menjadi korban, tetapi tidak bersedia melapor karena :
1) menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporannya;
2) menganggap bahwa peristiwa itu merupakan “urusan pribadi”, karena :
a. akan menyelesaikannya lansung di luar pengadilan dengan si pelaku (“extra-judicial”);
b. merasa malu dan tidak bersedia menjadi saksi di polisi maupun pengadilan (misalnya dalam kejahatan kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohannya)
2. korban tidak mengetahui bahwa dia telah menjadi korban suatu peristiwa kejahatan (misalnya dalam penipuan yang dilakukan secara halus dan dalam kasus penggelapan uang atau barang yang dilakukan secara “rapih”)
3. korban yang sifatnya abstrak (“abstract victim”) dan karena itu sukar ditentukan secara khusus dan jelas (misalnya “masyarakat pembeli barang”);
4. korban mengalami peristiwa kejahatan karena sendiri telibat dalam kejahatan (“victims of their own criminal activity”);
5. secara “resmi” tidak terjadi korban, karena kewenangan “diskresi polisi” untuk menentukan peristiwa apa dan mana yang merupakan kejahatan (hal ini menyangkut kebijakan dalam penegakan hukum).
Hal tersebut di atas mengakibatkan menurut para ahli merasakan bahwa statistik kriminal resmi tidak dapat mencerminkan gejala kriminal yang terdapat dalam masyarakat dan keadaan ini biasanya disebut sebagai “angka gelap kejahatan” (dark number of crime).
Dengan minimnya eksistensi korban kejahatan dalam sistem peradilan kita, tetapi secara ideal korban kejahatan dalam hal ini mempunyai peranan serta hak dan kewajiban dimana diantaranya :
1. Hak :
a. si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf kebaikan (partisipasi) peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi dan penyimpangan tersebut.
b. berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya).
c. berhak mendapat kompensasi. Untuk ahli warisnya bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
d. berhak mendapat kembali hak miliknya.
e. berhak menolak menjadi saksi bila ini akan membahayakan dirinya.
f. berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi.
g. berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum.
h. berhak mempergunakan upaya hukum (reactmiddelent)
2. Kewajiban :
a. tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembahasan (main hakim sendiri)
b. berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi.
c. mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun orang lain.
d. ikut serta membina korban.
e. bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
f. tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban.
g. memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil/bertahap/imbalan jasa).
h. menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.
Jadi dengan adanya hak dan kewajiban tersebut diharapkan akan tercipta keadilan yang seimbang (balance) antara pelanggar dan korban, walaupun sebenarnya sampai saat atau detik ini korban kejahatan masih menjadi “orang yang terlupakan”, agar apa yang dicita-cita bersama hendaknya dapat tercapai maka dalam disertasinya Dr Mudzakkir menyatakan ada atau hal cara memberdayakan posisi atau hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan yaitu :
1. menetapkan hak-hak dasar korban kejahatan dalam hukum pidana digali dari sistem hukum nasional dan mempertimbangkan hak-hak korban kejahatan yang diakui oleh masyarakat internasional, hak tersebut antara lain diperlakukan dengan penuh perhatian, tanggapan, dan penghargaan, hak menyampaikan informasi dan pendapat, memperoleh informasi, restitusi dan kompensasi, memperoleh bantuan dan perlindungan, serta keadilan.
2. melalui praktek penegakan hukum sehari-hari tanpa campur tangan legislatif dengan cara memberi perspektif baru yaitu perspektif korban kejahatan.
3. kebijakan pembaharuan hukum pidana materiil dan formil yang berorientasi pada korban kejahatan dengan memberi landasan filosofis dan asas-asas sebagai pengkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana.
4. kebijakan terhadap korban kejahatan pada tahap proses :
1) tahap pra-adjudikasi, yaitu dengan menggunakan perspektif korban yang dijadikan dasar kewenangan hukum bagi polisi dan jaksa untuk menindak pelanggar.
2) Tahap adjudikasi, yaitu korban kejahatan diberdayakan dalam sistem peradilan pidana dan memiliki hak bicara (right to speak) di pengadilan untuk menyampaikan pengaruh kejahatan dan aspirasinya tentang pidana yang tidak dijatuhkan kepada terdakwa
3) Tahap paska-adjudikasi, yaitu pelaksanaan keputusan pengadilan berupa pengabulan tuntutan ganti kerugian menjadi tanggung jawab pribadi penggugat (korban) berdasarkan konsep-konsep penggabungan perkara-perkara dan juga pada pelaksanaan program pemasyarakatan dijadikan sarana untuk melanjutkan rekonsiliasi antara pelanggar dengan korban dan masyarakat di tempat mana kejahatan dilakukan.

5. Penegakan hukum terhadap perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massa pada prakteknya sangat sulit dalam melakukan penegakkan hukumnya, yang mana tulisan ini membahas terhadap jumlah massa yang tidaka jelas berapa banyaknya yang terlibat, dan hal ini menjadi permasalahan khususnya bagi aparat penegak hukum adalah bagaimana berlaku adil terhadap setiap pelaku perbuatan pidana massal. Artinya penegakan hukum seperti apa ?, tindakan hukum seperti apa ? dan bagaimana memberi sanksi yang adil dan efektif terhadap kerumunan massa yang melakukan perbuatan pidana massal khusus massa yang jumlahnya tidak dapat terdeteksi atau tidak jelas. Sehingga aparat penegak hukum sulit mengkonstruksikan peranan serta kedudukan massa tersebut dalam setiap perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Bagi penulis pada kasus-kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pada penegakan hukumnya ataukah harus dengan menggunakan hukum pidanakah? atau tidak, ataukah karena kasus pidana jadi wajib ditegakkan dengan hukum pidana juga. Padahal realita yang terjadi menunjukkan bahwa hukum pidana sendiri tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang menjadi ruang lingkupnya atau kewenangannya untuk menyelesaikan permasalahan yang khususnya perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Membicarakan penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu. Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah untuk memberikan hak kepada seseorang untuk memberikan perlindungan kepada seseorang untuk mengenakan pidana kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya . Jadi penegakan hukum dapat dilakukan oleh manusia, dimana karena penegakan hukum ini dilakukan dan ditujukan pada tingkah laku manusia maka perlu diketahui bagaimanakah tingkah laku manusia tersebut.
Tingkah laku manusia itu terikat pada berbagai hal, patokan yang terdapat di luar seseorang itu. Ikatan tersebut sedemikian juga sehingga ia tidak dapat mengabaikannya dengan kata lain dalam tingkah lakunya di masyarakat seseorang itu akan berorientasi kepada berbagai hal dan patokan tersebut di atas. Jadi sulit diterima bahwa tingkah laku orang dalam masyarakat itu adalah bebas, melainkan sebaliknya yaitu didisiplinkan oleh pembatasan-pembatasan tersebut di atas. Jadi manusia berbuat bisa dikatakan karena adanya ikatan dan respon dari lingkungannya .
Dalam hukum pidana manusia berbuat melakukan perbuatan pidana dikarenakan dirinya sendiri dan konsep ini yang dianut oleh aliran teori pemidanaan absolut atau teori pembalasan, atau seseorang melakukan perbuatan pidana dikarenakan dari dirinya yang dipengaruhi oleh di luar dirinya juga dan konsep ini dianut oleh aliran teori pemidanaan relatif atau teori tujuan.
Jadi dalam perbuatan pidana massal, maka dapat dilihat bahwa perbuatan pidana yang dilakukan disebabkan berbagai macam fakta yang mempengaruhi diantara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan lain-lain. Maka tidak dapat kita pungkiri bahwa massa melakukan perbuatan pidana dikarenakan adanya pengaruh yang ada di luar dirinya yaitu karena lingkungan. Sehingga dalam penanganannya tidak dilihat hanya sebatas apa yang dilanggar dan kenapa ia melanggar tetapi juga bagaimana upaya pencegahannya baik secara umum atau secara khusus.
Menurut Dr. Saparinah Sadli perbuatan pidana atau kejahatan merupakan salah satu bentuk dari “perilaku” menyimpang yang selalu ada dan melekat di masyarakat tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan dan meruntutnya perilaku menyimpang merupakan suatu ancaman yang nyata/ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan/keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial, dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum (sanksi) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, sampai saat ini pun hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal. Sebagaimana realita yang terjadi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal juga menggunakan hukum pidana dalam upaya penanggulangannya karena memang masalah yang menjadi kewenangannya. Namun selama hukum pidana digunakan selama ini juga hukum pidana tidak/kurang dapat menanggulanginya sendiri karena memang hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulangi kejahatan. Hal tersebut diantaranya juga diungkapkan oleh :
1) Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dan “general deterrence” itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan/mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya Undang-Undang/Pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.
Kadang dalam prakteknya sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian si pelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dan jumlah lamanya pidana. Sehingga menurut middendorf bahwa “kita masih sangat sedikit mengetahui tentang apa yang membuat seseorang terpidana kembali melakukan/tidak melakukan aktivitas kejahatan.
2) Danal R. Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok inkres dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia dari pada sanksi hukum.
3) Karl O. Christiansen menyatakan bahwa : “pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur, pengaruh tersebut (maksudnya pengaruh dalam arti “general prevention”) terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (Strengthening the colective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi/meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.
Dengan melihat komentar-komentar para ahli tersebut dan dikontekskan dengan upaya penanggulangan penal selama ini apakah sudah mencapai tujuan dan cita-cita hukum pidana itu sendiri. Apakah selama ini efektif atau tidak, memang tidak bisa kita ukur tapi dapat dirasakan bersama bagaimana perbuatan pidana yang dilakukan secara massal khusus pada jumlah massa yang tidak jelas berapa jumlahnya, akhir-akhir ini semakin marak dan dikatakan oleh pakar sosiologi Satjipto Raharjo sudah menjadi wabah sosial, dimana-mana terjadi dari kota-kota hingga pelosok tanah air. Sehingga hal tersebut diperlukan penanggulangan yang integral tidak hanya melalui hukum pidana saja (penal) tetapi juga dengan penanggulangan yang lain, karena dengan adanya hukum pidana saja orang-orang bukan takut untuk melakukan perbuatan pidana tapi malah semakin marak terjadi dimana-mana seolah-olah perbuatan tersebut legal untuk dilakukan.
Jadi karena keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan maka dibutuhkan pendekatan lain, hal tersebut wajar karena kejahatan bukan saja masalah kemanusiaan tetapi juga sebagai permasalahan sosial dan banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan.
Menurut Sudarto karena terjadinya kejahatan disebabkan penyebab yang sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, maka wajar hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulanginya dan menurutnya penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan satu gejala (“kurieren am symptom”) dan bukan penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Jadi keterbatasan hukum pidana selama ini juga disebabkan oleh sifat/hakikat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri, karena sanksi hukum pidana bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, melainkan sekedar untuk mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif “melainkan hanya sekedar “pengobatan simptomatik” dan dengan pengobatan simptomatik berupa “sanksi pidana” ini masih mengandung banyak kelemahan sehingga masih selalu dipersoalkan keefektifannya .
Jadi karena diperlukan upaya penanggulangan kejahatan secara integral baik dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi sosial maka menurut G.P. Hoefnadels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing, Views of society on crime and punishment/mass media).
Jadi dengan demikian maka upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana) dimana point b dan c masuk/dikelompokkan pada upaya non penal .
Upaya penanggulangan dengan “penal” lebih menitik beratkan pidana sifat “refressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan, “Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan Sanksi apa saja sebaiknya digunakan/dikenakan kepada si pelanggar”.
Masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial/kebijakan pembangunan nasional. Dengan pemikiran kebijakan hukum pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang integral tidak hanya dalam hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang (hukum) pidana pada hakekatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Sehingga wajar apabila kebijakan/politik hukum pidana yang merupakan bagian integral dari kebijakan/politik sosial (social policy).
Secara konkrit kebijakan dengan menggunakan hukum pidana berkorelasi erat dengan aspek kriminalisasi yang pada asasnya kriminalitas merupakan proses penetapan suatu perbuatan sebagai yang dilarang dan diancam pidana bagi yang melanggar. Menurut Sudarto dalam menghadapi masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tujuan hukum pidana harus memperlihatkan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penggagasan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/spirituil) atas warga masyarakat.
3. Harus memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip biaya dan hasil (Cost and benefit principle).
4. Memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum jangan sampai kelampauan beban tugas.
Dalam menggunakan sarana penal seharusnya lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif, dengan kata lain sarana penal tidak harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain :
1. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan
2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan.
3. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai satu tujuan yang dapat dicapai lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan.
4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan pidana itu sendiri.
5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengundang sifat lebih berbahaya daripada perbuatan-perbuatan yang akan dicegah.
6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
Masalah sentral yang kedua dari penanggulangan dengan penal adalah masalah penjatuhan sanksi/pemidanaan. Konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang (”konsep pemidanaan individual/personal”) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan (the treatment of effenders) yang melahirkan pendekatan humanistik, ide individualisasi. Pidana dan tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat (yaitu tujuan regabilitasi, rekomendasi, reeduksi, resosialisasi, readaptasi, sosial, reintegrasi sosial, dan sebagainya) .
Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat-sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan dengan “penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah/kondisi-kondisi sosial secara langsung/tidak langsung dapat menimbulkan/menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal .
Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders, salah satu hasil kongres tersebut menyebutkan :
a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang.
b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang tidak kalah patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individu sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja).
Jadi beberapa masalah kesehatan dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan penal dan disiniah keterbatasan jalur penal, dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non penal. Jadi dalam mewujudkan suatu kebijakan kriminal yang integral dibutuh upaya penanggulangan kejahatan baik dari jalur penal maupun non penal.
Dalam hal perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang selama ini juga mengalami kendala dalam penegakan hukumnya terutama pada massa yang tidak terorganisir yang kadang-kadang melakukan perbuatan pidana yang lebih agresif dibandingkan massa yang terorganisir dilakukan dengan pendekatan kebijakan yang terarah preventif, berupa melakukan penyuluhan-penyuluhan tentang hukum.memghilangkan kebijakan-kebijakan yang berbau controversial yang bisa memicu reaksi massa yang berlebihan dan tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas pendidikan yang layak dan optimalisasi peran para pemuka agama, sehingga tercipta masyarakat yang tidak hanya sehat jasmani tetapi juga sehat rohani.
Namun sekali lagi fenomena perbuatan pidana yang dilakukan secara massal harus membutuhkan analisis dan pendapat dari pihak tertentu yang benar-benar ahli dalam memahami masalah tersebut, serta memahami apa yang sebenarnya terjadi. sehingga paham bentuk apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, demikian yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, dan juga kasus perbuatan pidana massa ini sifatnya kauistik, sehingga tidak dapat generalisasikan model-model penanggulangannya baik yang dilakukan secara penal maupun non penal.


6. Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal ditinjau dari Hukum Islam.
Istilah perbuatan pidana dalam hukum Islam disebut dengan jarimah yaitu larangan-larangan syara’a yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had/ta’zir. Larangan tersebut ada kalanya mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian syara’a pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah sah yang dianggap jarimah dan dilarang oleh syara, juga berbuat dan tidak berbuat dianggap jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman terhadapnya .
Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah yang mana dibataskan pada perbuatan yang dilarang saja, pengertian jinayah dikalangan fuqaha adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa/harta benda, ataupun yang lainnya. Kata jarimah kebanyakan digunakan untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul dan lain-lain. Dengan mendasarkan pengertian jarimah di atas bagi kalangan fuqaha tidak bermasalah karena kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha sama dengan kata-kata jarimah . Jadi dalam tulisan ini istilah perbuatan pidana dalam hukum pidana Islam disebut dengan jarimah.
Dalam hukum pidana Islam perbuatan dikatakan sebagai jarimah harus memenuhi 2 unsur yaitu :
1. Unsur umum, dimana satu macamnya berlaku pada semua jarimah, adapun unsur-unsur tersebut adalah :
a. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya dan unsur ini biasa disebut “unsur formil” (Rukun Syar’i)
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat dan unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (Rukun Maddi).
c. Pembuat adalah mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya dan unsur ini biasa disebut “unsur formil” (Rukun Adabi).
2. Unsur khusus, ditemukan pada tiap-tiap jarimah dan berbeda-beda, bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.
Alasan yang mendorong sesuatu perbuatan sebagai jarimah dalam hukum pidana Islam bertujuan (menurut para ahli hukum Islam diklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari syariat) :
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariat, dan bagi manusia hal ini penting dan tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana kelima kebutuhan hidup primer ini (dharuriyat) dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasd al-khamah, yaitu : agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2. Menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Hal ini mencakup berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban akan tetapi menambah kesulitan bagi masyarakat, dan hal ini bertujuan untuk menyingkirkan kesulitan masyarakat tersebut.
3. Membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau fahsinat ini mencakup hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam hal ini mencakup arti kebijakan (virtues), cara-cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan cara hidup.
Selanjutnya, pembagian jarimah dapat dilihat dari berbagai segi, tetapi dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan pembagian jarimah dari sisi berat ringannya hukuman, yang terbagi menjadi 3 :
1. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam, yang berkaitan dengan apa yang disebut dengan hak Allah dan hukumannya ditentukan oleh Allah, yang tergolong kejahatan ini adalah riddah (murtad), al-baghi (pemberontak), zina, Qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), Hirabah (perampokan), dan Shurb al-khamar (meminum khamar).
2. Kejahatan Qishash sasarannya adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja yang dikenal dalam hukum modern sebagai kejahatan manusia atau crime against persons, yang tergolong kejahatan ini adalah: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian.
3. Kejahatan ta’zir yaitu landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada ‘ijma (konsensus) berkaitan dengan hak Negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, financial, dan moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Dengan melihat uraian tentang berbagai bentuk perbuatan yang dipandang sebagai jarimah dan unsur-unsurnya maka dengan mengacu pada penjelasan tersebut terkait dengan perumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal menurut hukum Islam. Dalam menguraikan pengertian tersebut maka akan dijelaskan hal-hal yang mencakup yaitu tentang subyek dari perbuatan tersebut, bentuk perbuatannya dan yang terakhir adalah sistem pertanggungjawaban pelaku menurut hukum pidana Islam terhadap perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hukum pidana Islam dapat dijelaskan dengan menggunakan teori penyertaan, yang sama halnya dengan penjelasan dalam hukum positif.
Suatu jarimah ada kalanya dibuat oleh seorang diri atau adakalanya oleh beberapa orang, dan apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama diantara mereka tidak lebih dari empat :
1. Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah), artinya secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2. Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
3. Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperkuat jarimah.
4. Memberikan bantuan/kesempatan untuk dilakukannya jarimah, dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.
Dalam hukum pidana Islam, para fuqaha membedakan pernyertaan ini dalam dua bagian, yaitu : Turut berbuat langsung (isytirak-mubasyir) orang yang melakukannya disebut syarik mubasyir dan turut berbuat tidak langsung (isytirak ghariul mubasyir/isytirak bit-tasabbubi), orang yang melakukannya disebut syarik mutasabbib.
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian jarimah turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung akan dipaparkan berikut ini :
1. Turut berbuat langsung
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau yang biasa disebut dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (made-daders).
Menurut para fuqaha turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah ada 2 bentuk yang diambil dari bentuk-bentuk pernyertaan yaitu :
a. Orang yang berbuat sendirian/bersama-sama orang lain atau dalam hukum positif disebut dengan turut serta (madedaders). Jika masing-masing dari 3 orang mengarahkan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan itu, maka masing-masing dari 3 orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan.
Para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerjasama dalam mewujudkan tindak pidana terjadi secara kebetulan (tawafuq), atau memang sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya (tamalu). Pada yang pertama yaitu tawafuq para peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul dalam seketika itu, dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindak pidana yang dilakukan secara massal, dimana massal yang berbuat terbentuk tidak secara terorganisir untuk melakukan perbuatan pidana.
Seperti yang sering terjadi pada kerusuhan dalam demonstrasi atau perkelahian secara keroyokan yang pelakunya lebih dari satu (massal) yang sering terjadi akhir-akhir ini seperti halnya kasus di Papua yaitu penyerangan mahasiswa terhadap aparat kepolisian berupa pengeroyokan yang mengakibatkan kematian, dan hal tersebut dilakukan atas nama dari pribadinya sendiri, tanggung jawab tawafuq ini menurut kebanyakan fuqaha terbatas pada perbuatannya saja, tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan peserta lain.
Untuk bentuk yang kedua yaitu tamalu para peserta telah bersepakat untuk berbuat sesuatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil tindak pidana itu, serta saling membantu dalam pelaksanaannya, adapun bentuk pertanggungjawaban pidana untuk tamalu dimana para peserta harus bertanggungjawab atas perbuatannya secara keseluruhan. Bentuk tamalu dapat dipersamakan dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.
b. Juga dipandang sebagai turut berbuat langsung adalah peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki tangannya semata-mata . atau apabila si pembuat langsung hanya menjadi alat atau instrumen saja dari orang yang menyuruh, misal A (30 tahun) hendak mencuri barang E (20 tahun) tetapi menyuruh B (6 tahun) untuk mengambil barang tersebut, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat langsung. . Dalam hukum positif bentuk ini dinamakan doen pleger atau menyuruh lakukan yang pelaku/orang yang disuruh tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena adanya alasan penghapusan pidana yang ada pada di orang yang disuruh (aktor materialis). Pada bentuk ini apabila dikontekskan dengan rumusan dari defenisi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak memperoleh keseragaman, karena walaupun pada bentuk ini terdapat lebih dari satu orang pelaku tetapi yang hanya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya hanya satu orang yaitu yang menyuruh lakukan.
Sedangkan apabila disesuaikan dengan rumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal disana dinyatakan bahwa “secara langsung maupun tidak langsung, baik direncanakan maupun tidak direncakan telah terjalin kerjasama, baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri”, pernyataan tersebut dimaksudkan adalah bahwa kesemua rangkaian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah bersifat kolektif, jadi tidak mungkin adanya kerjasama apabila adanya paksaan.
Berkaitan dengan dua bentuk perbedaan yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya menurut syariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman, meskipun masing-masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati oleh peserta lain), misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, karena gila, karena salah sangka, sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang akan dijatuhkan pun tidak sama.
2. Turut berbuat tidak langsung
Yang dimaksud dengan turut berbuat tidak langsung ialah setiap yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh (menghasut) orang lain/memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan
Berdasarkan keterangan tersebut maka unsur-unsur dari turut berbuat tidak langsung, yaitu :
a. Perbuatan yang dapat dihukum jarimah, yaitu dimana kawan berbuat tidak langsung memberikan bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli (pembuat langsung harus dihukum pula contoh pada jarimah percobaan dimana kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum).
b. Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya atau perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi. Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu.
Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya, dan apabila jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada “turut berbuat” meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan, atau menyuruh, atau membantu .
1) Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk memperkuat jarimah, kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “turut berbuat”. Jika tidak ada “turut berbuat” kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2) Menyuruh (menghasut, tahrid)
Menghasut ialah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan membujuk menjadi pendorong diperbuatnya jarimah. Apabila pembuat memang sudah punya niat sebelumnya akan membuat jarimah, maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya, dalam hal bertujuan tersebut bisa menjadi pendorong/tidak untuk dilakukannya jarimah, yang pasti bujukan tersebut adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3) Memberi bantuan
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung meskipun ada persepakatan sebelumnya, seperti berjaga-jaga untuk memudahkan pencurian.
Perbedaan pembuat asli dan pemberi bantuan adalah pembuat asli (mubasyir) adalah orang yang memperbuat/mencoba memperbuat yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat/mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbantuan-perbantuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut. Apabila dikontekskan dengan hukum positif maka turut berbuat tidak langsung dikategorikan pada bentuk penyertaan penganjuran (uitlokker) dan pembantuan (medeplictihed). Pada kesemua bentuk ini para pelaku dapat dimintalkan pertanggungjawabannya sesuai dengan kapasitas perbuatan yang dilakukan, dan hal ini bersesuaian dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Apabila turut berbuat tidak langsung dikaitkan dengan pengklasifikasian kejahatan, maka dalam hal jarimah hudud dan qisas hanya dapat diberlakukan bagi turut berbuat langsung karena pada umumnya hukuman yang telah ditentukan jumlahnya itu sangat erat, dan tidak berbuat langsungnya peserta merupakan syubhat yang bisa menghindarkan hadd, dan juga karena pembuat langsung lebih berbahaya daripada pembuat tidak langsung, tetapi bagi turut berbuat dalam jarimah qisas dan hudud dik da jarimah ta’zir tidak ada pembedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung sebab keduanya diancam dengan pidana yang sama yaitu ta’zir . Lain halnya apabila pada jarimah ta’zir tidak ada pembedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung sebab keduanya diancam dengan pidana yang sama yaitu ta’zir .
Dalam hal sistem pertanggungjawaban diantara turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung menurut Abu Hanifah hukumannya sama, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatan sendiri. Tapi dalam hal ini syariat Islam dalam persoalan turut berbuat langsung sama dengan pendiriannya mengenai soal “jarimah percobaan”, yakni menghukum berdasarkan niatan si pembuat, dan pendirian tersebut sama dengan pendirian aliran subyektif yang banyak dipakai pada hukum positif modern diantaranya hukum pidana RPA .
Berdasarkan penjelasan tentang penyertaan menurut hukum pidana Islam, maka perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hal ini dipergunakan rumusan tersebut yang telah jelas menyebutkan tentang kuantitas dan kualitas pelaku tindak pidana dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dan sistem pertanggungjawabannya yang hampir sama penjelasannya dengan penyertaan dalam hukum positif Indonesia.
Jadi dengan melihat pembahasan tentang perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari satu orang pelaku atau dalam hukum positif dikenal dengan delik penyertaan, dalam hukum Islam hal ini dibagi menjadi dua bentuk yaitu turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung, yang pada intinya kedua bentuk penyertaan tersebut dapat dikategorikan pelaku perbuatan pidana yang dalam hal ini punya andil dalam melakukan suatu kejahatan.
Dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang menjadi permasalahan bukan pada perbuatannya tapi pada pelaku atau subyek hukumnya yang lebih dari satu orang, dan hal ini dalam hukum Islam tidak menjadi suatu permasalahan karena telah diatur secara gamblang bagaimana kedudukan masing-masing pelaku antara satu dengan yang lainnya. Dalam hukum Islam yang dilihat bukan pada banyaknya orang yang melakukan perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya menurut syariat Islam banyak sedikitnya peserta perbuatan pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman, tapi pada seberapa besar kontribusi yang diberikan pada saat melakukan perbuatan pidana.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa pada turut berbuat tidak langsung boleh dikatakan tidak bermasalah, karena hal ini disebabkan oleh aturan syariat Islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung. Akan tetapi hal tersebut dikecualikan pada jarimah pembunuhan dan penganiayaan, dimana turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung dijatuhi hukuman, karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan sifat jarimah tersebut.
Jadi dalam hal perbuatan pidana yang dilakukan secara massal untuk konteks hukum Islam tidak tergantung pada bagaimana bentuk atau ciri-ciri dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut, tapi terfokus pada perbuatan apa yang telah dilakukan seseorang maka sebesar itulah pertanggungjawaban yang harus diembannya.
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam akan dipaparkan secara umum dalam tulisan ini sebagai perbandingan dengan hukum pidana Indonesia. Adapun hal-hal yang dipaparkan tidak lepas dari hal pokok yang menjadi unsur dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.
1. Adanya perbuatan yang dilarang
Perbuatan yang dilarang (criminal conduct) mencakup semua unsur-unsur fisik dari kejahatan, tanpa unsur-unsur ini tidak terjadi kejahatan dan pertanggungjawaban pidana tidak ada karena pertanggungjawaban pidana mensyaratkan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang Undang-Undang dan perbuatan tersebut bisa dihasilkan dari suatu perbuatan aktif dan perbuatan (delik komisi) dan perbuatan pasif (delik omisi).
Dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang dimana yang termasuk dalam jarimah hudud, jarimah qisas dan jarimah ta’zir (bisa ditetapkan perbuatan mana yang dilarang dan tidak oleh syara’ dan oleh penguasa atau negara).
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
Hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban secara personal dimana dinyatakan bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya dan tidak dibebankan atau digantikan kepada orang lain.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab dari subyek tindak pidana yaitu mampu secara fisik dan non fisik atau telah baliqh dan tidak gila serta dapat membedakan yang baik dan buruk dari perbuatan yang dilakukan.
Dalam pertanggungjawaban berkaitan erat dengan kesalahan dimana kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif. Kesalahan dibedakan menjadi 2 yaitu kesengajaan dan kealpaan. Pada dasarnya pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam hanya dikenakan terhadap perbuatan sengaja dan yang diharamkan oleh syara’ serta tidak dikenakan terhadap kekeliruan/alpa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :
“Dan tidak ada dosa atasmu apa yang kamu kerjakan karena keliru, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu.”
Akan tetapi syariat mengecualikan hal tersebut dimana dibolehkan dijatuhkan hukuman meskipun ada unsur kekeliruan, namun hal tersebut hanya berlaku pada tindak pidana hilangnya nyawa orang dan penganiayaan.
Seseorang akan hapus pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan apabila dalam diri terdapat alasan penghapusan pidana, dan hal ini pun terdapat dalam hukum Islam dimana alasan penghapusan pidana ini dibagi menjadi :
1. Alasan pembenar, yaitu dimana sifat melawan hukum dari suatu perbuatan akan hilang. Adapun alasan tersebut adalah :
1) Bela diri (legal depense)
Menurut Islam seseorang berhak mempertahankan jiwa, harta, kehormatan dirinya dan orang lain. Jadi jika seseorang diserang orang lain untuk dibunuh, dan tidak ada jalan lain untuk membela diri kecuali membunuh pula maka ia tidak dipidana. Untuk hal itu ada syarat: adanya keseimbangan, dan tidak ada jalan lain.
2) Penggunaan hak
Contohnya, seorang, ayah dalam mendidik anak sesuai ajaran Islam dapat memukul anaknya tanpa melampaui batas atau melukai jika cara persuasif dan baik-baik tidak diindahkan.
3) Menjalankan wewenang/kewajiban
Jika seorang bertindak sesuai dengan wewenangnya maka ia dapat dibenarkan. Misalnya seorang polisi dapat menangkap orang atau menahannya. Juga seorang dokter yang mengoperasi pasiennya.
4) Dalam olah raga
Jika dalam suatu olah raga ada orang sakit atau luka-luka, dan hal itu timbul bukan karena melebihi batas-batas yang telah ditentukan, maka pembuatnya tidak dipidana. Lain halnya, jika ada unsur sengaja atau kelalaian.
2. Alasan pemaaf, yaitu dimana suatu tindakan tetap melawan hukumnya, namun si pembuat dimaafkan, adapun alasan-alasan tersebut adalah :
1) Kanak-kanak
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman hadd karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang berusia berapa pun sampai dia mencapai usia puber. Namun hakim berhak menegur kesalahannya. Menurut suatu pendapat hukuman ta’zir dapat dijatuhkan dan dibuyarkan oleh kaumnya jika perbuatan itu dilakukan ketika berusia 7 tahun-masa puber,
2) Orang gila
Seorang gila tak pernah dapat bertanggung jawab karena gila itu menghilangkan akalnya dan karena itu kemampuannya untuk membedakan yang baik dan buruk juga hilang.
3) Mabuk
Jika seseorang mabuk hingga kesadarannya hilang, dan mabuk itu tidak dia sengaja, misalnya karena dipaksa, ditipu, kesalahan, atau karena konsumsi suatu obat tertentu, maka perbuatan pidana yang dia lakukan dapat dimaafkan.
4) Daya paksa
Seandainya suatu kejahatan dilakukan dalam keadaan dipaksa tak akan ada tuntutan hukuman jika terbukti benar.

No comments: