Sunday, June 13, 2010

APA YANG KITA NAMAKAN CINTA …….???

Aku sucikan kedua bibirku dengan api suci, berharap jiwaku dapat bercerita tegas tentang Cinta, namun kusadar ternyata jiwaku tak sanggup mengungkapkan Cinta itu dengan kata-kata.

Saat Cinta menyapa, kata-kata remuk dalam hembusan nafas, dan nyanyian di hatiku berubah sunyi senyap.

Oh, kau yang bertanya padaku apa itu Cinta, yang aku percaya atas rahasia-rahasia dan keajaibannya, sekarang, sejak Cinta membungkus diriku ke dalam selubungnya, aku mendatangimu untuk belajar dan menghayati kebaikan Cinta.

Siapa yang sanggup menjawab pertanyaan ini? Aku pun bertanya pada sesuatu yang bersemayam dalam diriku; aku pun mencari siapa diriku ini.

Di antara kamu sekalian, siapakah yang sangggup menyingkap kedalaman diriku dan menguak jiwaku menuju jiwaku sendiri?

Berceritalah padaku, Oh Dewi Cinta, nyala api apakah yang membakar hatiku ini dan mengganyang kekuatanku hingga aku larut dalam keadaanku sendiri.

Adakah tangan-tangan halus dan kasar sedang bersembunyi di balik genggaman jiwaku; adakah pula anggur bercampur kebahagiaan yang memahitkan dan penderitaan yang memaniskan hingga membuncahi hatiku?

Adakah sayap-sayap yang menyelimuti bantal tidurku ketika malam ditelan larut sunyi, membangunkan aku dan melihat tak seorang pun yang tahu itu apa?

Apakah aku menatap pada sesuatu yang ghaib, merenungkan sesuatu yang tak aku pahami, ataukah mencecap perasaan yang tak bisa aku rasakan?

Di setiap desah nafasku ada sebuah duka cita yang lebih indah berlayar menyisir gema gelak tawa dan lebih memikat daripada kesenangan.

Mengapa aku harus menyerahkan diriku kepada kekuatan yang samar yang kapanpun bisa membunuhku kemudian menghidupkanku lagi sampai Fajar merekah mengisi bilikku dengan cahayanya?

Hantu-hantu keterjagaan bergetar di antara kelopak mataku yang kuyu, dan bayangan mimpi-mimpiku melayang-layang di atas pembaringan berbatu.

Lalu apakah itu yang kita namakan Cinta? Katakana , katakana padaku, rahasia apa yang tersembunyi di balik masa lalu yang meresap semua kesadaranku?

Apakah kesadaran itu akibat dari sesuatu dan berasal dari sesuatu itu pula?

Apakah kewaspadaan merupakan mode dari Kehidupan dan Kematian adalah sebuah mimpi, mimpi yang lebih ganjil daripada Kehidupan dan lebih dalam daripada Kematian?

Ceritakan padaku, kawan, masihkah ada seorang diantara kamu yang enggan bangkit dari tidur Kehidupan saat Cinta telah menyentuh dan membuncah usik dalam jiwanya dengan ujung jari-jemarinya?

Siapakah diantara kalian yang tidak akan meninggalkan ibu-bapaknya saat seorang wanita perawan suci menggundahkan hatinya karena cinta memanggil-manggil?

Siapakah di antara kalian yang tidak akan mengurangi luasnya lautan nun jauh itu, melintasi gurun sahara, dan mendaki puncak Tursina demi bertemu dengan wanita tambatan hatinya?

Hati pemuda siapakah yang tidak akan mengikuti akhir dari dunia perawan di mana aroma nafasnya sedap, suaranya manis, dan tangannya lembut menakjub, mempesonakan jiwanya?

Adakah sesuatu yang tidak akan membakar hatinya laksana dupa di hadapan dewa yang mendengarkan permohonannya dan menyambut baik doanya?

Kemarin aku berdiri di sebuah gerbang pintu kuil sambil aku bertanya satu per satu pada orang yang berlalu-lalang di hadapanku tentang misteri dan kebaikan Cinta.

Di hadapanku saat itu lewat seorang kakek, berwajah sayu, berbadan kurus kerontang, berkeluh kesah dan berkata:
“Cinta itu adalah kelemahan alami yang merangkai dalam bilik hati kita lewat manusia pertama.”

Namun seorang pemuda jantan memberengut:
“Cinta itu mempertautkan kisah masa kini kita dengan kisah masa lalu dan akan datang.”

Kemudian seorang pemudi dengan memelas berkeluh kesah berkata:
“Cinta itu adalah racun mematikan, yang ditulari oleh ular hitam berbisa, merayap dari gua-gua neraka. Racunnya Nampak sesegar embun, sehaus jiwa yang melahapnya; namun setelah itu kemabukannya yang pertama akan menyebabkan peminumnya sakit hingga mati secara perlahan-lahan.”

Kemudian seorang gadis cantik nan angggun, berpipi merah delima, tersenyum simpul dan berkata:
“Cinta adalah anggur yang dituangkan pengantin perempuan Fajar, ia menguatkan jiwa-jiwa yang teguh, dan memungkinkan mereka untuk menuruni bintang-bintang.”

Setelah gadis itu, seorang lelaki berjubah hitam, berjenggot lebat, mengeruutkan dahinya, lalu berkata:
“Cinta itu adalah suatu kedunguan yang buta, tidak mengerti akhir dan awal darimasa muda.”

Seorang yang lain, sambil tersenyum, bertutur:
“Cinta itu sebuah pengetahuan Ilahiah yang memungkinkan manusia melihat seperti melihatnya dewi-dewi di kayangan.”

Kemudian seorang lelaki buta, sambil meraba-raba jalannya dengan tongkat, ia menimpali:
“Cinta itu kabut samar yang menjaga jiwa dari rahasia keberadaan yang tajam, sehingga hati dapat melihat hantu-hantu yang menakutkan dengan nafsu di antara bebukitan, dan hanya mendengar gema dari tangisan suara-suara ceruk lembah.”

Seorang pemuda, dengan biola di tangannya yang sedang ia mainkan, bernyanyi:
“Cinta adalah cahaya ghaib yang terpancar dari isi jiwa yang membakar dan menyinari bumi. Cinta itu memungkinkan kita semua untuk mengerti dan paham bahwa Hidup itu selaksa mimpi yang indah di antara keterjagaan dan yang lainnya.”

Masa lalu yang samar, menyeret kakinya seperti kain usang, berkata dalam nada gemetar:
“Cinya adalah ketenangan tubuh yang menggugurkan kesenyapan kubur, kedamaian jiwa yang bersemayam di dalam kedalaman Keabadian.”

Dan seorang bocah ingusan berusia lima tahun, berkata sambil ngakak:
“Cinta itu adalah ibu dan ayahku, tak seorang pun mengerti Cinta kecuali ibu dan ayahku.”

Demikian semua orang yang kutanya menjawab Cinta sebagai sebuah khayalan dari harapan-harapan dan frustasi-frustasi mereka, mereka meninggalkan suatu misteri.

Lalu sayup-sayup terdengar sebuah suara memantul dari dalam kuil:
“Hidup itu terbagi ke dalam dua bagian, satu beku, dan yang lain terbakar: bagian yang terbakar itu adalah Cinta.”

Setelah itu barulah aku memasuki kuil, bergembira riang dan berdoa:
“Buatkanlah aku, Oh Tuhanku,
Makanan untuk bara api yang berkobar…
Hidangkanlah untukku, Oh Tuhanku,
Makanan demi api suci……
Amin.”

(Kahlil Gibran)

No comments: