Sunday, June 13, 2010

Hukum Perkawinan

HUKUM PERKAWINAN

PELAKSANAAN CERAI GUGAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 jo. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA.
(DEDI IRAWAN, E 0002098, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum (Skripsi). 2006.)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan cerai gugat berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP Nomor 9 Tahun 1975 di Pengadilan Agama Surakarta, khususnya mengenai gambaran tata cara cerai gugat dan persidangan perkara cerai gugat.
Penelitian yang dilakukan penulis dalam penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian empiris dan dilihat dari sifat penelitian termasuk deskriptif. Lokasi penelitian yang dilakukan adalah di Pengadilan Agama Surakarta. Penulis menggunakan jenis data, meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data penulis menggunakan wawancara dan identifikasi isi dari peraturan perundang-undangan, Putusan Pengadilan Agama Surakarta, jurnal, serta literatur lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model analisis interaktif.

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan , menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain: (1) tata cara cerai gugat berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP Nomor 9 Tahun 1975 harus memenuhi persyaratan antara lain: surat gugatan diajukan secara tertulis atau dapat diajukan secara lisan, membawa bukti diri berupa Kartu Tanda Penduduk(KTP) dan membayar biaya perkara bersamaan dengan mengajukan permohonan cerai gugat. (2) pemeriksaan perkara cerai gugat dalam persidangan di Pengadilan Agama Surakarta dilakukan berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Berdasarkan cerai gugat yng diajukan terdapat fakta-fakta yang terjadi justru menjurus kearah kekejaman atau penganiayaan (Pasal 19 huruf (d) PP Nomor 9 Tahun 1975), namun Majelis Hakim menjadikan pemeriksaan cerai guagt tersebut berdasarkan Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akann hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Padahal dalam fakta persidangan telah terungkap bahwa Tergugat sudah mengakui telah melakukan penganiayaan kepada Penggugat. Hal tersebut dapat menjadi periksa untuk kejelasan antara perselisihan dan pertengkaran dengan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

Implikasi teoritis penelitian ini adalah agar UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP Nomor 9 Tahun 1975, terutama mengenai alasan perceraian, dapat dilaksanakan dengan apa adanya sesuai dengan fakta yng terjadi di lapangan. Sedang implikasi praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar aparat penegak hukum dalam memeriksa perkara perceraian.


PAHAM PERKAWINAN MENURUT KITAB HUKUM KANONIK 1983
(Romo Antonius Dwi Joko, Pr)

1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).

2. PAHAM DASAR PERKAWINAN
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)

a. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.

b. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).

c. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak
Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
f. Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.

3. SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.

3.1. Monogami

a. Arti Monogami
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.

b. Implikasi atau konsekuensi Monogami
Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:
(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.

c. Dasar Monogami
Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif.

Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit.

Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.

3.2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan

a. Arti
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.

b. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).

Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.
Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.
Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.

c. Dasar
Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.

d. Tingkat kekukuhan
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.

(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.
(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.
(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.

4. KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)
Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)

Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).

Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).
Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.
Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.

5. WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK
Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.

Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).
Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.

6. SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK

6.1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:

(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.

(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.

(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”


(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.

(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)

(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.

(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.

(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.

(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.

(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.

(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”

6.2. Adanya Konsensus atau Kesepakatan Nikah

a. Pengertian Konsensus
Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus
Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:
(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)

6.3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)
“Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

7. PERKAWINAN CAMPUR (Kan 1124-1129; 1086)

7.1. Pengertian
Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.
Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

7.2. Dua Jenis Perkawinan Campur
Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.
Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

7.3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi
Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

7.4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)
Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.
Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.
2. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

7.5. Pastoral Kawin Campur
Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.
Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

7.6. Kesulitan Pencatatan Sipil
Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7.7. Beberapa Catatan dan Harapan
Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.

* Previlegi Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya ialah:
a). Pada awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;
b). Kemudian salah satu pihak dibaptis;
c). pihak non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;
d). demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.

** Tidak termuat dalam KHK tapi dalam “Instruksi Ut Notum Est” untuk Pemutusan Perkawinan demi Iman. Previlegi Iman ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “bahwa perkawinan yang diteguhkan antara pihak baptis non-Katolik dengan pihak non-baptis, atau antara pihak Katolik dengan pihak non-baptis yang diteguhkan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama (disparitas cultus), dapat diputus oleh tahta suci karena alasan yang kuat terutama demi iman”.

TANYA JAWAB HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Apa yang dimaksud dengan hukum acara peradilan agama?
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama.

Sebutkan susunan Badan-badan Peradilan yang ada di Indonesia?
Susunan Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan
Mahkamah Agung (MA).
b.Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA), dan Mahkamah Agung.
C.Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) dan Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung.
D.Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung.

Jelaskan perbedaan antara kekuasaan Relatif dan Kekuasaan Absolut?
A.Kekuasaan relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu
tingkatan.
B.Kekuasaan absolute artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan.

Jelaskan isi dari pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 yang menyangkut kekuasaan absolute Peradilan Agama?
Pasal 49 ialah- perkawinan; - kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam; - wakaf dan shadaqah.

Apa yang dimaksud dengan membuktikan?
Adalahmeyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan.

Sebutkan tiga teori bebas yang digunakan hakim dalam pembuktian menurut sudikno? Berhubung hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang maka tentang hal tersebut timbul tiga teori:- Teori pembuktian bebas,- Teori pembuktian negatif, dan- pembuktian positif.

Berikan contoh alat bukti dari surat atau tulisan yang tidak boleh mengorbankan hukum Material Islam?
A beragama Islam, ia membuat wasiat di muka Notaris b, yang isinya memberikan semua harta A (setelah wafatanya nanti) kepada C. Setelah A wafat, timbullah masalah, apakah surat wasiat tersebut dan dapat dilaksanakan atau tidak.

Jelaskan apa yang di maksud dengan Akta Otentik?
Adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan.

Siapa yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang?
Adapun pengertian pejabat yang berwenang, contohnya ialah: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan itu mempunyai 3 jabatan, yaitu (1) sebagai kepala KUAKEC, (2) sebagai Kepala PPN, dan (3) sebagai PPAIW.

Jelaskan maksud dari dibuat “oleh pejabat yang berwenang” dan dibuat “dihadapan pejabat yang berwenang” ?
Dibuat “oleh” apabila pejabat yang berwenang tersebut membuat tentang apa yang dilakukannya, misalnya juru sita pengadilan membuat Berita Acara pemanggilan pihak-pihak yang berperkara. Dibuat “hadapan” ialah apabila pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang dilakukan oleh orang lain tersebut dan sekaligus meletakkannya di dalam suatu akta, misalnya A dan B melakukan jual-beli, mereka minta dibuatkan akta jual-belinya kepada Notaris membuatkannya “di hadapannya” menurut kemauan dari A dan B tersebut.

Apa yang dimaksud dengan akta di bawah tangan dan berikan contohnya?
Ialah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenag. Misal surat jual-beli tanah, yang dibuat oleh kedua beleh pihak, sekalipun di atas kertas segel, tidak bisa disebut akta otentik karena pejabat yang berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah Notaris dan Camat.

Mengapa di dalam hukum Islam seorang saksi tidak perlu lagi disumpah?
Dalam kenyataannya, kesaksian tanpa di bawah sumpah akan membawa saksi kepada kemungkinan kurang berhati-hati bahkan tidak takut berbohong.

Apa yang dimaksud dengan unus Testum nullus testum?
Dijumpai dalam doktrin Hukum Acara di lingkungan Peradilan Umum, artinya “satu saksi sama dengan bukan kesaksian”.

Sebutkan beberapa larangan untuk menjadi saksi?
Al-Qur’an maupun hadits tidak menyebutkan larangan untuk menjadi saksi karena hubungan darah/hubungan semenda dengan pihak-pihak yang berperkara.

Sebutkan mengapa seseorang di larang menjadi saksi?
Demi untuk lebih terjaminnya objektivitas tidak memihak, penulis setuju untuk adanya larangan, khususnya bagi keluarga hubungan darah/hubungan semenda yang masih sangat dekat.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan Qarinah Qada’iyah dan qarinah Qanuuniyah?
Qarinah Qada’iyah yaitu merupakanhasil kesimpulan hakim setelah memeriksa perkara. Qarinah Qanuniyah yaitu yang ditentukanoleh Undang-undang.

Apa yang dimaksud dengan persangkaan hakim?
Hakim yang ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan siding dan persangkaan UU adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan UU.

Jelaskan pengertian alat bukti pengakuan dalam Hukum Acara Peradilan Islam?
alah salah-satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat “di muka sidang” bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar.

Apa yang dimaksud dengan pengakuan yang berklausula dan pengakuan berkualifikasi?
Kategori pengakuan yang dipecah-pecah dan itutidak dinilai sebagai pengakuan.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengakuan dalam perkara zina (tuduhan zina) menurut Acara Peradilan Islam?
Ialah pengakuan dalam perkara zina atau tuduhan zina, berlaku mengikat bagi pihak yang tidak mengaku, sepanjang tentang hokum rajam atau hukum deranya tetapi berlaku baik bagi pihak yang mengaku maupun bagi pihak yang tidak mengaku disegi akibat-akibat perzinahan (selain hokum rajam dan atau dera).

Jelaskan perbedaan yang pokok antara sumpah tambahan menurut Acara Peradilan Umum dan sumpah tambahan menurut Acara Peradilan Islam?
Menurut Peradilan Umum, sumpah tambahan itu adalah sumpah yang diucapkan oleh salah-satu pihak atas perintah hakim karena alat bukti minimal untuk dapatnya hakim memutus belum mencukupi, misalnya baru ada satu orang saksi saja. Menurut Acara Peradilan islam, sumpah tambahan yang disebut yamin al-istizhar, bukan berarti alat bukti minimal untuk dapatnya hakim memutus melainkan untuk menguatkan alat bukti minimal yang telah cukup.

Apa fungsi dari sumpah tambahan bagi peradilan Islam?
Untuk menguatkan alat bukti minimal yang telah cukup, sebaiknya sumpah tambahan itu di muka Peradilan Agama hanya dilakukan ketika sangat perlu saja sehingga tidak terlalu banyak orang yang harus bersumpah, walaupun hal itu dalam agama adalah perlu sebagai ikhtiyat (kewaspadaan hukum).

Sebutkan bunyi dari pasal 88 Tentang sumpah Li’an?
Pasal 88 berbunyi(1)Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesainnya dilaksanakan dengan cara li’an. (Apabila sumpah bagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh isteri maka penyelesainnya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku).

Apa yang dimaksud dengan qasamah?
Artinya sumpah yang dimintakan kepada para wali dari tertuduh pelaku pembunuhan karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan.

Jelaskan pengertian dari putusan Peradilan perdata?
Putusan Peradilan Perdata selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalh untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu hukum, atau menghukum sesuatu.

Sebutkan bentuk dan isi dari putusan pengadilan agama?
A.bagian kepala putusan.B.nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.C.identitas pihak-pihak.D.duduk perkaranya (bagian posita).E.tentang pertimbangan hukum.F.dasar hukum.G.dictum atau amar putusan.H.bagian kaki putusan.I.tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.

Sebutkan 3 macam kekuatan putusan dalam pengadilan?
Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: - kekuatan mengikat -kekuatan bukti –kekuatan eksekusi.

Apa pengertian dari penetapan?
Penetapan disebut al-isbat atau beschiking, yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan
peradilan yang sesungguhnya.

Berikan contoh dari kekuatan penetapan?
Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pensinn Pegawai NegeriSipil dari suami-isteri yang tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta nikah.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan permohonan sita?
Termasuk upaya untuk menjamin hak penggugat/pemohon seandainya ia menang dalam perkara, sehingga putusan pengadilan yang mengakui segala haknya itu, dapat dilaksanakan.

Apa perbedaan dari sita Revindikasi dan sita Marital?
Sita revindikasi sita yang dilakukan oleh pengadilan terhadap benda bergerak milik sendiri yang berada di tangan orang lain. Sita marital tidak didapat di dalam HIR atau RBg melainkan hanya dijumpai di dalam BW dan Rsv, tetapi ia terpakai di lingkungan Peradilan Umum sekarang.

Apa saja yang termasuk dalam sita atas barang bergerak?
Sita terhadap benda bergerak milik tersita yang ada di tangan tersita sendiri.
Sita terhadap benda tetap milik tersita,-sita terhadap benda bergerak milik tersita yang berada di tangan orang lain.

Sebutkan wewenang dan juru sita dalam melakukan tugas-tugasnya?
A.melaksanakan semuaperintah yang diberikan oleh Ketua Sidang.
B.menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan UU.
C.melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Agama (bukan oleh Ketua Sidang).
D.membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya di serahkan kepada pihak-pihak yang erkepentingan.

Siapakah yang bertugas mengangkat dan memberhentikan juru sita?
Untuk diangkat menjadi jurusita dan juru sita pengganti seorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) dan (2).

Apa yang dimaksud dengan verzet dan banding?
Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama (PA), yang diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus itu juga. Banding yang disebut juga appel ialah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetpan pengadilan tingkat pertama (PA) karena merasa tidak puas atas putusan/penetapan, ke pengadilan tingkat banding yang mewilayahi pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan.

Jelaskan pengertian kasasi?
Artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama (PA) atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding (PTH) ke Mahkamah Agung di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (PA).

Apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali ?
adalah terhadapan putusan / penetapan pengadilan tingkat pertama (PA) yang telah memperoleh kekuatn hukum yang tetap, atau terhadapputusan pengadilan tingkat banding (PTA) yang telah memperoleh kekuatan hokum yang tetap, atau terhadap putusan MA.

Apa yang dimaksud dengan penggugat dan tergugat?
Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdatanya kemuka Pengadilan Perdata. Tergugat adalah lawan dari penggugat.

Apa itu gugatan?
Gugatan ialah apa yang dituntut oleh penggugat dan biasa disebut surat gugatan.

Sebutkan syarat melengkapkan umum gugatan?
(1) surat gugatan tertulis,
(2) surat keterangan kependudukan/tempat tinggal bagi penggugat,
(3) vorschat biaya perkara.

Apa pengertian dari sidang pertama?
Sidang pertama adalah sidang yang ditunjuk/ ditetapkan menurut yang tertera dalam penatapan hari sidang (PHP) yang ditetapkan oleh Keua Majelis.

Apa tugas pantera sesaat sebelum sidang?
Yaitu mempersiapkan dan mencheck segala sesuatunya untuk sidang.

Apa yang dimaksud dengan sidang terbuka untuk umum?
Maksudnya adalah siapa saja boleh mengikuti / mendengarkan jalannya sidang boleh masuk ruang sidang asal tidak menganggu atau membuat keonaran dalam sidang.

Apa sanksi jika pengguat tidak hadir pada hari sidang?
Sanksi jika penggugat tidak hadir pada hari persidangan maka perkaranya digugurkan.

Apa fungsi Peradilan Agama itu sendiri?
Fungsinya menegakkan hukum dan keadilan.

Apa saja hal-hal yang mungkin terjadi dalam sidang terutama dalam sidang pertama?
(1) pihak-pihak tidak hadir dimuka siding,
(2) penggugat tidak hadir,
(3) tergugat tidak hadir,
(4) tergugat sebagian hadir dan sebagian tidak hadir.

Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
Ialah bantahan atau tangkisan dari tergugat yang diajukannya kepengadilan karena tergugat digugat oleh penggugat, yang tujuannya supaya pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena ada alasan tertentu.

Apa itu intervensi jelaskan?
Turut campur tangannya pihak ketiga yaitu siapapun yang berkepentingan selain dari pihak-pihak yang kini sedang berperkara yang melibatkan ke dalam suatu perkara yang sedang berjalan.

Jelaskan pengertian Vrijwaring?
Adalah penanggungan yaitu ketika proses sedang di periksa oleh Majelis Hakim, tergugat merasa perlu meminta agar pihak ketiga di ikat sertakan ke dalam proses untuk menanggung tergugat.

Sebutkan tahap-tahap pemeriksaan perkara?
(1)Tahap siding pertama sampai anjuran damai,
(2)Tahap jawab berjawab (replik-ruplik),
(3)Tahap pembuktian,
(4)Tahap penyusunan,
(5)Musyawarah Majelis Hakim,
(6)Pengucapan keputusan,
(7)Suatu catatn tentang pengucapan


PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. APA PERNIKAHAN ITU ?
Pernikahan atau nikah, dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan perkawinan atau kawin mengandung dua pengertian, yakni secara etimologi dan secara terminologi. Perkawinan secara etimologi artinya al-liwath yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sedangkan pengertian perkawinan secara terminologi sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bawah Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Pasal 2 UU No.1/74).

Pada pasal 3 dikatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan pasal 4 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengertian perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hukum perkawinan diatur dalam Islam sebagai upaya untuk menjamin terciptanya kehidupan yang harmonis, halal, aman, tertib dan saling menghargai. Sehingga dari adanya ikatan perkawinan yang sudah diatur sedemikian rupa akan tercipta beberapa konsekuensi logis dan konsekuensi hukum, di antaranya :
Meluasnya ikatan persaudaraan.

Melalui perkawinan akan menyebar hubungan persaudaraan yang lebih meluas. Dalam hal ini melalui perwakinan akan bertambahlah perbendaharaan saudara. Misalnya: Bapak mertua, Ibu mertua, Nenek/Kakek mertua, paman, bibi, saudara ipar, dst. Itulah sebabnya jika kita menatap kembali pada fakta sejarah, mengapa Islam disebarkan melalui pernikahan. Jawabannya adalah bahwa dengan adanya ikatan pernikahan, akan berakibat pada meluasnya ikatan persaudaraan.
Terbina keutuhan hukum Islam

Bahwa melalui perkawinan yang dijalankan menurut ketentuan syari’at akan menimbulkan jaminan keutuhan hukum Allah. Sebagai bukti mislanya :
Hubungan seksual, yang sebelum terjadinya akad nikah itu diharamkan menurut hukum Islam, maka menjadi halal dan bernilai ibadah (berpahala)
Seorang laki-laki yang sudah berumah tangga akan mempunyai nilai plus kadar ibadahnya, dibandingkan mereka yang tidak berumah tangga. Demikian pula halnya dalam ketentuan hitungan jama’ah shalat jum’ah, hanya dihitung menurut ketentuan muqimin artinya mereka yang sudah menetap dan membangun rumah tangga.
Seorang istri akan memiliki “ladang” amal yang merupakan investasi dan kesempatan luar biasa untuk meraih pahala. Melalui pernikahan ini si istri asalkan taat dan berkhidmat kepada suami, maka jaminan pahala yang besar dari Allah SWT.
Pasangan suami-istri akan terjaga dari berbagai penyakit berbahaya yang ditimbulkan dari akibat hubungan seks yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan. Misalnya HIV-AIDS.
Anak yang lahir dari akibat ikatan perkawinan yang sah disebut anak halal.
Dengan status anak halal tersebut, maka konsekuensi hukumnya ia merhak mewarisi harta dari kedua orang tuanya. Jika anaknya perempuan, maka berhak untuk mendapatkan wali nikah dari bapaknya.
Terjalin ketentraman jiwa (sakinah, mawaddah, rahmah)

Dengan adanya ikatan perkwinan akan timbul perasaan aman, tentram dan kasih sayang di antara kedua belah pihak. Satu sama lain saling mengisi dan saling melengkapi. Timbul kerja sama yang harmonis dan bekerja sesuai porsinya masing-masing. Pada akhirnya akan tercipta sebuah usaha yang sukses sebagai akibat adanya kerja sama yang saling menopang (simbiosis mutualisme)
Sebagai sarana menambah keturunan

A. SYARAT PERKAWINAN

Syarat sahnya perkawinan ialah segala sesuatu yang menyebabkan perkawinan dianggap sah dan akadnya dapat diakui menurut syara’ serta mempunyai akibat huku (HSA. Alhamdani, 1989, Risalah Nikah)

Menurut Alhamdani, syarat sah perkawinan itu ada 2, yaitu :
Perempuan itu halal bagi laki-laki yang akan mengawininya, tidak diharamkan oleh sebab-sebab yang mengharamkan perkawinan.
Pernikahan itu disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat hukum.

Sedangkan syarat perkawinan yang diatur menurut pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah sebagai berikut :
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belaum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia dan atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dari garis keturunan ke atass selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Pada pasal 7 disyaratkan batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16 tahun bagi calon mempelai perempuan.

B. RUKUN PERKAWINAN

Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
Calon suami
Calon istri
Wali nikah
Dua orang saksi dan
Ijab dan Kabul (pasal 14 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia)

C. WALI

Yang dimaksud dengan wali di sini adalah wali nikah. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagai calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Menurut ketentuan hukum Islam, wali nikah disyaratkan harus muslim, berkal dan baligh. Adapaun dalam praktiknya wali dibedakan menjadi dua macam :
Wali nasab

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Keempat kelompok wali tersebut adalah sebagai berikut :
Kelompok kerabat laki-laki garis luruh ke atas, yakni : ayah, kakek dari pihak ayah dst.
Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Kelompok saudra laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya yidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Wali hakim

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

D. WANITA YANG HARAM DINIKAH

Larangan kawin dengan seorang perempuan itu ada dua macam, pertama larangan muabbad, yaitu larangan untuk kawin selamanya. Kedua, larangan muaqqat, yaitu larangan kawin dengan seorang perempuan tersebut karena keadaan tertentu, apabila keadaan itu berubah, maka larangan itu dicabut. Misalnya menikah dengan kakak atau adik perempuan dari istri yang putus pekawinannya karena meninggal dunia.

Larangan perkawinan yang abadi disebabkan oleh tiga hal :
Karena ada hubungan nasab
Ada hubungan mushahharah (sebab tali perkawinan, misalnya : ibu mertua, atau anak tiri/ jika ba’da dukhul)
Karena ada hubungan susuan.

Sebagaimana diatur dalam firman Allah :

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’ : 23)

Dari kandung ayat tersebut dapat dirinci jenis-jenis perempuan yang dilarang untuk dinikahi adalah sebagai berikut :
Karena pertalian nasab :
dengan seorang wanita yang melahirkannya atau yang menurunkannya atau keturunannya.
dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
dengan seorang wanita yang melahirkan istri atau bekas istri
dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri, kecuali putusnya hubungan dengan bekas istri qabla dukhul.
dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
dengan seorang wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
dengan seorang wanita saudara sesusuan, atau kemenakan sesusuan ke bawah.
dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek sesusuan ke atas.
dengan wanita yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Karena pertalian kerabat semenda :
Karena pertalian susuan :

Ada pula larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Seorang pria juga dilarang menikah dengan wanita lebih dari empat orang. Larangan lainnya adalah menikah dengan bekas istri/rujuk yang ditalak tiga (kecuali diselang manikah dengan pria lain yang ba’da dukhul), atau dengan bekas istri yang dili’an.

A. PUTUSNYA PERNIKAHAN DAN AKIBATNYA

Perkawinan putus karena :
Kematian
Perceraian dan
Atas putusan pengadilan




HALANGAN PERNIKAHAN

A. PENDAHULUAN
Untuk sahnya suatau akad nikah, disyaratkan agar tidak ada larangan-larangan yang menghalangi seorang wanita untuk dinikahi. Artinya, boleh dilakukan akad nikah terhadap wanita tersebut. Larangan-larangan itu ada dua bagian: yang pertama keharaman nikah untuk selama-lamanya (mu'abbad). Sedangkan yang kedua adalah karena sebab (yang lain) yang sebagian menyebabkan keharaman untuk selama-lamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat sementara (mu'aqqat).

1. Wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya (mu'aabbad)
Sebab wanita haram dinikahi untuk selama-lamanya yang dikarenakan hubungan nasab (Qorobah), hubungan sepersusuan, hubungan mushaharah (semenda) dan karena sumpah li'an selain tercantum dalam kitab-kitab fiqih klasik juga tercantum secara global dalam pasal 8 UUP No.1/1974 dan tercantum secara terperinci dalam KHI pada bab VI pasal 39. adapun perincian lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Haram dinikahi karena hubungan nasab
Para ulama sepakat tentang Keharaman ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 23 yang berbunyi:
???? ????? ??????? ??????? ???????? ??????? ???????? ????? ???? ????? ?????...
"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki atau perempuan"
Berdasarkan ayat di atas, jika diperinci adalah:
1. Ibu: yang dimaksud adalah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas yaitu ibu dan nenek baik dari pihak ayah atau ibu dan seterusnya ke atas.
Pengharaman itu berlaku umum baik terhadap ibu dalam pengertian yang sebenarnya (kandung), yaitu yang melahirkan secara langsung maupun ibu dalam pengertian majazi, yaitu nenek, dari pihak ibu maupun ayah dan seterusnya ke atas .
2. Anak perempuan: yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu saja.
4. Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Haram dinikahi karena ada hubungan susuan
Seluruh madzhab sepakat tentang shahihnya hadis yang berbunyi:
???? ?? ?????? ?? ???? ?? ????? (???? ??????? ????? ???? ???? ????? ???????? ???? ????)
"Apa yang di haramkan karena susuan sama dengan apa yang diharamkan karena nasab".
Berdasarkan hadis ini, maka setiap wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab, haram pula dinikahi karena hubungan persusuan .
Mengenai larangan nikah karena hubungan susuan juga berdasarkan pada lanjutan surat an-Nisa ayat 23:
???????? ????? ??????? ???????? ?? ???????...
"(diharamkan bagimu) ibu-ibumu yang menyusukan kamu dan saudara perempuan sepersusuanmu…"
Dari dua dalil di atas bisa diperinci hubungan susuan yang diharamkan:
1. Ibu susuan, ya'ni ibu yang menyusui.
2. Nenek susuan, ya'ni ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami ibu yang menyusui itu, karena suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan.
3. Bibi susuan, ya'ni saudara perempuandari ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya.
4. Kemenakan susuan perempuan, ya'ni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
5. Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu ayah.

Sebagai tambahan penjelasan sekitar susuan ini, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu:
a. yang dimaksud susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan diberikan pada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
b. Ulama telah sepakat bahwa susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan yaitu susuan yang diberikan pada anak yang masih memperoleh makanan dari air susu.

3. Haram dinikahi karena ada hubungan mushaharah (semenda)
Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan itu menyebabkan dilarangnya suatu pernikahan . Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat an-Nisa. Wanita-wanita itu adalah sebagai berikut:
a. Istri ayah atau ibu tiri, untuk ini tidak disyaratkan harus telah adanya hubungan seksual antara ibu tiri dengan ayah.
...??? ???? ?? ??? ??????...
..Dan jangnalah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi ayahmu..
b. Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah.
...?????? ???????..
…(dan diharamkan bagimu) istri-istri anakmu…
c. Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas baik garis ibu atau ayah.
...?????? ??????...
…(dan diharamkan bagimu) ibu istri-istrimu…
d. Anak tiri, dengan syarat kalau terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut.
...???????? ?????? ?? ?????? ?? ?????? ?????? ????? ???...
…dan anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah engkau campuri…

4. Haram dinikahi karena sumpah li'an
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan saksi empat orang, maka suami diharuskan sumpah empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakanya dusta.
Istri mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau bersumpah seperti sumpah suami di atas 4 kali dan yang kelima kalinya diteryskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan suami itu benar. Sumpah demikian dinamakan sumpah lian. Landasan dalam masalah ini adalah firman Allah SWT:
?????? ????? ??????? ??? ??? ??? ????? ??? ?????? ?????? ????? ???? ?????? ????? ??? ??? ???????? ???????? ?? ???? ???? ???? ?? ??? ?? ???????? ????? ???? ?????? ?? ???? ???? ?????? ????? ??? ??? ???????? ???????? ?? ??? ???? ????? ?? ??? ?? ????????
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwasanya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atas dirinya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpah empat kaliatas nama Allah, bahwasanya suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atas dirinyajika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Dari ayat ini maka para ulama fiqih berpendapat bahwa sumpah li'an mengakibatkan suami istri harus berpisah (cerai) dan tidak boleh balik lagi untuk selama-lamanya. Tapi jika suami mengakui sendiri tentang kebohonganya itu maka menurut Syafi'I, Imamiyah, Hambali dan Maliki tetap haram untuk menikah lagi. Sedangkan menurut Hanafi bahwa mula'anah itu seperti talak, sehingga istrinya itu tidak haram untuk selama-lamanya.
adapun dalam KHI, larangan perkawinan dengan istri yang sudah dili'an tercantum dalam pasal 43 ayat 1 pont b.
2. Wanita yang haram untuk dinikahi tidak untuk selama-lamanya (mua'qqat).
Yaitu mereka yang haram dinikahi dalam waktu tertentu, tidak selamanya. Jika penghalang yang dimaksud sudah hilang maka diperbolehkan menikahinya. Mereka itu adalah wanita-wanita yang tersebut sebagai berikut:
a. Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang lelaki dalam waktu yang bersamaan, maksudnya mereka itu haram dimadu.
Apabila mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang leki-laki mengawini seorang wanita kemudian wanita meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu tidak haram mengawini adik atau kakak perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia tersebut. Hal ini juga senada seperti yang tercantum dalam pasal 41 KHI.
Keharaman mengumpul wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebut dalam lanjutan surat an-Nisa ayat 23:
??? ?????? ??? ??????? ??? ?? ?? ???
"(Dan diharamkan kamu sekalian) mengumpul (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara…"
Keharaman mengumpul dua wanita dalam satu perkawinan, ini juga diperlakukan terhadap dua wanita yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan.
b. Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Dalam KHI tercantum pada pasal 40 point a.
Keharaman ini disebut dalam surat an-Nisa ayat 24:
...????????? ?? ??????...
"..(Dan diharamkan juga) wanita yang bersuami…"
c. Wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan 234 juga tercantum dalam pasal 40 point b KHI.
d. Wanita yang ditalak tiga, haram nikah lagi dengan mantan suaminya, kecuali sudah nikah lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 229-230. hal ini juga tercantum dalam pasal 43 KHI ayat 1 point a dan pada pasal 43 ayat 2.
e. Wanita yang sedang melakukan ihram, baik umrah maupun haji, tidak boleh dikawini. Hal ini berdasarkan hadis Nabi:
?? ????? ???????? ??? ?????? ??? ????
"Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh meminang".
Adapun dalam KHI bisa dilihat dalam pasal 41 ayat 1.
f. Wanita musyrik. Maksudnya ialah manita yang menyembah selain Allah. Ketentuan ini bisa kira dapati pada surat al-Baqarah ayat 24, adapun berdasarkan ayat 5 surat al-Maidah, wanita ahli kitab, yaitu yahudi dan nasrani boleh dinikahi. Adapun dalam KHI pasal 40 pont c disebutkan pelarangan menikah dengan wanita yang tidak beragama Islam tanpa mengkhususkan wanita ahl al-kitab. Selanjutnya di dalam pasal 44 KHI dinyatakan bahwa wanita Islam dilarang melangsungkan penikahan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam juga.
g. Wanita haram dinikahi oleh laki-laki yang sudah mempunyai empat istri. Dalam surat an-Nisa' ayat 3, seorang laki-laki boleh mempunyai istri maksimum empat orang. Haram nikah lagi dengan wanita kelima dan seterusnya kecuali setelah salah satu dari empat istrinya sudah dicerai dan habis masa iddahnya. Hal ini juga tercantum dalam pasal 42 KHI.

B. Penutup
Demikian pembahasan mengenai halangan pernikahan, maka dapat kami simpulkan bahwa secara garis besar halangan perkawinan ada dua, yaitu yang bersifat selama-lamanya (mu'abbad) dan sementara (mu'aqqad). Adapun halangan yang dalam hal ini bersifat selama-lamanya atau tetap yaitu disebabkan karena masih ada hubungan nasab, rada'ah, musaharah dan sumpah li'an. Sementara halangan sementara yaitu karena ada sebab yang menghalangi pernikahan itu dan kalau sebab itu telah hilang, maka dapat melangsungkan pernikahan.
Berkenaan dengan larangan pernikahan yang termuat dalam fikih, UUP dan KHI tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqih, UUP dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah normative yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted .
Saya berharap bapak dapat membantu saya dalam menyelesaikan masalah yang saya hadapi, tentunya dari segi hukum.

Seorang teman saya, pernah dengan tidak sepenuhnya sadar telah menandatangani sebuah surat, yang setelah diketahui beberapa saat kemudian bahwa itu adalah surat perjanjian pernikahan. Wanita yang juga teman kerjanya telah menjebaknya untuk menandatangani surat tersebut. Usia teman saya baru 23 saat itu, dan wanita itu sekitar 40an, saya juga kurang tahu pasti tepatnya.
Lalu wanita tersebut memaksa teman saya ini untuk menikahinya secara resmi karena sudah ada tanda tangannya pada surat perjanjian tersebut. Teman saya terpaksa mengikuti kemauan wanita tersebut karena takut di laporkan ke pihak berwajib karena telah ingkar terhadap surat perjanjian dan dimasukkan ke sel. Mengingat kondisi wanita tersebut kaya sedangkan teman saya ini kurang mampu, dan dicocokkan kondisi para penegak hukum di Indonesia maka penjara bukanlah hal yang tidak mungkin baginya, dan ia takut.
Teman saya sebenarnya amat sangat tidak mau, sangat merasakan paksaan saat perkawinan itu, bahkan orang tua nya tidak tahu pada saat itu (yang menjadi walinya adalah pamannya) dan mereka tidak menyetujuinya setelah tahu.Karena dari awal memang merasakan paksaan, teman saya tidak bersedia tinggal bersama wanita itu bahkan pada hari perkawinannya dia tidak mau tinggal disana. Lagi-lagi wanita itu mengancam akan memasukkannya ke penjara (tidak tahu dengan alasan apa). Akhirnya teman saya bersedia hanya menginap dirumah wanita tersebut hanya pada malam hari dan itu bertahan selama kurang dari 1 minggu. Selebihnya teman saya ini pulang ke rumah sendiri dan tidak peduli akan dipenjara sekalipun. Dan wanita tersebut tidak memaksanya lagi.

Kejadian itu berlangsung 4 tahun yang lalu.Sekarang dia sudah menemukan wanita lain yang akan dicintai dan berniat dinikahinya. Tapi setelah membaca tentang UU perkawinan, bila ia menikah lagi maka akan dianggap tidak sah, dan dapat dibatalkan secara hukum karena ia statusnya masih terhitung suami orang lain. Dan dia sangat depresi saat ini karena masalah ini, takut kembali dijebak dan diancam kepenjara, tapi ingin segera menuntaskan masalah agar bisa segera menikah dengan orang yang dicintainya.
Saya menganjurkan agar teman saya ini mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan :- adanya unsur paksaan- orang tuanya masih hidup pada saat itu, dan tidak menyetujui adanya perkawinan itu- diantara mereka terlibat ketidakcocokan/pertengkaran selalu.- agamanya berbeda, dimana teman saya Kristiani dan wanita tersebut muslim (padahal setau saya wanita muslimah tidak boleh menikah dengan seorang non muslim, bener ga pak? Dan dalam ajaran Kristiani pun tidak disahkan adanya perkawinan campuran seperti tersebut) Dan khususnya dalam hal ini teman saya ini TIDAK BERSEDIA pindah agama. (pada saat berlangsungnya perkawinan secara muslim tersebut dia hanya membaca apa yang di paksakan padanya)

Pertanyaan saya :

1. Apakah perkawinan tersebut sah secara hukum melihat adanya alasan-alasan diatas?
2. Apakah pembatalan secara hukum yang saya anjurkan dapat dilakukan? Dan bagaimana tata caranya?
3. Apabila tidak bisa dilakukan pembatalan, apakah cara terakhir adalah dengan melakukan perceraian? dan bagaimana pula caranya?
4. Dan informasi paling penting yang ada saat ini adalah teman saya ini tidak memegang satupun akta perkawinan tersebut atau biasa disebut buku nikah (mengingat perkawinannya dilakukan secara islam). Apakah bisa melakukan pembatalan perkawinan atau perceraian tanpa adanya buku nikah??? (Teman saya sama sekali tidak mau bertemu dengan wanita tersebut sebelum di pengadilan)

Saya sangat mohon bantuan dari Bpk Wahyu, agar kami tahu apa yang harus kami lakukan dan bisa segera menyelesaikan masalah rumit ini..
Saran dari bapak akan sangat membantu kami, karena kami buta akan seluk beluk hukum.Tolong ya pak..

Terima kasih Pak Wahyu.
Salam Hormat
Lda


JAWAB :

1) Dilihat dari alasan-alasan yang disampaikan memang dapat dipastikan perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan seperti tidak ada izin dari kedua orangtua dan masalah perbedaan Agama. Untuk masalah perbedaan agama, dalam praktiknya bukanlah unsur utama untuk pembatalan perkawinan mengingat pada umumnya pasangan mempelai tersebut mensiasatinya dengan melakukan perkawinannya diluar negeri lalu mencatatkan di catatan sipil atau melalui permohonan izin ke Pengadilan.

2) Untuk pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan).
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri (orang tua), suami atau istri yang bersangkutan atau pejabat yang berwenang. Pembatalan perkawinan diajukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Artinya, pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal suami istri tersebut.
Dari uraian yang disampaikan, mengingat perkawinan telah berlangsung selama 4 tahun maka pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan mengingat menurut Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan menyatakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah ancaman berhenti atau kekeliruan diketahui setelah iu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
3) Upaya yang terakhir menurut saya adalah memang melalui mekanisme perceraian. Mengenai cara mengajukan gugatan perceraian adalah sebagai berikut :
a) mengingat perkawinan dilangsungkan secara Islam maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Agama ditempat tinggalnya, didalam gugatannya tersebut diberitahukan tentang maksud bercerai disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang utk keperluan itu.
b) Setelah Pengadilan menerima dan mempelajari surat gugatan cerai dimaksud maka selambat-lambatnya dalam 30 hari memanggil penggugat dan tergugat untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
4) Bisa saja perceraian dilakukan tanpa adanya buku nikah yang dipegangnya karena sesungguh buku nikahnya tersebut tetap ada khan, hanya aslinya dipegang si Istri ? Jika istri tidak memberikan buku nikah suami, apakah teman anda tsb menyimpan salinannya? jika ada salinannya maka hal tersebut untuk sementara sudah cukup untuk dijadikan dasar gugatan cerai namun jika asli buku nikah dan atau salinan (fhotocopy)-nya tidak punya juga, saran saya Coba tanyakan ke KUA tempat dicatatnya perkawinan tersebut dan upayakan untuk minta salinan buku nikahnya. Umumnya KUA tetap menyimpan salinan buku nikah tersebut dan dapat memberikan salinannya jika diminta.

Implementasi Undang-Undang Perkawinan

Penulis: Oleh : Al Ashartanto SH
edisi: 19/Feb/2009 wib
...Tetapi, maraknya perkawinan siri atau perkawinan yang hanya dilakukan menurut agama tanpa dicatat menurut peraturan yang berlaku menyiratkan bahwa Undang-undang tentang perkawinan kurang mempunyai wibawa lagi di tengah-tengah masyarakat.....
PERKAWINAN adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Begitulah arti perkawinan menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan. Undang-undang tersebut dibuat agar perkawinan di Indonesia mendapat payung hukum yang jelas. Selain itu, juga untuk meminimalisir hubungan antara pria dan wanita yang berhubungan tanpa ikatan yang jelas.

Dalam Undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatatkan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi, maraknya perkawinan siri atau perkawinan yang hanya dilakukan menurut agama tanpa dicatat menurut peraturan yang berlaku menyiratkan bahwa undang-undang tentang perkawinan kurang mempunyai wibawa lagi di tengah-tengah masyarakat.

Isu lain yang menarik adalah isu poligami. Sekarang ini terkesan bahwa poligami adalah hal yang wajar dan biasa, padahal berdasarkan undang-undang tersebut dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu pula sebaliknya. Pengecualian bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri hanya apabila diizinkan oleh Pengadilan. Izin tersebut dapat diberikan dengan alasan-alasan tertentu antara lain istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri, mendapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat memberikan keturunan. Selain itu, juga harus ada jaminan bahwa suami akan bertindak adil dan mampu menjamin keperluan istri-istri dan anak-anaknya.

Fenomena lain yang masih hangat adalah kasus seorang Kyai yang menikahi gadis dibawah umur. Hal ini bertentangan dengan undang-undang perkawinan karena batas usia untuk menikah bagi pria setidak-tidaknya telah berumur 19 tahun dan wanita sudah berumur 16 tahun.

Apabila syarat umur tersebut belum terpenuhi maka bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau dari pejabat yang ditunjuk oleh orang tua dari kedua belah pihak. Jika terjadi keberatab, keluarga, pejabat yang berwenang maupun pasangan suami istri tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Pengajuan pembatalan perkawinan sendiri dapat diajukan kepada Pengadilan dalam wilayah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan atau di wilayah hukum suami atau istri berdomisili. Perkawinan juga dapat dimohonkan untuk dibatalkan apabila pada saat dilangsungkan perkawinan pasangan suami atau istri tersebut berada di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Dalam perkawinan juga mengenal yang namanya perjanjian perkawinan, dimana perjanjian ini dilaksanakan atau dilangsungkan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Selama perjanjian perkawinan itu berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah, kecuali bila dan kedua belah pihak ada perjanjian baru untuk mengubah perjanjian lama yang tidak merugikan salah satu pihak.

Dalam Undang-undang perkawinan juga mengatur tentang harta dalam perkawinan. Pada prinsipnya harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Apabila dalam suatu perkawinan terjadi sebuah perkawinan maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Pada hakekatnya, sebuah perkawinan dapat putus oleh beberapa sebab seperti kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perceraian sendiri hanya dapat dilakukan setelah ada gugatan dari salah satu pihak dan juga setelah dilakukan sidang di depan Pengadilan. Seorang hakim juga wajib untuk menyarankan dan melakukan upaya perdamaian sebelum memutus suatu perkara gugatan cerai. Perceraian sendiri dapat dilakukan apabila suami atau istri mempunyai alasan yang jelas untuk melakukan perceraian.

Walaupun sudah bercerai baik suami maupun istri tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya apabila dalam perkawinan tersebut dikaruniai anak. Selain itu, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak juga wajib ditanggung.

Di Indonesia juga mengenal perkawinan campuran, yakni perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda kewarganegaraan, atau dalam arti lain satu pihak adalah orang Indonesia dan pihak lain adalah warga negara asing. Bagi orang yang ingin melakukan perkawinan campuran, orang tersebut dapat mendapatkan status kewarganegaraan dan kehilangan status kewarganegaraan berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur tentang kewarganegaraan.

Pada prinsipnya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawianan bertujuan untuk mengatur sistem dan tata cara perkawinan yang sah tidak hanya menu rut agama atau kepercayaan masing-masing tapi juga melegalkan di depan hukum.(*)

No comments: