INI ITU FILSAFAT
Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya, kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin
Karena kita sendiri juga kurang paham dan belum berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki latar belakang yang unik.
Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang dilukiskan atau diwakilinya.
Submenu terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.
Pada subemenu sejarah , kita akan melihat ringkasan sejarah filsafat Timur dan Barat. Kita akan berjumpa dengan pergulatan jaman dengan para pemikir, filsuf dan masyarakatnya. Kita mulai dengan mengenal sejumlah nama-nama : jaman atau periode apa ia disebut, siapa-siapa filsuf yang berpengaruh, pemikiran atau filsafat apa yang berkembang, dan seterusnya. Uraian yang lebih komprehensif tentang nama-nama ini justru terdapat dalam pembahasan berikutnya, seperti dalam aliran , cabang, filsuf hidup dan karyanya serta Filsafat hari ini ; sambil nama-nama itu sesekali diuraikan dengan turut menampilkan semangat jamannya.
Last but not least, filsafat terbagi dalam beberapa cabang dan aliran. Kita akan mengetahuinya melalui submenu cabang dan aliran yang memang dikhususkan untuk pembahasan itu.
TERMINOLOGI
Memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun, sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau
khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya".
Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di
antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based on logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int. Dict.). Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan "ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya dan ke mana tujuannya. Maka, jika para filsuf ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab, "Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk percaya kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini, para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan Allah. Tugas
filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab pertanyaanpertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.
Sampai dengan kedua pengertian di atas, marilah kita simak apa kata Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi pengertian kita tentang "filsafat":
1. Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2. Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
3. Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
4. Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5. Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita.
Kalau kita disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita,
filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu.
Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu
hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri.
"Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya.
Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri.
Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran.
Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi
metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
1. Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
2. Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
3. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
4. Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
1. Aristoteles:
Manusia adalah animal rationale. Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk.
2. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum. Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama.
1. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia.
2. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya.
3. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu.
4. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi.
5. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.
Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminology "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu dan agama.
SEJARAH (1)
Manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitar memiliki hubungan yang erat. Keempatnya-lah yang telah menyusun dan mengisi sejarah filsafat dengan masing-masing karakteristik yang dibawanya. Berdasar keempat hal tersebut juga, pada umumnya para filsuf sepakat untuk membagi sejarah filsafat menjadi 3 tradisi besar, yakni Sejarah Filsafat India, Sejarah Filsafat Cina, dan Sejarah Filsafat Barat. Dua pembahasan pertama diuraikan pada submenu Sejarah I ini. Sedangkan, pembahasan tentang Sejarah Filsafat Barat dapat ditemukan dalam submenu Sejarah II
Filsafat India
Filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai tempat keterasingan, sebagai penjara. Seorang anak di India harus belajar bahwa ia karib dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia harus menyambut air yang mengalir dalam sungai, tanah subur yang memberi makanan, dan matahari yang terbit. Orang India tidak belajar untuk menguasai dunia, melainkan untuk berteman dengan dunia.
Jaman Weda (2000-600 S.M.)
Bangsa Arya masuk India dari utara, sekitar 1500 S.M. Literatur suci mereka disebut Weda. Bagian terpenting dari Weda untuk filsafat India adalah Upanisad, yang sepanjang sejarah India akan merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan.
Suatu tema yang menonjol dalam Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan, diri manusia. Brahman adalah segi obyektif, makro-kosmos, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman.
Jaman Skeptisisme (200 S.M.-300 M.)
Sekitar tahun 600 S.M. mulai suatu reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi berhubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajar ketaatan pada huruf kitab suci, tetapi ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Para rahib mengajar suatu "metafisika" yang juga tidak sampai ke hati orang biasa. Reaksi datang dalam banyak bentuk. Yang terpenting adalah Buddhisme, ajaran dari pangeran Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan: bagaimana manusia mengurangi penderitaannya, bagaimana manusia mencapai terang budi.
Reaksi lain datang dari Jainisme dari Mahawira Jina. Di samping itu mulai juga kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu, dua bentuk agama yang lebih menarik daripada ritualisme dan spekulasi para imam dan rahib.
Sebagai kontra-reformasi, muncul dalam Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut "ortodoks", karena Buddhisme dan Jainisme, yang tidak berdasar Weda, dianggap bidaah). Yang terpenting dari sekolah ini adalah Samkhya dan Yoga. Yoga, dari kata "juj", "menghubungkan", mengajar suatu jalan ("marga") untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya (artinya: "jumlah", "hitungan") mengajarkan tema terpenting hubungan alam-jiwa, kesadaran materi, hubungan Purusa-Prakriti.
Jaman Puranis (300-1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Buddhisme sekarang lebih penting di negara-negara tetangga daripada di India sendiri. Pemikiran India dalam "abad pertengahan"-nya dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi dewa-dewa. Banyak contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana.
Jaman Muslim (1200-1757)
Dua nama menonjol dalam periode muslim, yaitu nama pengarang sya'ir Kabir, yang mencoba untuk memperkembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh), yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.
Jaman Modern (setelah 1757)
Jaman modern, jaman pengaruh Inggris di India, mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan perkembangan kembali dari nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama-nama terpenting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833), yang mengajar suatu monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan khotbah di bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902), yang mengajar bahwa semua agama benar, tapi bahwa agama Hindu paling cocok untuk India; Gandhi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore(1861-1941), pengarang syair dan pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide dari luar.
Sejumlah pemikir India jaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur, yang dianggap terlalu mistik dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu duniawi. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindukristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Sementara itu, filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas makrokosmos dan mikrokosmos.
Filsafat Cina
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina.
Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar:
Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya "tao" ("jalan"), "te" ("keutamaan" atau "seni hidup"), "yen" ("perikemanusiaan"), "i" ("keadilan"), "t'ien" ("surga") dan "yin-yang" (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, "guru dari suku Kung") hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao ("jalan" sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah "jalan
manusia". Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan ("yen"), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse ("guru tua") yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan "jalan manusia" melainkan "jalan alam"-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita
tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran "neti", "na-itu": "tidak begitu") dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut "docta ignorantia", "ketidaktahuan yang berilmu").
Yin-Yang
"Yin" dan "Yang" adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah "cinta universal", kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek. Etika Mo Tse mengenal suatu prinsip bahwa Ming Chia atau "sekolah nama-nama", menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan.
Ming Chia
Ming Chia, yang juga disebut "sekolah dialektik", dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti "eksistensi", "relativitas", "kausalitas", "ruang" dan "waktu".
Fa Chia
Fa Chia atau "sekolah hukum", cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesarpembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3)
okkultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan "Nirwana" dari ajaran Buddha, yaitu "transendensi di seberang segala nama dan konsep", "di seberang adanya".
Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Demikian sejarah filsafat yang berlangsung Timur: India dan Cina. Berikutnya, kita akan melihat sejarah filsafat Barat, yang dimulai di Asia Kecil dan memuat pemikir-pemikir dan aliran-aliran dari Eropa, Asia, Afrika dan Amerika. Termasuk filsafat Barat: filsafat Yunani, filsafat Helenisme, "filsafat Kristiani", filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.
SEJARAH (2)
Sejarah filsafat Barat dibagi dalam empat periode besar:
Jaman Kuno Permulaan: Filsafat Pra-Sokrates di Yunani
Sejarah filsafat Barat mulai Milete, di Asia kecil, sekitar tahun 600 S.M. Pada waktu itu Milete merupakan kota yang penting, di mana banyak jalur perdagangan bertemu di Mesir, Itali, Yunani dan Asia. Juga banyak ide bertemu di sini, sehingga Milete juga menjadi suatu pusat intelektual. Pemikir-pemikir besar di Milete lebih-lebih menyibukkan diri dengan filsafat alam.
Mereka mencari suatu unsur induk ("archè") yang dapat dianggap sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales (± 600 S.M.) airlah yang merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximander (± 610-540 S.M.), segala sesuatu berasal dari "yang tak terbatas", dan menurut Anaximenes (± 585-525 S.M.) udara-lah yang merupakan unsur induk segala sesuatu.
Pythagoras (± 500 S.M.) yang mengajar di Itali Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri "filsuf". Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatannya sebagai suatu biara di bawah perlindungan dari dewa Apollo. Sekolah Pythagoras sangat penting untuk perkembangan matematika. Ajaran falsafinya mengatakan antara lain bahwa segala sesuatu terdiri dari "bilangan-bilangan": struktur dasar
kenyataan itu "ritme".
Dua nama lain yang penting dari periode ini adalah Herakleitos (± 500 S.M.) dan Parmenides (515-440 S.M.). Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu "mengalir" ("panta rhei"): segala sesuatu berubah terus-menerus seperti air dalam sungai. Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru memang tidak berubah. Segala sesuatu yang betul-betul ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan.
Puncak Jaman Klasik: Sokrates, Plato, Aristoteles
Puncak filsafat Yunani dicapai pada Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates (± 470-400 S.M.), guru Plato, mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya Plato. Plato (428-348 S.M.) menggambarkan Sokrates sebagai seorang alim yang mengajar bagaimana manusia dapat menjadi berbahagia berkat pengetahuan tentang apa yang baik.
Plato sendiri menentukan, bersama Aristoteles, bagi sebagian besar dari seluruh sejarah filsafat Barat selama lebih dari dua ribu tahun. Dunia yang kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang sungguh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke "surga ide-ide". Kalau jiwa "mengetahui" sesuatu, pengetahuan ini memang bersifat "ingatan". Jiwa pernah berdiam dalam kebenaran dunia ide-ide, dan oleh karena itu pengetahuan mungkin sebagai hasil "mengingat".
Filsafat Plato merupakan perdamaian antara ajaran Parmenides dan ajaran Herakleitos. Dalam dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia yang kelihatan, dunia kita yang tidak sempurna, segala sesuatu mengalami perubahan. Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemolgi, antropologi, teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam dan estetika.
Aristoteles (384-322 S.M.), pendidik Iskandar Agung, adalah murid Plato. Tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu "surga" di atas dunia ini, melainkan di dalam benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi ("hylè") dan bentuk ("morfè"). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato. Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" di dalam materi. Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan dari materi. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Helenisme
Iskandar Agung mendirikan kerajaan raksasa, dari India Barat sampai Yunani dan Mesir. Kebudayaan Yunani yang membanjiri kerajaan ini disebut Hellenisme (dari kata "Hellas", "Yunani"). Helenisme yang masih berlangsung juga selama kerajaan Romawi, mempunyai pusat
intelektualnya di tiga kota besar: Athena, Alexandria (di Mesir) dan Antiochia (di Syria). Tiga aliran filsafat yang menonjol dalam jaman Helenisme, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme.
Stoisisme (diajar oleh a.l. Zeno dari Kition, 333-262 S.M.) terutama terkenal karena etikanya. Etika Stoisisme mengajarkan bahwa manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaanperasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang oleh Stoisisme disebut "apatheia".
Epikurisme (dari Epikuros, 341-270 S.M) juga terkenal karena etikanya. Epikurisme mengajar bahwa manusia harus mencari kesenangan sedapat mungkin. Kesenangan itu baik, asal selalu
sekadarnya. Karena "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita". Manusia harus bijaksana. Dengan cara ini ia akan memperoleh kebebasan batin.
Neo-platonisme. Seorang filsuf Mesir, Plotinos (205-270 M.), mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan Plato dan yang kelihatan sebagai suatu agama. Neo-platonisme ini
mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu proses "emanasi" ("pendleweran") yang berasal dari Yang Esa dan yang kembali ke Yang Esa, berkat "eros": kerinduan untuk kembali ke asal ilahi dari segala sesuatu.
Jaman Patristik dan Skolastik
Empat Jaman Patristik, atau pemikiran para Bapa Gereja Patristik (dari kata Latin "Patres", "Bapa-bapa Gereja") dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh dari Patristik Yunani antara lain Clemens dari Aleksandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianze (330-390), Basillus (330-379), Gregorius dari Nizza (335-394) dan Dionysios Areopagita (± 500).
Tokoh-tokoh dari Patristik Latin terutama Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas yang sekarang masih tetap memberi inspirasi baru.
Jaman Skolastik Sekitar tahun 1000 peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles menjadi terkenal kembali melalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi, terutama melalui Avicena (Ibn sina, 980-1037), Averroes (Ibn Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles lama-kelamaan begitu besar sehingga ia disebut "Sang Filsuf", sedangkan Averroes
disebut "Sang komentator".
Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan. Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin, "scholasticus", "guru"). Karena, dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional.
Tokoh-tokoh dari Skolastik itu lebih-lebih Albertus Magnus O.P. (1220-1280), Thomas Aquinas O.P. (1225-1274), Bonaventura O.F.M. (12171274) dan Yohanes Duns Scotus O.F.M. (1266-1308). Tema-tema pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Ajaran skolastik dengan sangat bagus diungkapkan dalam pusisi Dante Alighieri (1265-1321).
Jaman modern Jaman Renaissance Jembatan antara Abad Pertengahan dan Jaman Modern
Jaman modern Jaman Renaissance Jembatan antara Abad Pertengahan dan Jaman Modern, periode antara sekitar 1400 dan 1600, disebut quot;renaissance" (jaman "kelahiran kembali"). Dalam jaman renaissance, kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kesusasteraan, seni dan filsafat mencapi inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf terpenting dari rainassance itu adalah Nicollo Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).
Pembaharuan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu "antroposentris"-nya. Pusat perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam jaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan manusia. Mulai sekarang manusia-lah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
Jaman Barok. Filsuf-filsuf dari Jaman Barok: René Descartes (1596-1650), Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1710). Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi ("ratio") manusia. Mereka semua juga ahli dalam bidang matematika, dan mereka semua menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan metode matematika.
Jaman Fajar Budi Abad kedelapan belas memperlihatkan perkembangan baru lagi. Setelah reformasi, setelah renaissance dan setelah rasionalisme dari Jaman Barok, manusia sekarang dianggap "dewasa". Periode ini dalam sejarah Barat disebut "Jaman Pencerahan" atau "Fajar Budi" (dalam bahasa Inggris, "Enlightenment", dalam bahasa Jerman, "Aufklarung"). Filsuf-filsuf besar dari jaman ini di Inggris "empirikus-empirikus" seperti John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1753) dan David Hume (1711-1776). Di Perancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari jaman modern.
Jaman Romantik Filsuf-filsuf besar dari Romantik lebih-lebih berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Aliran yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut "idealisme". Dengan idealisme di sini dimaksudkan bahwa mereka memprioritaskan ide-ide, berlawanan dengan "materialisme" yang memprioritaskan dunia material. Yang terpenting dari para idealis kedua puluh harus dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel, atau justru sebagai reaksi terhadap filsafat Hegel.
Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang mempertahankan diri lama dalam wilayah-wilayah yang luas, yaitu rasionalisme, empirisme dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad kesembilan belas dan kedua puluh kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru muncul, dan aliran-aliran ini sering terikat pada hanya satu negara atau satu lingkungan bahasa.
Aliran-aliran yang paling berpengaruh yaitu positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi. Tentang aliran-aliran dalam filsafat dibahas secara khusus di dalam submenu Aliran. Pada waktunya, ketujuh aliran yang berpengaruh tadi juga akan kita teliti satu persatu, karena rencananya materi halaman ini akan
senantiasa diperbarui secara rutin. Sekarang ini hanya disajikan suatu pengenalan saja.
Aliran-aliran paling baru
Pada sekarang ini ada dua aliran filsafat yang mempunyai peranan besar, tetapi yang belum dapat dianggap sebagai aliran yang "membuat sejarah", karena mereka masih terlalu baru. Kedua aliran ini adalah filsafat analitis dan strukturalisme.
•
Filsafat analitis merupakan aliran terpenting di Inggris dan Amerika
Serikat, sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis (yang juga disebut
analitic philosophy dan linguistic philosophy) menyibukkan diri dengan
analisis bahasa dan analisis konsep-konsep. Analisis ini dianggap sebagai
"terapi": menurut filsuf-filsuf analitis, banyak soal falsafi (dan juga soal
teologis dan ilmiah) dapat "sembuh" kalau, berkat analisis bahasa, bisa
ditunjukkan bahwa soal-soal ini hanya diciptakan oleh pemakaian yang
tidak sehat dari bahasa. Filsafat analitis sangat dipengaruhi oleh L.
Wittgenstein
•
Strukturalisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960.
Strukturalisme merupakan suatu sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri,
fenomenologi agama, ekonomi dan politikologi. Sturukturalisme
menyelidiki "patterns" (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasa-bahasa,
agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik, dan dalam karya-karya
kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari strukturalisme antara lain Cl.
Lévi-Strauss, J. Lacan dan Michel Foucault
Akhirnya, dalam sejarah filsafat kita bertemu dengan hasil penyelidikan semua
cabang filsafat. Sejarah filsafat mengajarkan jawaban-jawaban yang diberikan
oleh pemikir-pemikir besar, tema-tema yang dianggap paling penting dalam
periode-periode tertentu, dan aliran-aliran besar yang menguasai pemikiran
selama suatu jaman atau di suatu bagian dunia tertentu. Cara berpikir tentang
manusia, tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang
kebebasan dan cinta, tentang yang baik dan yang jahat, tentang materi dan jiwa,
alam dan sejarah. Tetapi ada banyak pertanyaan dan jawaban yang selalu
kembali, di segala jaman dan di semua sudut dunia. Oleh karena itu sejarah
filsafat sesuatu yang sangat penting. Karena dalam sejarah filsafat seakan-akan
suatu dialog antara orang dari semua jaman dan kebudayaan tentang
pertanyaan-pertanyaan yang paling penting.
CABANG
Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari
kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu
bersifat "filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya: filsafat tentang manusia,
filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa,
filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya.
Aristoteles mengadakan pengelompokan sebagai berikut:
•
Sejarah logika, yaitu ajaran tentang kategori, pengambilan kesimpulan
dab pembuktian serta topika yaitu dialektika,
•
Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi antara lain tentang fisika, langit,
meteorologi, jiwa, binatang,
•
Etika,
•
Politik,
•
Bahasa dan seni.
Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal, yaitu:
•
Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika, Retorika, dan
•
Quadrivium yang terdiri atas Ilmu hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan Musik.
Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Murni mengadakan
pembagian sebagai berikut:
•
Bagian pertama berisi ajaran elementer yang transendental,
•
Bagian kedua berisi ajaran transendental tentang metode.
•
Ajaran elementer tersebut dibagi lagi menjadi estetika transendental, yang
membicarakan tentang kemampuan inderawi dan logika transendental
yang membicarakan tentang kemampuan berpikir. Logika dibagi lagi
menjadi analitika transendental dan dialektika transendental. Selanjutnya
dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik ia banyak membicarakan
tentang Etika dan Religi.
Di dalam bukunya, Perspectives in Social Philosophy (1967), Beck (1967)
menyebut lapangan filsafat, yaitu:
•
Epistemologi atau filsafat pengetahuan. Yang dibicarakan antara lain
adalah sumber, kriteria, dan hakikat pengetahuan.
•
Metafisika atau teori tentang realitas. Yang dibicarakan antara lain segala
sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip pemahaman kosmos.
•
Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri atas etika, estetika dan filsafat
ketuhanan.
Demikian seterusnya terdapat jenis penggolongan cabang-cabang filsafat.
Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy mengadakan penggolongan
sebagai berikut:
•
Logika, membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar.
•
Metodologi, membicarakan tentang teknik atau cara penelitian.
•
Metafisika, membicarakan tentang segala sesuatu yang ada.
•
Ontologi, membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.
•
Kosmologi. membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur.
•
Epistemologi, membicarakan tentang kebenaran.
•
Filsafat Biologi, membicarakan tentang hidup.
•
Filsafat Psikologi, membicarakan tentang jiwa.
•
Filsafat Antropologi, membicarakan tentang manusia.
•
Filsafat Sosiologi, membicarakan tentang masyarakat dan negara.
•
Etika, membicarakan tentang baik dan buruk.
•
Estetika, membicarakan tentang indah.
•
Filsafat Agama, membicarakan tentang agama.
Harry Hamersma di dalam bukunya Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Kanisius,
1981), membicarakan sepuluh cabang filsafat, yang masih dapat dikembalikan
lagi kepada empat bidang induk, sebagai berikut:
Filsafat tentang pengetahuan:
Epistemologi
Logika
Kritik ilmu-ilmu
Filsafat tentang keseluruhan kenyataan:
Metafisika umum (atau, ontologi)
Metafisika khusus, terdiri dari:
Teologi metafisik (disebut juga "teodise" dan "filsafat ketuhanan")
Antropologi
Kosmologi (disebut juga "filsafat alam")
Filsafat tentang tindakan:
Etika (disebut juga "filsafat moral")
Estetika (disebut juga "filsafat seni", "filsafat keindahan")
Sejarah filsafat
Berikut ini penjelasan masing-masing secara lebih dalamnya:
Epsitemologi, merupakan "pengetahuan tentang pengetahuan". Suatu studi
tentang asal usul, hakikat, dan jangkauan pengetahuan. Beberapa pertanyaan
yang mungkin diajukan dalam espistemologi adalah: Apakah pengalaman
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan? Apakah yang menyebabkan
suatu keyakinan benar dan yang lain salah? Adakah soal-soal penting yang tidak
dapat dijawab oleh sains (ilmu spesial)? Dapatkah kita mengetahui pikiran
perasaan orang lain?
Logika, menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir
kita sehat. Suatu studi tentang prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan
antara argumen yang masuk akal dan argumen yang tidak masuk akal, serta
tentang berbagai bentuk argumentasi. Contohnya: apa perbedaan antara
pemikiran induktif dan deduktif? Mengapa argumentasi "Semua anjing adalah
kucing. Sokrates adalah anjing. Maka, Sokrates adalah kucing" dianggap valid?
Apa pebedaan antara logika penjelasan ilmiah dan logika pertimbangan moral?
Kritik ilmu-ilmu, menyelidiki titik pangkal, metode, objek dari ilmu-ilmu ("filsafat
ilmu"). Suatu studi tentang metode, asumsi, dan batas-batas ilmu pengetahuan.
Adakah satu metode yang khas dalam ilmu pengetahuan? Apakah perbedaan
antara sebuah teori dan sebuah hukum dalam ilmu pengetahuan? Apakah
hakikat penjelasan ilmiah? Apakah kebebasan manusia selaras dengan ilmu
pengetahuan?
Ontologi, merupakan pengetahuan tentang "semua pengada sejauh mereka
ada". Suatu studi yang membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin ketahui, atau, dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang "ada".
Teologi metafisik, membicarakan tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan
tentang nama-nama ilahi. Suatu studi tentang hakikat, ragam dan objek
kepercayaan agama. Apa hubungan antara akal dan iman? Apa sesungguhnya
agama? Dapatkah Allah diketahui lewat pengalaman langsung? Dapatkah
eksistensi kejahatan didamaikan dengan iman akan suatu Allah yang sempurna
dan berpribadi? Apakah istilah-istilah religius memiliki makna khusus?
Antropologi, membicarakan tentang manusia ("filsafat manusia"). Suatu studi
yang membicarakan manusia seluruhnya, dengan segala sudutnya, namun
dengan mementingkan penggunaan metode filosofis dalam penyelidikannya.
Kosmologi, membicarakan tentang alam, kosmos. Suatu studi yang hendak
mengetahui "rahasia alam". Dari mana datangnya alam ini, betapa terjadinya,
bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya?
Etika, membicarakan tentang tindakan manusia. Suatu studi tentang prinsipprinsip
dan konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia.
Contohnya: Dengan patokan apa kita membedakan antara tindakan yang benar
dan yang salah secara moral? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya
ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai "baik"? Apakah keputusasaan moral
bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati?
Estetika, mencoba menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah. Suatu
studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk
seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Apa
yang ditangkap, dialami, dirasakan dan dihayati sebagai indah?
Sejarah filsafat dunia, mengajar apa jawaban pemikir-pemikir jaman atas
pertanyaan-pertanyaan manusia.
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di atas. Ada filsuf
yang menyangkal kemungkinan ontologi atau kemungkinan seluruh metafisika.
Namun, pembagian seperti di atas ini merupakan sekma yang paling klasik dan
paling umum diterima.
Tentang keseluruhan cabang akan kita lihat satu persatu secara mendalam pada
waktu mendatang, dalam bagian submenu Cabang ini juga. Demikian, materi
halaman ini akan secara rutin mengalami pembaruan ataupun penambahan.
ALIRAN
Dalam perjalanannya, problem yang dihadapi oleh manusia makin kompleks,
sehingga membutuhkan jawaban yang kompleks pula. Jawaban yang diberikan
terhadap suatu problem tidak selalu dapat tuntas, bahkan kadang-kadang hanya
sebagian kecil darinya yang terjawab dengan baik. Karena latar belakang yang
berbeda-beda, baik dilihat dari manusianya maupun tantangan atau problemnya,
maka berakibat juga pada beragamnya bagaimana suatu jawaban diberikan.
Oleh karena itu, suatu problem yang sama, karena dilihat dari berbagai sudut
dan arah, menimbulkan jawaban yang berbeda. Timbullah bermacam-macam
aliran dalam filsafat.
Manusia memegang peranan yang penting dalam munculnya aliran-aliran dalam
filsafat. Pada hakikatnya, karena ia mempunyai unsur kejiwaan, yaitu cipta, rasa
dan karsa, maka setiap orang dapat menghasilkan filsafatnya sendiri. Namun
pada sisi yang lain, kenyataan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu
yang dapat mengemukakan pendapat serta ajaran yang bernilai filsafati.
Hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh kata dan susunan kalimat dalam
suatu bahasa seringkali memaksa seorang filsuf untuk menyusun kalimat atau
rangkaian kata baru semata-mata untuk bisa membuat representasi yang
mendekati apa yang terkandung dalam pikirannya. “Oleh karena filsafat
merupakan hasil permenungan jiwa manusia yang terdalam, maka corak (sifat,
khas) dalam tiap-tiap aliran tidak terlepas dari unsur-unsur yang menyusun
manusia itu sendiri”.
Corak yang sesuai dengan unsur jiwa dan raga:
Manusia terdiri atas jiwa dan raga, karenanya filsafat ada yang
menintikberatkan atau mengagungkan jiwa atau memberi tempat yang
tinggi kepada jiwa atau unsur-unsur dalam. Aliran yang termasuk jenis ini
antara lain adalah:
•
Idealisme, yang memberi tempat tertinggi pada idea.
•
Spiritualisme, yang memberi tempat tertinggi pada jiwa.
•
Rasionalisme, yang memberi tempat tertinggi pada akal.
Sebaliknya, ada yang menempatkan unsur-unsur ragawi, unsur-unsur
luar, sebagai yang tertinggi. Termasuk dalam aliran ini antara lain adalah:
• Materialisme, yang memberi tempat tertinggi pada materi.
• Empirisme, yang memberi tempat tertinggi pada pengalaman.
• Sensisme, yang memberi tempat tertinggi pada panca indera.
Corak yang sesuai dengan sifat individu dan sosial:
Manusia memiliki sifat individu dan sosial, karena itu pengejawantahan
dari sifat ini terlihat pula dalam corak aliran filsafat. Ada yang
mengagungkan sifat individunya. Aliran yang termausk jenis ini antara lain
adalah:
• Individualisme, yang memberi tempat tertinggi pada individu.
• Liberalisme, yang mengagungkan hak mutlak setiap individu.
Sebaliknya, ada yang mengagungkan sifat sosialnya. Termasuk dalam
aliran ini adalah:
•
Altruisme, yang mengutamakan kepentingan orang lain sematamata.
•
Sosialisme, yang mengutamakan kepentigan sosial lebih dari
kepentingan individu.
Corak yang menyangkut hubungan manusia dengan "YangMahakuasa":
Dalam hal ini, aliran di dalam filsafat ada yang bercorak teistik, ada pula
yang ateistik. Misalnya, Tomisme memberi tempat yang tinggi kepada
Tuhan, sedangkan Positivisme menolak teologi.
Corak perpaduan:
Karena ada aliran kefilsafatan yang menekankan atau mengagungkan
salah satu unsur, maka terjadi jurang pemisah antara keduanya. Karena
ada jurang pemisah itu, timbullah usaha untuk menghubungkan kedua
sisinya yaitu dengan membuat jembatan. Beberapa contoh di antaranya
adalah:
•
Immanuel Kant (lahir 1724 di Koningsbergen) berusaha
menjembatani antara Rasionalisme dan Empirisme.
•
G.W.F. Hegel (lahir 1770 di Stuttgart) membuat jembatan antara
pendapat Fichte dengan pendapat Friedrich Yoseph Schelling.
Sistem Fichte adalah idealisme subjektif, sedang Schelling adalah
idealisme objektif. Jembatan yang dibuat oleh Hegel adalah
idealisme absolut. Inilah bentuk metode dialektik Hegel yaitu TesisAntitesis-
Sintesis. Karena Sintesis pada hakikatnya adalah suatu
Tesis Baru, maka dari padanya akan timbul Antitesis baru,
demikian pula akan timbul Sintesis Baru, dan seterusnya.
Pada bagian kali ini, kami akan mengangkat satu aliran filsafat yang sangat
berpengaruh di Barat pada abad kedua puluh, terutama setelah selesainya
Perang Dunia Kedua. Ialah "Eksistensialisme". Pembahasan berikut ini akan
menjadi model pembahasan bagi aliran-aliran filsafat lainnya; di mana kami
secara rutin akan menambahkan materi-materi baru dalam bagian ini, sehingga,
mudah-mudahan, seluruh aliran filsafat, utamanya aliran-aliran yang besar,
mendapat kesempatan untuk disajikan ke hadapan pembaca.
Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat
benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang
ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga
menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia.
Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat
membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum
pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah
peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada,
eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat
tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan.
Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama
manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup,
tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada
menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon
mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati.
Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada,
hidup, tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak
nyata ada, apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para
pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada.
Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon
mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah
manusia. “Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada
dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan
pemikiran tentang eksistensia”. Dengan mencari cara berada dan eksis yang
sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia
secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam
keadaan optima. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan
eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan
yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis,
hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan
kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala
sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus
dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu,
dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan
sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat
kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang dan
mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi
tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang
kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima
mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak
diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa
saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu,
segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena
adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi
pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan
hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak
mempedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan
sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap
menanggung segala konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau
lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam
menghadapi perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu,
pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik yang menurut
pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi
itu. Yang baik adalah yang baik menurut pertimbangan norma mereka, bukan
berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat, negara, atau agama.
Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika
eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan
atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang
lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti
adanya, dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini
belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan
harus diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat,
bangsa, dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai
proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap
pasrah dan "menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup
sebagai belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu
dan harus diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung
jawab. Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan
sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang
merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi
penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal. Namun,
bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi
membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu
dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi
kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik
dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan karena masa
depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan
yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang
penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup
dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan
demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha,
dan optimis menuju ke masa depan.
Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi
positif etika eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Kelemahamkelemahan
etika eksistensialis dapat disebut beberapa. Pertama, etika
eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan
pendirian itu, di bawah nama melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para
pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri.
Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang
dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri
mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat
merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis
menjadi manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma
masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku
sungguh melawan akal sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil
perjalanan pencarian yang tidak begitu saja mudah ditiadakan. Jika tidak dapat
dipergunakan sepenuhnya, paling sedikit masih dapat bermanfaat sebagai
bahan pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu,
sikap para penganut aliran eksistensialis yang asosial merugikan usaha
perbaikan hidup dan dunia. Karena usaha itu merupakan usaha raksasa
sehingga tidak dapat diselesaikan secara perorangan, melainkan harus digarap
bersama seluruh masyarakat.
Ketiga, dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis
memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak
ada kemerdekaan yang tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan
dibatasi. Pembatasan itu berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat.
Seberapa "hebat"-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan
kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga datang dari masyarakat.
Selama orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu
dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup
masyarakat orang harus mau "memberi" dan "menerima", alias berkompromi.
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu
mudah goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang
dipegang kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri
saja, pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan
pendiriannya rapuh. Begitulah, etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan
yang positif. Namun, bila tak mengurangi dan melepaskan kelemahankelemahannya,
eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangansumbangannya
yang memang berharga.
Nama "eksistensialisme" memang hanya disenangi oleh Jean-Paul Sartre. Filsuffilsuf
lain dari aliran ini lebih senang disebut "filsuf-eksistensi". Di antara mereka
adalah S. Aabye Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900),
Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel
(1889-1973) dan M. Merleau-Ponty (1908-1961). Beberapa dari mereka nanti
akan dibahas secara khusus di bagian Filsuf, Hidup dan Karyanya
Percah Percah Postmodernisme
Apakah postmodernisme itu? Bolehkah kita mengajukan pertanyaan ini?
Bukankah pertanyaan ini menjurus pada pencarian esensi dari
‘postmodernisme’? Ini berarti berusaha mencari suatu pengertian definitif
(definire = membatasi) atau suatu kesatuan representasi atas referent yang
kemudian diberi nama ‘postmodernisme’? Bolehkah? Entahlah...!! Jadi,
bagaimana......???
Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas.
Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri
adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke
ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral.
Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa
pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar,
partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial
(LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok
kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi
seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang
menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan,
dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme
dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan
modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme
seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi
istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001: 95-97).
Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan
postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity).
Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya
diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan
arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari
modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial
baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih
menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah
“modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan
dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak
Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway
world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya
epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah
“modernitas yang sadar diri” (Giddens, 1990: 45-53, 150-173).
Sementara itu, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa “postmodernisme”
memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu.
Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka
satwa....suatu istilah yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama
lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya,
bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”,
dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem
postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya
keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat
fungsi transformatifnya. Muncullah metafor—mula-mula diperkenalkan oleh
Ricoeur—yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan
yang diajukan oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu
kebenaran absolut, melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional
truth) (Bambang Sugiharto, 1996: 16-18).
Penulis yang lain lagi, sang penantang postmodernisme, Terry Eagleton,
mengungkapkan dalam The Illusions of Postmodernism bahwa biasanya
memang dibedakan antara postmodernisme dan postmodernitas. Pembedaan ini
cukup berguna baginya. Akan tetapi, dia sendiri lebih senang menggunakan
istilah postmodernisme, sebab istilah ini dapat mencakup keduanya.
Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap
pengertian klasik tentang kebenaran-rasionalitas-identitas-obyektivitas, curiga
terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka
kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan
dengan norma-norma Pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai
yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan,
seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan
skeptisisme terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat
yang terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu postmodernisme
dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam
perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman,
ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan,
ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya
‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Therry Eagleton, 1996:
vii-viii).
Sekarang bagaimana dengan Anda...., apa yang akan Anda katakan tentang
postmodernisme? Silakan membaca artikel-artikel dalam edisi Percah-Percah
Postmodernisme ini. Anda akan bertemu dengan Lyotard, Vattimo, Bauman,
Harvey, Deleuze, dan Ricoeur. Pasti Anda akan terbantu untuk dapat
mengatakan lebih banyak lagi tentang postmodernisme. Istilah postmodernisme
dipilih di sini karena kedengarannya lebih keren. Itu saja. Selamat membaca....
No comments:
Post a Comment